Ribuan tahun yang lalu, tersebutlah
seorang lelaki yang bertubuh besar dan kuat. Dia menetap di hutan belantara, arah utara Tanah Kayong saat ini. Hingga hari ini, nama tersebut masih melegenda dalam
cerita masyarakat Kayong. Dia dikenal dengan nama Tok¹ Bubut. Sebab Tok
Bubut dan saudaranya, diyakini masyarakat Ketapang dan Kayong Utara sebagai
nenek moyang mereka.
Suatu saat, Tok Bubut ingin memasang bubu².
Untuk membuat bubu, dia harus mencari segala kelengkapannya. Pertama-tama, Tok
Bubut mencari rotan ke arah Gunung Palung. Setelah terkumpul, Tok Bubut
meletakan rotan di bahunya dan menariknya pulang. Sesampai di tempat tinggalnya, Tok Bubut pun membuat bubu.
Setelah bubu jadi, agar ikan/udang bisa fokus masuk ke bubu,
tentu perlu sawa³. Mulailah Tok Bubut mencari batu-batu untuk sawanya.
Setelah dapat batu besar, Tok Bubut letakan di tengah sungai. Hingga kini batu
ditengah sungai itu ada di Sungai Simpang tepatnya Desa Batu Barat. Kemudian
dia mencari batu lagi ke hulu sungai, karena sawanya masih kurang. Dia melihat di
hulu banyak batu-batu besar.
Sementara itu, di hulu sungai, ada burung raksasa yang
ingin bertelur di atas puncak
pegunungan. Tapi, setiap burung ini meletakan telurnya selalu
jatuh. Kerana puncak gunung itu batu besar, tinggi
dan lancip. Berulang kali bertelur selalu jatuh. Akhirnya, disambarnya
puncak gunung tersebut hingga rata. Burung ini bernama burung Garuda.
Tak lama, Tok Bubut sampai di gunung tempat
burung Garuda bertelur. Dengan gagah, Tok Bubut meletakan batu sisa sambaran⁴ burung tersebut di ambung⁵-nya.
Kemuidian dia ambin⁶ batu tersebut, di bawanya ke tempat dia memasang sawa bubu.
Di tengah perjalanan, tali ambin Tok Bubut yang terbuat
dari kepuak⁷ putus. Membuat
ambung Tok Bubut yang berisi batu jatuh terhempas.
Tok Bubut kembali ke gunung dimana tempat dia mengambil batu
tersebut. Dia mencari rotan halus, untuk mengganti tali ambinnya. Berkeliling
gunung dia mencari rotan halus, tapi tak ketemu.
Karena kesal tak ketemu rotan, Tok Bubut bersumpah, bahwa
di tempat tersebut tidak akan ditumbuhi rotan. Hingga sekarang, di sekitar
gunung ini tidak ditumbuhi rotan halus lagi.
Tok Bubut putus asa. Akhirnya dia kembali tanpa membawa
batu. Batu yang diambinya tersebut, dibiarkannya terkeletak di tempatnya
terjatuh. Hilanglah rencana Tok Bubut memasang sawa dan bubu. Dia memilih pergi
ke tempat lain. Kali ini perjalannya ke arah utara.
Tok Bubut rencananya mau menyeberang ke pulau Jawa. Jalan
dan jalan melalui padang hutan, akhirnya sampailah Tok Bubut di tepi laut.
Sekarang daerah ini di kenal dengan nama Kendawangan.
Tok Bubut pun mulai mengambin⁸ batu dan menyusunnya.
Mulai dari batu kecil, hingga ukuran besar. Di bibir pantai,
disusun batu-batu ukuran kecil. Semakin ke laut semakin besar pula batunya.
Batu ini tersusun beraturan, mengarah ke pulau Jawa. Rencananya, Tok Bubut mau membuat ketiti⁹,
untuk menyeberang ke Jawa. Konon, jarak antar batu ke batu cukup jauh, itu
hanya satu langkah Tok Bubut saja.
Lagi-lagi, saat mengambin batu, tali pengambin Tok Bubut
putus. Padahal batu-batu yang disusun Tok Bubut sudah jauh dari bibir pantai.
Tapi karena tali ambinnya putus, membuat Tok Bubut putus asa. Akhirnya, dia
mengurungkan niatnya menyeberang ke Jawa. Hingga sekarang, Batu
Ketiti ini masih ada
di Air Hitam Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang.
Tok Bubut memutuskan kembali ke tempat tingalnya, yaitu
Teluk Bubut. Sekarang daerah ini di kenal dengan nama Tok Bubut, karena pernah
ditempati Tok Bubut. Tempat ini persis berada di aliran Sungai Mata Mata, Desa
Sungai Mata Mata, Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara.
*****
Legenda yang yang masih berkembang di masyarakat Kayong,
bahwa batu besar yang dijadikan sawa oleh Tok Bubut, disebut Batu
Barat. Batu ini terletak di tengah Sungai Simpang Desa Batu Barat, Kecamatan
Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara. Jika air surut dan panting¹⁰, maka di tengah sungai tersebut
menimbulkan pusaran/pusat air. Akibat tekanan arus menambrak batu besar
tersebut.
Bekas Tok Bubut
menarik rotan dari arah Gunung Palung, bekasnya membentuk saluran. Sekarang
saluran bekas rotan tersebut, oleh warga setempat disebut Sungai Kubang.
Letaknya persis di seberang Desa Batu Barat. Dulu, Sungai Kubang merupakan
bagian Desa Batu Barat tua.
Kemudian, hempasan tali kepuak Tok Bubut yang putus
mengambin batu puncak gunung Paras Segantang, pun membentuk salaruran. Saluran
ini sekarang dikenal dengan nama Sungai Mata
Mata. Sungai ini terletak di Desa Sungai Mata Mata sekarang.
Puncak gunung yang rata disambar burung Garuda tersebut,
sekarang di kenal dengan nama gunung Paras Segantang. Ada yang menyebutnya Batu
Daye (Batu Daya). Ada juga yang menyebutnya Bukit Unta,
karena menyerupai unta.
Disebut Paras Segantang, karena mengandung arti khusus
bagi penduduk di Kerajaan Matan atau Simpang. Terdiri dari 2 kata,
yaitu Paras dam Segantang. Paras bisa
berarti rata atau datar, kerana jika dilihat dari kejauhan
puncaknya rata. Makna kedua, paras
bisa juga bermakna cantik, karena dilihat dari kejauhan puncaknya
terlihat indah sekali.
Segantang,
berasal dari kata gantang, yaitu alat sukat atau alat takaran tradisoinal untuk padi/beras. Sebab,
dari kejauhan batu raksasa ini menyerupai gantang, maka disebut segantang (satu
gantang). Gantang mulai populer pada masa pemerintahan Kerajaan
Tanjungpura, dengan rajanya Karang Tunjung alias
Panembahan Pudong Prasap (1481–1501).
Sedang puncak batu gunung Paras Segantang yang disambar
burung Garuda tersebut, berubah menjadi Gunung Sepuncak. Letak Gunung
Sepuncak sekarang di Desa Matan Jaya, Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong
Utara.
*****
Kisah Tok Bubut yang perkasa, dia memiliki 6 saudara kandung. Saudaranya,
yaitu Nek Takon, Nek Sedah, Nek Tanggi, Nek Letong, Nek Doyan dan satu orang
lagi tidak diketahui keberadaannya.
Kisah adik-beradik Tok Bubut tersebut, mereka tidak
menetap secara bersamaan. Nek Takon tinggal di Senebing Desa Harapan Mulia,
Sukadana. Dia menetap dalam gua, sekarang dikenal Gua Nek Takon.
Nek Sedah dan Nek Tanggi menetap di Sedahan Jaya
sekarang, Kecamatan Sukadana. Mereka berdua menetap di gua di gunung
Sedahan. Gua itu sekarang dinamai warga setempat Gua Batu Cap, karena penemu
awalnya bernama Cap. Gua ini secara nasional bernama Gua Berlukis (Rock
Painting), karena di dinding batu gua bertulis aksara kuno.
Nama Sedahan hari ini, diambil dari nama Nek Sedah.
Dari Sedah, berubah menjadi Sedahan. Sebagai bentuk penghormatan pendiri Sedahan dulu, diambil dari nama leluhur mereka,
Nek Sedah.
Saudara Tok Bubut bernama Nek Letong, berdiam di Desa
Pampang Harapan Kecamatan Sukadana sekarang. Di desa ini ada nama suatu tempat
atau sungai, yaitu Nek Letong atau Nek Utong.
Adik Tok Bubut yang bernama Nek
Doyan, menetap di hulu Siduk. Sekarang tempat ini menjadi nama
dusun, yaitu Dusun Nek Doyan, Desa Laman Satong, Kecamatan Matan Hilir Utara,
Kabupaten Ketapang.***
Hikmah dan arti
dibali cerita:
-
Dalam berusaha kita tidak boleh putus
asa. Sebab ikhtiar itu wajib hukumnya, soal hasil serahkan kepada Yang Kuasa.
-
Kita patut menghormati dan bersyukur kepada leluhur kita, karena mereka
juga kita bisa ada di bumi ini. Syukur yang paling utama tentu kepada Yang Maha
Kuasa.
- Tok¹: penggalan kata datok; kakek.
- Bubu²: alat tangkap tradisional untuk menangkap ikan/udang.
-
Sawa³, yaitu sejenis pagar penghalau terbuat dari
bambu, kayu atau daun/ranting kayu, atau bisa juga batu,
sebagai benteng jeretan atau pusat tangkapan.
-
Sambaran⁴, asal kata sambar: pangkas; ambil
paksa. Sambaran: sisa pangkasan. Menyambar: memangkas; mengambil paksa.
Menyambarnya: memangkasnya; diambilnya secara paksa. Disambarnya:
dipangkasnya/dipotongnya.
-
Ambung⁵, yaitu sejenis keranjang bulat,
tinggi dan agak besar, yang berfungsi membawa barang-barang dengan cara
digendong/dipanggul dari belakang.
-
Ambin⁶, yaitu pikul; gendong.
-
Kepuak⁷, yaitu
serat dari kulit kayu yang bisa dijadikan tali, dan pakaian.
-
Mengambin⁸:
memikul; mengendong.
-
Ketiti⁹: sarana penyeberangan yang terbuat dari sebatang
kayu atau susunan batu.
-
Panting¹⁰, yaitu kondisi air yang surut atau
agak kering.
0 Komentar