Temuan makam
bertipe Aceh tahun 2014 tersebut secara tidak sengaja. Ditemukan saat
perusahaan tambang akan membuka jalan baru. Tahun 2019, peneliti dari BPCB
Kalimantan Timur datang kesini. Hasil identifikasi para peneliti tersebut,
bahwa makam dengan nisan tipe Aceh tersebut adalah abad ke-17.
Makam
tersebut masih satu bukit dengan komplek
makam Sayyid Kubra dan raja-raja Matan. Makam tipe Aceh ini terletak di sebelah
barat laut. Sedangkan makam Sayyid Kubra di bagian timur. Kindisi nisan type aceh ini sudah tidak utuh
lagi bagian kepala ada yang partah dan bagian kaki juga sudah terbelah.
Di makam tipe
Aceh tersebut, juga terdapat satu makam didepannya, dengan bahan batu andesit
berbentuk pipih. Hingga saat ini, warga setempat tidak mengetahui siapa yang
bersemayam di makam tersebut. Bahkan banyak beredar rumor bahwa makam tersebut
adalah pemakaman hindu, hal ini didasarkan pada motif dan ukiran yang asing
bagi masayarakat sekitar. Namun ketika di cek fakta sesngguhnya nisan dengan corak demikian dikasifikasikan
sebagai tipe aceh.
Dugaan sementara
makam di bukit tersebut berhubungan dengan seorang tokoh bernama Ratu Soraya
atau ratu surya kesuma. Ratu Soraya Merupakan istri dari Sultan Tengah, yang
berasal dari Kesultanan Brunei. Ratu Soraya adalah bibi Sultan Zainuddin, raja
Matan. Sang Ratu, merupakan anak Panembahan Giri Kesuma, raja Tanjungpura era
Sukadana.
Jejak Makam Ratu
Soraya, Istri Sultan Tengah Dari Brunei Di Sukadana
Oleh: Tim riset Lembaga
Simpang Mandiri di bawah mandat Kerajaan
Simpang matan Tahun 2020
A.
PIJAKAN DASAR
Misi
pencarian makam Putri Surya Kesuma atau Ratu Soraya adalah bagian yang penting
dari sejarah kesultanan Brunei, sebab Ratu Soraya adalah istri dari Sultan Tengah
bergelar Sultan Ibrahim Ali Omar Shah
yang berasal dari kesultanan Brunei yang kelak dikemudian hari juga menurunkan Raja
raja sambas hingga hari ini.
Bermula
dari penemuan Makam Sultan Tengah di Gunung Sentubong Serawak Malaysia pada
tahun 1993. Penemuan itupun ditindak lanjuti oleh pusat Sejarah Kesultanan
Brunei dengan serius, sehingga pada saat ini makam tersebut dibangun dengan begitu
megahnya.
Karena
makam Sultan Tengah telah ditemukan, maka misi dari pusat sejarah Kesultnanan Brunei
adalah mancari makam isterinya yakni Ratu Soraya atau Putri Surya Kesuma yang
merupakan putri dari Raja Tanjung Pura era Sukadana dari Pasangan Giri Kesuma
atau Sultan Muhammad Tajudin dengan Putri Bunku atau Ratu Mas Jaintan.
Ratu
Soraya adalah bungsu dari 2 bersaudara, saudaranya
yang paling tua adalah Giri Mustika yang
menjadi penerus ayahandanya dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin, dimana
gelar ini dikemduian hari diberikan pada cucu keponakannya dari pasangan Ratu
Soraya dengan sultan tengah yakni Raden Sulaiman yang menjadi Raja Sambas
pertama dengan corak Islam.
B.
KEDATANGAN ROMBONGAN BRUNEI 2005
Pencarian
makam Ratu Soraya ini dilakukan dengan serius oleh Pusat Sejarah Kesultanan
Brunei Pada tahun 2005 dan tahun
2006. rombongan dari Brunei tersebut
melakukan lawatan ke beberapa kerajaan yang ada di Kalimantan termasuk Sukadana, guna mencari keberadaan makam Ratu
Soraya serta mentelaah lebih jauh hubung kait silsilah kekeluargaan dengan
kerajaan lain.
Pada
masa kedatangan rombongan dari Brunei tersebut dituturkan oleh beberapa saksi
hidup yang mendampingi. Salah satunya yakni Tengku Mochtar ia merupakan perwakilan
tokoh masyarakat asal Sukadana.
Saat kami temui di rumahnya pada 1 Februari 2019, Tengku Mochtar yang sudah berusia 86 tahun, atau akrab disapa Ayah Tar mengisahkan apabila rombongan Brunei pada masa itu sempat beberapa hari menginap di Sukadana, untuk melakukan penelitian hubungan kerajaan Sukadana dan Brunei dimasa itu. dengan membawa peralatan lengkap serta peniliti bahkan cenayang (paranormal) untuk mencari lokasi makam Ratu Soraya dimasa itu.
Atas
informasi Pak Unggal Nan salah seorang masyarakat Desa Harapan Mulia mengenai
makam keramat di atas Gunung Lalang. Maka rombongan kesultanan Brunei tersebut pergi ke
makam Gunung Lalang, lalu kemudian
menuju makam Panembahan Ayer Mala di Tambak Rawang serta ziarah kemakam bersejarah lainnya di sukadana.
Setelah
usai dari lawatan tahun 2006 tersebut, rombongan dari Brunei itu tidak pernah
lagi datang ke Sukadana, namun mereka pernah berpesan pada masyarakat, salah
satunya pada Pak Imam Norman yang pada masa itu sebagai penyambut tamu dengan
membacakan syair gulung. pesan yang masih diingat Pak Imam adalah apabila suatu
saat menemukan makam tua yang dicurigai sebagai makam Ratu Soraya untuk dapat
dikonformasi kepada pihak rombongan Brunei tersebut.
Sedangkan
menurut keterangan salah seorang warga
di Desa Harapan Mulia, pada masa itu sebagai kepala desanya adalah
Almarhum Awi. Sebagaimana dituturkan kembali oleh anaknya bernama Sandi Sugiarno
bahwa rombongan Brunei pada masa itu; setelah lawatan kebeberapa makam,
termasuk Gunung Lalang dan Ayer Mala, dimalam harinya saat mereka berunding dikediaman
rumah Camat Sukadana pada masa itu yaitu Amrullah. Hasil perundingan
sementara adalah bahwa makam makam yang
mereka datangi pada saat itu bukanlah makam yang dicari.
Lalu
yang menjadi misteri dan pertanyaan jika memang yang didatangi oleh rombongan Brunei bukanlah makam Ratu Soraya, maka
dimanakah letak makam itu sebenarnya ?.
Dalam
hal ini kami mengemukakan dua teori, ataupun dugaan mengenai keberadaan makam Ratu
Soraya. Yang pertama dilokasi Tambak Rawang Sukadana, yang ke dua di Desa Matan
Jaya Kecamatan Simpang Hilir. Berikut kajian dan ulasannya, namun tentunya hal
ini masih harus perlu di uji kembali dengan penelitian yang serius dengan
melibatkan para ahli.
C.
SEJARAH KEDATANGAN SULTAN TENGAH DAN
PERNIKAHAN DI SUKADANA
Saat
itu Sultan tengah mengarungi lautan luas dengan cuaca yang buruk sehingga
terdamparlah ia di Tanjung Pura Sukadana pada sekitar tahun 1631 Masehi. Giri
Mustika dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin pada masa itu menjabat sebagai
rajanya.
Dimasa
Giri Mustika ini kesultanan Matan juga sudah dimulai dengan persiapan
perpindahan ibu kota dari Mulia ke Sungai Matan, yang kelak tahta Matan akan diberikan
pada cucunya yakni Gusti Zakar negara bergelar Sultan Muahammad Zainuddin.
Setelah
beberapa saat lamanya Sultan Tengah di negeri Sukadana, maka menikahlah ia
dengan Putri Surya Kesuma atau Ratu Soraya yakni adik dari Giri Mustika bergelar
sultan Muhammad Syaifiuddin. Karena ayahnya sudah mangkat, maka Giri Mustika yang
bertindak sebagai wali menikahkan raja tengah dengan Putri Surya Kesuma.
Hasil
dari buah pernikahan tersebut lahirlah 5 orang anak yakni Raden Sulaiman yang lahir di Sukadana tepatnya daerah Mulia, Kemudian Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Dewi.
Setelah
sekitar 7 tahun menetap di Kesultanan Sukadana Sultan Tengah lalu berpindah ke
Sungai Sambas Pada tahun 1638. Maka
berangkatlah rombongan Sultan Tengah beserta keluarga dan orang-orangnya dengan
menggunakan 40 perahu yang lengkap dengan senjata dari Kesultanan Sukadana
menuju Panembahan Sambas di Sungai Sambas.
Selanjutnya Sultan Tengah memutuskan sudah saatnya untuk kembali ke negerinya yang telah lama di tinggalkan. Maka kemudian berangkatlah Sultan Tengah beserta istrinya yaitu Putri Surya Kesuma dan keempat adik dari Raden Sulaiman pada tahun 1652 Masehi.
Namun
dalam perjalanan di suatu tempat yang bernama Batu Buaya, secara tiba-tiba
Sultan Tengah ditikam dari belakang oleh pengawalnya sendri, maka wafatlah Sultan
tengah dan dimakamkan dilereng Gunung Sentubong. Adapun istrinya yakni Ratu Soraya memutuskan untuk kembali ke Kesultanan Tanjung
Pura Sukadana yaitu tempat dimana ia berasal bersama dengan keempat anaknya.
Sampai di sini cukuplah perjalan sejarah untuk dapat mengkaji dimanakah makam
ratu Soraya.
D.
DUGAAN MAKAM RATU SORAYA DI SUKADANA
Berdasarkan
dari kronik perjalanan sejarah tersebut
dugaan yang pertama bahwa Ratu Soraya dimakamkan di Sukadana tepatnya di
Desa Gunung Sembilan. Memang ada satu Nisan yang di curigai sebagai makam ratu Soraya, bahkan sudah ada plang
nama didepannya.
Namun sayangnya hingga saat ini masih belum ada penelitian khusus mengenai makam yang di duga adalah makam Ratu Soraya tersebut. Dugaan kuat memang mengarah ke makam Ratu Soraya sebab alasanya adalah, orang yang dimakamkan di atas bukit bukanlah orang biasa, dan jika dilihat dari batu nisan padat tampaknya juga bukan orang sembarangan yang dimakamkan pada masa itu.
Makam
Soraya ini ada dilereng bukit tepi laut Teluk Sukadana, dari makam yang diduga
adalah pusara Ratu Soraya ini terlihat Masjid Usman Alkhoir serta landscape
yang indah dari atas. Menurut penuturan masyarakat pada masa lalu di nisan batu
ini pernah ada hurf araf jawi bertuliskan nama yang sudah kabur.
Jika
memang Ratu Soraya dimakamkan disini masih masuk akal sebab abangnya yang masih
memerintah saat itu yakni Sultan
Muhammad Syafiuddin atau Giri Mustika yang meninggal pada tahun 1677 masehi dan
dimakamkan di bukit laut belakang mulia saat ini.
Namun
memang ada catatan penitng untuk dilakukan kajian, bahwa apabila Ratu Soraya dimakamkan
di Sukadana mengapa tidak dimakamkan di dekat abangnya yang pada saat itu
memerintah negeri sukadana dengan pusat kerajaannya yang ada di Mulia. Kemudian yang berikutnya pada
era tahun 1652 yakni setelah kemangkatan suaminya, Pusat kota raja berpindah ke
Sungai Matan. Namun demikian mengenai dugaan makam ini perlu diuji kembali
kebenarnnya.
Ukuran makam diduga Ratu Soraya ini panjang 1,90 meter dan lebar 80 cm. Yaitu
merupakan ruang yang disisakan sebagai tempat nisan, tidak di semen atau di
pasang keramik. Lebar cungkup 6 x 6 meter dengan tinggi 2,93 meter. Nisan
berbahan batu andesit, tipe Singapura abad ke-19. Tinggi nisan 65 cm dan lebar 20 cm.
Dari sisi
arkheologis pun, keberadaan makam Ratu Soraya di
Tambak Rawang, tepatnya di bukit yang menghadap ke Teluk Sukadana masih diragukan. Sebab, berdasarkan dari hasil pengamatan dan perabaan, batu nisan yang ada di makam tersebut, merupakan bertipe nisan tipe Singapura. Tipe ini tren dipakai pada
abad 19 Masehi.
Sedangkan dari
sisi kesejarahan, Ratu Soraya hidup
pada abad ke -17, di masa raja Panembahan Sorgi (Sultan Muhammad Tajudin), yang merupakan ayahandanya. Kemudian dilanjutkan oleh Ratu Mas Jaintan dan Giri Mustika (Sultan Muhammad Tsafiuddin), yang meninggal tahun 1677 M.
Menurut Sejarawan setempat, yaitu Imam Norman, bahwa dahulunya makam tersebut sering
disebut sebagai makam Mak Timbang. Setelah
rombongan Brunei pulang, penyebutan warga berubah jadi makam Ratu Soraya.
Padahal penelitian robongan Brunei di makam Gunung Lalang dan Panembahan
Ayer Mala Sukadana, tidak menyimpulkan Ratu
Soraya. Tetapi dicurigai beberapa warga sebagai makam Ratu Soraya.
Hingga saat ini, belum ada argumentasi yang kuat mengenai makam
yang diduga Ratu Soraya tersebyt. Jika Dugaan kuatnya adalah makam Ratu Soraya, paling tidak ada
sumber primer yang bisa memberikan alasan. Hingga saat ini, satu-satunya
yang bisa menjadi penanda, yaitu tradisi memakamkan
seseorang di atas bukit, pada masa itu bukanlah orang biasa. Namun jika
melihat dari batu nisan padat, yang
eranya sudah berselisih, diragukan jika nisan itu sudah ada sejak abad ke- 17. Berdasarakan
identifikasi Haji Syarifudin bersama
masyarakat Tambak Rawang tahun 2008, makam disebut Ratu Soraya saat ini, saat ditemukan pertama kali belum memiliki deskripsi. Dalam
keterangan foto dokumentasi pribadi Syarifudin saat itu tertulis, “makam
tanpa nama di Gunung Bukit Laut Tambak Rawang”.
E.
DUGAAN MAKAM RATU SORAYA DI MATAN
Dugaan
yang ke dua Ratu Soraya di makamkan di Matan. Dugaan ini memiliki beberapa
argumen penting diantaranya adalah; setelah
suami Ratu soraya yakni Sultan Tengah wafat pada tahun 1657 di Sentubong (Serawak), maka Ratu
Soraya kembali ke Sukadana. Pada era tahun tersebut yang memerintah adalah Giri
Mustika / Sultan Muhammad Syafiuddien yang merupakan abangnya sendiri.
Pada Giri Mustika memerintah,
pemerintahan sudah berpindah ke Sungai Mulia dan kota rajanya berpusat di
Sungai Matan yang selanjutnya disebut Kesultanan Matan. Dugaanya bahwa Ratu
Soraya juga ikut berpindah dan bermukim
di Matan dan wafat di sana, Sedangkan abangnya kemduian meninggal di tahun 1677
M, dan di makamkan di belakng Mulia di atas bukit laut. Georg Muller
Tentang
dugaan makam Ratu Soraya di Matan, hal ini diperkuat dengan adanya temuan makam
brtype aceh pada tahun 2014. Makam tersebut menurut para ahli dari Balai
Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kalimantan Timur, yang sudah meneteliti pada tahun 2018 adalah keluaran abad ke 17 (jurnal LPA Pemukiman Tanjujungpura 2018
Halaman 32 ). Makam tersebut berada di atas bukit kecil di Matan, tidak jau
dari makam Sayyid Kubro dan Raja raja Matan yakni Sultan Mangkurat dan Meruhum
ratu.
Ada dua nisan sepesial diatas bukit tersebut satu bertype Aceh, dan satu berbentuk batu serta beberapa yang lain diduga juga sudah mengalami kerusakan karena sekian ratus tahun didalam hutan tak terawat.
Pemakaman
ini berada di atas bukit dengan ketinggian 6 meter dari permukaan jalan. Secara
astronomis keletakkannya pada S 1 6 12.4 dan E 110 12 22.9. Pada bagian luar
pemakaman diberi pagar pembatas dari kayu yang mengelilinginya. Semak dan
ilalang menutupi permukaan tanah di luar pagar tersebut. Di sebelah barat daya
kaki bukit tempat pemakaman ini terdapat Sungai Matan. Informasi dari Bapak M.
Resin, apabila musim kemarau dan air di sungai tersebut mulai surut, tampak
pecahan keramik tersebar di tepi sungai
Untuk
menguatkan dugaan bahwa ini makam Ratu Soraya adalah berdasarkan informasi
jika pada tahun 2016 di sambas juga ditemukan
makam bertype aceh yang diduga masih
kerabat dengan Raden Sulaiman. Nisan ini benar benar mirip, dan uniknya dua
nisan ini jika dilihat dari coraknya
hampir satu masa.Serta yang paling penting adalah nisan dari Raja tengah di
sentubong sendiri juga bertype Aceh walau dengan corak yang berbeda.
Maka ada dugaaan bahwa nisan Aceh yang mirip seperti Sambas dan sukadana tersebut , di produksi sezaman. Kebetulan juga satu masa dengan Raden Sulaiman saat menjadi sultan sambas. Dugaanya Ia mengkhususkan nisan tersebut, karena memang orang terdekat dengannya, Yakni Ayah, Ibu dan Datok sebelah isterinya.
Di
duga Pada saat Raden Sulaiman menjadi raja sambas ia menitipklan nisan ibunya itu pada Raden Bima yang
pergi ke Matan dan menikah dengan adik
bungsu Sultan Zainuddin Raja Matan yakni Putri Indra kesuma, dan lahirlah
seorang anak laki laki dengan nama raden Mulia atau Raden Milan. Kelak Raden
Milan ini kemudian menjadi Raja Sambas ketiga.
Tampaknya batu nisan yang dibawa Raden Bima untuk neneknya yakni Ratu Soraya tersebut sebelumnya sudah dipesan bersamaan dengan nisan yang diperuntukkan bagi kakeknya yang berada di sentubong dan moyang sebelah Ibunya di Sambas. Hal ini dapat diartikan, walau mereka berbeda tahun meninggalnya namun eranya sama, sehingga dalam waktu tertentu Raden sulaiman menggantgi nisannya secara serempak.
Namun
kembali lagi pada dugaan dan spekulasi yang ada hanyalah sebuah teori sementara
yang tidak patut untuk di percayai sepenuhnya, akan tetapi hal ini menjadi tapak penilitian lebih lanjut
mengenai kebenaran dimanakah makam Ratu Surya Kesuma, apakah di Matan atau di Sukadana.
F.
PEMAHAMAN TENTANG GUNUNG LALANG YANG
DI DATANGI OLEH ROMBONGAN BRUNEI PADA TAHUN 2005 DI SUKADANA
Di
sisi yang lain tentang Gunung Lalang yang pernah di datangi oleh romboangan
dari Brunei pada tahun 2005 dan tahun 2006.
Hari ini kita berjumpa dengan manuskrip dan fakta fakta baru khususnya
mengenai keberadaan Gunung Lalang, yang merupakan bagian dari gugusan bukit
laut. Dimasa itu bukit laut adalah makam
Raja raja Tanjung Pura era Sukadana.
Dalam
beberapa mansukrip yang bersumber dari catatan Eropa seperti Pj Vert, Gorg Muller
, Von De Wall serta Kitab Silsilah Raja Melayu dan Bugis Karya Raja Ali Haji.
Beberapa di antaranya jelas tertulis bahwa Sultam Muhammad Syafiuddin di
makamkan di atas bukit laut, dan secara spesifik Panembahan Baroh, yang
bergelar Sultan Mustafa Izzudin yang merupakan kakek dari Giri Mustika juga di
makamkan di tempat tersebut.
Untuk
Sementara bisa di simpulkan bahwa makam di atas Gunung Lalang itu merupakan makam Raja Tanjung Pura di abad ke
16 dan 17. Adapun nisan saat ini sudah baru yang di ganti dengan semen, namun
petunjuk yang tidak bisa terbantahkan adalah bata merah yang masih ada dan di
duga pada masa itu di jadikan tambak
makam.
Jika tambaknya berbata merah maka nisannnya dimungkinkan juga batu bukan terbuat dari kayu, alasannya adalah apabila tambaknya saja mampu membuat sedemikian rupa dengan bata merah yang pada masa itu termasuk langka dan istimewa maka demikian pula dengan nisannya yang pasti setara dengan tambaknya.
Demikian pembahasan ini lebih kuranganya
mohon maaf dan mohon UNTUK di adakan riset lebih lanjut terima kasih .
TIM PENYUSUN :
1.
ISYA FACHRUDI
2.
MIFTAHUL HUDA
3.
M. RIDLO
SUMBER :
buku CL Blume
, G Muller , De Wall. Pj Vert,
Raja Ali Haji ( Silsilah raja melayu Dan
bugis )
Dan
Riset lapangan yang kami lakukan dari tahun 2018 hingga tahun 2021
0 Komentar