Makam Gusti
Mahmud (Mangkubumi)
Lokasi situs ini di Jalan Kesehatan Desa Teluk Melano, Kecamatan
Simpang Hilir, tepatnya di depan SMP 01 Simpang Hilir. Berada di koordinat 1°0553.8’ S - 110°57’38.7” E.
Gusti Mahmud, atau yang dikenal
panggilan Pangeran Ratu bin Gusti
Mansur, merupakan mangkubumi di Kerajaan Simpang. Beliau sempat menjabat raja
Simpang sementara, saat Panembahan Tua Gusti Room dan Gusti Mesir di tangkap,
menjadi korban fasisme Jepang di Mandor tahun 1944.
Gusti Mahmud menjadi mangkubumi, karena putra mahkota,
yaitu Gusti Ibrahim bin Gusti Mesir baru berusia 14 tahun dan masih sekolah. Maka
ditunjuklah Gusti Mahmud sebagai pengganti sementara (mangkubumi), menunggu
putra mahkota cukup usia. Gusti Mahmud menjalankan pemerintahan sebagai Kepala
Swapraja Simpang, sampai meninggal dunia tahun 1952.
Situs ini menempati tanah seluas lebih
kurang 231 meter persegi, yaitu lebar 14,02 meter dan panjang 16,48 meter.
Menempati bangunan (cungkup), dengan lebar 4 meter dan panjang 6 meter.
Bernisan kayu belian, di cat kuning. Jarak antar nisan 0,95 meter, dengan
tinggi 0,64 meter dan 0,62 meter. Di samping makam Gusti Mahmud, tertulis nisan
bernama Utin Suase dan 1 makam anak kecil.
Makam Gusti Mahmud diberi jirat
keramik tiga tingkat, dengan lebar 1,05 dan panjang 1,85 meter. Tnggi setiap
tingkat jirat sekitar 0,10 meter, menyerupai merucut.
Kesejarahan
Pendiri keraton dan
Kerajaaan Simpang Matan pertama, yaitu Pangeran Ratoe Agung Kesumaningrat, 1744.
Dibangun kembali pada 1815, oleh Panembahan Anom Suryaningrat (Gusti Mahmud).
Tahta dilanjutkan putra mahkota, Panembahan Kesumaningrat (Gusti Muhammad Roem)
1845 - 1874. Tahta berlanjut ke Panembahan Suryaningrat (Gusti Pandji), 1874 -
1911.
Tahun 1911 - 1915, Kerajaan Simpang perang dengan Belanda, yang dikenal dengan Perang
Belangkaet. Kondisi ini membuat ibu kota kerajaan berpindah, dari Simpang Keramat ke arah hilir, yaitu Teluk Melano. Kerajaan ini dipimpin Panembahan Gusti Roem, sejak 1911 hingga 1942. Setelahnya, dilanjut putra
mahkota, yaitu Panembahan Gusti
Mesir (1942 - 1943).
Pada masa pendudukan Jepang, Panembahan Gusti Roem dan Panembahan Gusti
Mesir, ditangkap bersama kerabat kerajaan dan masyarakat
biasa lainnya. Mereka menjadi korban fasisme Jepang di Mandor.
Sementara pemerintahan
kerjaan kosong, maka tahta diisi oleh mangkubumi, saat itu dijabat Gusti
Mahmud. Gusti Mahmud menjadi raja sementara (mangkubumi) dari 1943 - 1956.
Kemudian sejak 1956 hingga 2007 terjadi
kekosongan tahta. Tahun 1957 Kalimantan Barat mekar menjadi provinsi sendiri.
Dimungkinkan, secara otomatis raja-raja di Kalbar demisioner dan nonaktif dari
jabatannya.
Di Kerajaan Simpang
khususnya, dari 1956/1957 hingga 2008 tak ada raja yang bertahta. Demi
kepentingan menjaga kebudayaan, dan untuk eksistensi Kerajaan Simpang yang
pernah jaya di masa lampau, 2008 dilantiklah Drs. H. Gusti Muhammad Mulia.
Yaitu, sebagai penerus tahta Kerajaan Simpang, yang bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin
II sebagai Raja
Simpang Matan VII. Beliau wafat 2017. Tahun 2018, tahta Kerajaan
Simpang diteruskan putra mahkota, Gusti Muhammad Hukma, S.E.
Pada saat ibu
kota berpindah ke Teluk Melano (1911), Keraton Simpang tua ditinggalkan. Hingga akhir hayatnya, Gusti Pandji dan pengikut setianya
masih menetap di Keraton Simpang tua. Setelah Gusti Pandji wafat, keraton menjadi
tidak terawat. perlahan, warga bergeser dari pusat kota pertama Kerajaan
Simpang Matan, pindah ke hilir atau ke
hulu sungai. Sehingga kota Simpang tua ditinggalkan. Yang tersisa saat ini,
puing-puing bekas keraton, bekas masjid dan makam-makam
saja. Kondisi bekas keraton dan masjid yang tersisa saat ini tidak banyak dan
utuh lagi. Kondisinya sangat memprihatinkan.
Sementara, keraton yang berada di Teluk
Melano. Keraton yang menjadi bukti pusat Pemerintah Kerajaan Simpang Matan
terakhir, nasibnya tak jauh beda dengan istana Simpang Keramat, Matan tua dan
Sukadana tua. Penyebabnya, apakah karena kekosongan tahta sejak 1956 hingga 2007? Apakah akibat Gusti Roem dan Gusti
Mesir menjadi korban fasisme Jepang? Atau kerana meninggalnya Mangkubumi Gusti
Mahmud, dan kerajaan telah melebur ke NKRI? Atau karena faktor lain, yang
membuat keberadaan Keraton Kerajaan Simpang Matan di Teluk Melano tidak terlihat
lagi? Wallahu a’lamu.
Puncaknya, setelah berlakunya Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan
Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Perpanjangan Pembentukan
Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran-Negara Tahun 1953 No. 9), sebagai
Undang-Undang. Semua swapraja/kerajaan,
khususnya di Kalimantan Barat telah lebur dan menyatu menjadi bagian
NKRI. Berdasarkan undang-undang tersebut, Kerajaan Simpang pun menyatakan bergabung dalam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kawasan eks Keraton Simpang di Teluk Melano, banyak menjadi fasilitas umum. Termasuk sekolah
SMPN 01 Simpang Hilir, SDN 01 dan pasar Melano.
Kemudian jalan menuju Jembatan Teluk Melano, dulu bagian dari aset kerajaan, namun kini sudah jadi jalan raya.
Kedudukan keraton Simpang di Telok Melano dulu, kini telah dibangun kantor Pos. Semua wilayah kekuasaan dan sebagian aset Kerajaan Simpang Matan (tanah), secara otomatis di ambil alih Pemerinth Republik Indonesia. Tidak ada hitam
putihnya mengambil alih aet aset kerajaan tersebut, hingga sekarang.
Saat pelantikan Raja Simpang Matan VII 2008, Drs. H. Gusti Muhammad
Mulia mengemukakan, bahwa saat ini mereka para ahli waris
kerajaan sudah tidak memiliki apa-apa lagi. “Kami sekarang tidak memiliki
apa-apa lagi. Jangankan keraton, tanah pun kami
tak punya,” ucapkan Gusti Muhammad Mulia, sambil berkaca-kaca, dalam sambuatan pasca acara pelantikan beliau.
(Miftahul Huda)
Tertanda
TIM AHLI CAGAR BUDAYA
Kabupaten Kayong Utara.
0 Komentar