Di suatu kerajaan ternama, dipimpin oleh
seorang raja muda perkasa. Sang Raja telah menikah dengan seorang puteri
jelita, dari kerajaan tetangga. Keinginan sang Raja, kelak dia punya anak
lelaki, yang akan mengantikan posisinya sebagai raja.
Istri Raja telah menunjukan tanda-tanda
kehamilan. Sebab dia mengidam ingin memakan sesuatu. Agar tidak terjadi sesuatu
ke istri dan anaknya, sang Raja segera memenuhi keinginan Pemaisuri
tercinta.
Raja berencana akan berlayar ke negeri
seberang. Tujuannya ke pulau Jawa, mencarikan pakaian calon putra mahkota yang
di kandung istrinya.
Sebelum berangkat Raja berpesan, jika anak
yang lahir dari rahim istrinya laki-laki, perintahnya agar dipelihara dengan
baik. Jika yang lahir perempuan, titah Raja dibunuh. Mendengar titah raja,
Pemaisuri hanya bisa mengangguk. Hati Pemaisuri cemas dan berdebar, takut
kalau-kalau anak yang lahir nanti perempuan.
Dengan armada dan panglima lengkap, Raja pun
berlayar menuju negeri sahabatnya. Belum tahu berapa lama dia berada di tanah
Jawa. Rencananya, selesai urusannya dia pulang. Sementara waktu, kerajaannya
diwakilkan ke perdana menteri.
Di istana, Permaisuri sangat cemas dan berahi¹,
takut anak yang di kandungnya lahir perempuan. Tinggal menunggu waktu saja
bayinya akan lahir. Karena kandungannya telah berusia 9 bulan. Untuk
menghilangkan berahi dan suntuknya, Pemaisuri selalu bermain dengan burung
kesanyangannya, burung gagak.
Waktu lahir pun tiba. Ternyata, Permaisuri
melahirkan anak perempuan yang cantik parasnya. Antara senang dan sedih
menyelimuti hati Pemaisuri. Senang karena dianugerahi puteri cantik jelita.
Sedih karena mengingat titah suami, bahwa jika lahir anak perempuan harus di
bunuh.
Pemaisuri memerintahkan dayang untuk
memanggil Nek Inang. Pemaisuri ingin berunding dengan Nek Inang, pengasuhnya.
“Menurut Nek Inang, ape² yang haros
kite³ lakukan? Saye⁴ menyayangi puteri saye,” ungkapan sedih
Pemaisuri meminta pendapat Nek Inang.
“Menurut hambe⁵, bile⁶ tuan
puteri agak besak siket⁷, kite anta⁸ ke gunung Jelumpang, bia saye nang njagenye⁹. Nanti kite potong kambing, darahnye oleskan ke kain,
kambing kite kubokan¹º diberi mesan¹¹,” masukan Nek
Inang ke Pamaisuri, membuat hati Pemaisuri sedikitn lega.
Ketika usia Tuan Puteri lebih dari 40 hari,
Nek Inang pun membawanya pergi ke gunung Jelumpang. Dipersiapan segela
keperluan Tuan Puteri, kebutuhan makanan, pakaian dan tempat tinggalnya.
Sebagai pengasuhnya, Nek Inang saban hari mengurus keperluan Tuan Puteri.
Hingga tuan Puteri tumbuh besar, barulah Mah
Raja¹² datang. Dentuman meriam kapal telah kedengaran, menandakan Raja
telahtiba di muara. Ketika sampai di istana, yang pertama kali ditanya sang
Raja ialah anaknya. Dimana anaknya. Apakah anaknya laki-laki atau perempuan.
Jika laki-laki, berarti selamatlah nyawanya.
Pemaisuri menjadi gundah gulana. Tetapi dia
harus menjelaskan dan menyakinkan suaminya, bahwa anak mereka lahir perempuan
dan telah di bunuhnya. Buktinya ada kuburan dan bercak darah pada kain.
“Kemane¹³ anak kite, betinak¹⁴ ke lelaki¹⁵?” Tanya Mah Raja ke
Permaisuri. Permasuri menjelaskan bahwa anak mereka perempuan dan telah di
bunuh. Pemaisuri menunjukan kuburnya dan bercak darah tuan Puteri pada kain.
Mendengar penjelasan Permaisuri, Raja lega.
Karena dia telah melihat kuburan dan bercak darah pada kain. Padahal, yang
dikuburkan Permaisuri ialah kambing. Dan darah yang di kain pun darah kambing.
Permaisuri terpaksa berbohong, karena rasa
sayang kepada buah hatinya. Dia tidak ingin menghilangkan nyawa manusia yang
tidak berdosa. Apa lagi puteri tersebut darah dagingnya.
Semakin tahun, tuan Puteri tumbuh menjadi
dara jelita. Secara diam-diam, saban hari Nek Inang datang menjenguknya,
menyiapkan segala keperluannya. Kasih sayang Nek Inang ke tuan Puteri, seperti
cucu sendiri.
Kerana terus memikirkan kebohongannya tentang
keberadaan puterinya, Pemaisuri jadi mengurung diri di kamar. Nafsu makannya
jadi hilang. Jangankan memikirkan memberi makan burung gagak, dia sendiri saja
tidak tentu makan. Sehingga badan Pemaisuri kurus.Dia khawatir suami tahu, kalau dia menyimpan puteri mereka
di gunung Jelumpang.
Burung gagak yang sedang lapar tersebut
berkicau, ngomong memberitahukan sesuatu. Kerana selama Pemaisuri mengurung
diri, burungnya tidak diberinya makan.
“Gak… gak… gak… Tuan Puteri gunung
Jelumpang,” terdengar mendayu-dayu¹⁶ suara gagak yang kelaparan.
Berulang-ulang kicauan gagak itu memecah keheningan istana.
“Celake¹⁷…! Ngape¹⁸ gagak-nye
te’¹⁹, maok²º makan ape!” Murka Permaisuri mendengar kicauan burung
gagak yang kelaparan.
Padahal, Pemaisuri sangat menyayangi burung
gagak tersebut. Tetapi karena pikirannya kacau, sehingga burung kesayngannya
tak terurus.
“Ape kate²¹ kau ni gak bebunyi gitu te’²²? Timpal Raja mendengar nyanyian pilu burung gagak.
Berulang kali gagak melantukan suaranya. Tiap
waktu dan saban hari mengatakan kata yang sama. Seolah-olah gagak ingin besadu²³
ke Mah Raja bahwa tuan Puteri ada di gunung Jelumpang. Sebab gagak melihat
kejadian tentang tuan Puteri. Kerana gagak termasuk binatang cerdik dan bisa
bicara. Karena teraniaya dan lapar, gagak bersuara.
Karena berulang kali mendengar kicauan gagak,
Mah Raja tersadar.Burung gagak memberitahunya, bahwa anak puterinya masih hidup
dan berada di gunung Jelumpang. Raja terbangun dari baringnya, berdiri menatap
Permaisuri dengan mimik kesal.
“Kau bilang anak kite te’ udah mati kau bunoh²⁴!
Nyan kubonye²⁵. Kau ni pembulak²⁶. Nyatenye²⁷
masih idop²⁸ di gunung Jelumpang.” Murka raja ke Peramisuri yang
membohonginya.
Mengetahui anaknya masih hidup, Raja membuat
anak panah dari bambu. Di rautnya satu per satu belahan bambu hingga tajam.
Anak panah tersebut dipersiapkan untuk memanah dan membunuh tuan Puteri, darah
dagingnya sendiri.
Raja memerintahkan ke Nek Inang agar
menjumput pulang tuan Puteri. “Kau pegi jempot²⁹ tuan Puteri! Bilang same
die³º, bahwe rame³¹-mu maok bejumpe³². Reme ingin
mengenakan poleh-poleh³³ rame datang belaya³⁴, gelang, kekalong³⁵
dan sumbang mampang³⁶.”
Dengan derai air mata, Nek Inang pergi
mendatangi tuan Puteri untuk di jemput pulang ke istana. Apa daya, Nek Inang
hanya rakyat jelata, tak memiliki kekuatan untuk menolak titah Raja.
Sepajang jalan Nek Inang melantukan panggilan
ke tuan Puteri kesayangannya. Sesampai di kediaman tuan Puteri, Nek Inang tak masuk
ke dalam pondok tuan Puteri. Nek Inang tak sanggup menahan kesedihannya. Nek
Inang memanggil dari samping rumah, dengan latunan yang mendayu-dayu.
“Tuan Puteri gunung Jelumpang…. Pesan rame
sampe’ nyuroh³⁷ balik ke rumah! Maok ngenakan³⁸, gelang kekalongsubang mampang,” suara Nek Inang mememanggil
tuan Puteri.
“Tunggu am nek e’³⁹, gi’ nyuson⁴º benang buat kaen⁴¹,” sahut⁴² tuan Puteri ke Nek Inang - pengasuh setianya.Bahwa dia mengabarkan sedang menenum kain.
Saat Nek Inang
sampai di istana, Mah Raja pun bertanya, kemana anaknya. Nek Inang
menjawab bahwa tuan Puteri lagi menenun kain. Demikian pekerjaan sehari-hari
tuan Puteri di gunung Jelumpang.
Ke esoknya Raja
memerintahkan Nek Inang menjemput tuan Puteri lagi. Karena perintah Raja, Nek
Inang tak bisa membantah. Pergilah Nek Inang menjemput tuan Puteri. Sepanjang
jalan hingga tiba di kediaman tuan Puteri, Nek Inang melantunkan panggilan yang
sama.
“Tuan Puteri gunung Jelumpang…. Pesan rame
sampe’nyuroh balik ke rumah! Maokngenakan, gelang kekalongsubang mampang,” panggilan Nek Inang tuan Puteri.
“Lom a’⁴³ nek e’. lom jadi a’ kaenku. Baru nambeng e’⁴⁴ kaenku,” jawab tuan Puteri bahwa dia lagi
merapikan tepian kain tenunnya.
Karena tuan
Puteri belum selesai menenun, Nek Inang pulang, melaporkan ke Raja. Raja terus memerintah Nek Inang, sebelum tuan Puteri datang dihapannya. Nek Inang
pergi lagi. Seperti biasa, sepanjang jalan Nek Inang melantukan panggilan
sedihnya ke tuan Puteri.
“Tuan Puteri gunung Jelumpang…. Pesan rame
sampe’nyuroh balik ke rumah! Maokngenakan, gelang kekalongsubang mampang,” panggilan Nek Inang.
“Lom a’ nek e’, gi’ nepi e’kaenku,”
jawab tuan Puteri, dia sedang merapikan tepi kainnya.
Nek Inang kembali melapor ke Raja, bahwa tuan
Puteri belum tuntas menenun. Tuan Puteri masih merapikan tepi kain tenunnya.
Ke esoknya raja memberi titah lagi ke Nek
Inang, agar menjumput tuan Puteri. Tanpa berlama-lama, Nek Inang bergegas
pergi. Sebagaimana biasa, sepanjang jalan Nek Inang melantunkan panggilan
sedihnya ke tuan Puteri kesayangannya.
“Tuan Puteri gunung Jelumpang…. Pesan rame
sampe’nyuroh balik ke rumah! Maokngenakan, gelang kekalongsubang mampang,”
kembali Nek Inang, memanggil tuan Puteri.
“Tunggu am nek e’, aku gi’mandi’!” Jawab tuan
Puteri ke nek asuhnya, Nek Inang, bahwa dia lagi mandi.
Selesai mandi tuan Puteri berkemas-kemas, besikat⁴⁵,
berminyak, berpakaian, memakai sanggul dendeng dan kelengkapan lainnya. Kain
tentunya yang telah jadi, jika dikepal, hanya sekapal saja. Dan kain tenun ini
diselepangkannya ke sanggul indahnya, membuat tuan Puteri semakin cantik.
Melihat paras dan kecantikan tuan Puteri, membuat
hati Nek Inag semakin pilu. Karena sebentar lagi nyawa tuan Puteri akan
melayang di tangan ayahandanya.
Kulit tuan Puteri putih mulus seperti kapas.
Saking putihnya, hingga muncul istilah, jika tuan Puteri minum, maka air menum
melalui tenggoroknya kelihatan.
Setelah selesai berkemas, tuan Puteri dan Nek
Inang turun dari kediaman tuan Puteri, menuju ke istana. Di pinggir jalan, di
semak-semak di dalam hutan, Mah Raja telah siaga dengan panah dan busurnya. Tak
lama, Raja pun melepaskan busur panahnya. Pelak, busur panah raja mengenai
belakang kepala tuan Puteri.
“Eeeeh… nek e’, ini am pasak sipot-ku diberik rame te’⁴⁶,” suara parau tuan Puteri
menyampaikan ke Nek Inang. Pada hal itu busur panah ayahandanya, yang bernafsu
ingin membunuhnya.
Melihat kejadian itu, Nek Inang melepaskan
busur panah di kepala tuan Puteri. Nek Inang tahu, busur itu pasti milik
ayahanda tuan Puteri. Mereka terus melanjutkan perjalanan, tanpa memperdulikan
gangguan yang ada. Tidak lama mereka berjalan, tiba-tibat melesat lagi busur
panah di telinga tuan Puteri. Bercucuran darah membasahi pipih mulus tuan
Puteri.
“Eeeeh… nek e’, ini am subang diberik rame te’,” erang manja tuan Puteri ke nenek
asuhnya. Nek Inang mencabut busur tersebut, bercucuran darah keluar menyapu
wajah polos tuan Puteri.
Mereka meneruskan perjalanan. Walau dibasahi
darah, tuan Puteri tetap melanjutkan perjalananya, demi memenuhi panggilan
ramenya. Ini merupakan bentuk kepatuhan tuan Puteri kepada orang tuanya. Dan
tuan Puteri tidak mengetahui, bahwa yang memanahnya ayah kandungnya sendiri.
Tidak berapa lama mereka berjalan, terdengar
lesatan busur menembus lengan tuan Puteri. Kembali, tangan mulus tuan Puteri
bermandi darah.
“Eeeeh… nek e’, ini am gelang pemberian rame
te’,” erang tuan Puteri menunjukan busur panah ke Nek Inang. Nek Inang pun
mencabutnya.
Kendati bermandi darah, tuan Puteri dan Nek
Inang tetap meneruskan perjalanannya. Mah Raja tetap membututi mereka. Raja
belum melihat secara langsung wajah puterinya. Lagi-lagi, busur panah melesat
ke leher tuan Puteri. Bercucuran darah membasahi tubuh putih tuan Puteri.
“Eeeeh… nek e’, ini am kalong pemberian rame
te’,” ucap tuan Puteri dengan melemparkan senyum manisnya ke Nek Inang. Kembali
Nek Inang mencabut busur di leher tuan Puteri.
Tak terasa, perjalanan tuan Puteri dan Nek
Inang telah mendekati halaman istana. Dan lagi, tuan Puteri disambut dengan
busur panah menembus perutnya. Sembari memegang busur di perutnya dengan tangan
berlumur darah, tuan Puteri berujar ke Nek Inang, “Eeeeh… nek e’, ini
am pendeng⁴⁷ pemberianrame te’.”
Setelah mengatakan pendeng pemberian ayahnya,
tuan Puteri jatuh terkulai tak berdaya. Dia menghembuskan napas terakhir.
Melihat kejadian itu, Nek Inang penjaga setianya langsung selap⁴⁸.
Bukan cuma nek Inang yang selap, Pemaisuri
dan pemanahnya (Raja) pun selap. Hati Pemaisuri benar-benar hancur. Anak
sematawayangnya, puteri satu-satunya yang dia sayangi telah menghadap Ilahi.
Yang membuat Raja selap, begitu melihat wajah
puterinya, ternyata puterinya berparas jelita. Seketika menatap wajah anaknya,
Mah Raja meneteskan air mata dan selap. Pikiran Raja berkecamuk, mengapa dia
bisa setega itu dan bernafsu membunuh anaknya yang tidak berdosa.
Melihat kejaian tersebut, ninaju⁴⁹-lah
Nenek Gega Mayang dan Datok Gega Mayang dari kayangan⁵º. Mereka melihat
manusia di bumi sedang dalam musibah. Dengan rasa iba, Nek Gega Mayang mengajak
suaminya Datok Gega Mayang turun ke bumi, membantu manusia yang sedang mendapat
musibah.
“Ayok am kite turon⁵¹ ke bumi, urang⁵² di bumi sedang kenak⁵³ musibah!” Ajak
Nenek Gega Mayang ke suaminya turun ke bumi.
Nenek Gega Mayang dan Datok Gega Mayang pun turun ke bumi.
Mereka mengenakan baju layang angin⁵⁴. Mereka turun persis di tempat tuan Puteri, Nek Inang, Pemaisuri dan Raja terkapar.
Konon, ketika itu pintu langit masih terbuka.
Makhluk di kayangan masing sering turun ke bumi membantu manusia.
Setibanya dihadapan keluarga istana, Nenek
Gega Mayang dan Datok Gega Mayang langsung membantu. Nenek Gega Mayang dan
Datok Gega Mayang membakar menyan (kemenyan) putih. Asap menyan tersebut
diusapkan ke tuan Puteri, Permaisuri, Mah Raja dan Nek Inang. Dengan ijin
Tuhan, tuan Puteri hidup, serta Mah Raja, Pemaisuri dan Nek Inang pun sadar.
Bukan main senang hati Mah Raja melihat
puterinya hidup kembali. Dipeluknya
dengan kasih sayang dan rasa bersalah. Dengan tulus Mah Raja meminta maaf ke
tuan Puteri. Mah Raja sadar, bahwa anak adalah anugerah dan titipan yang wajib
di jaga dengan baik.
Dengan kejadian ini, Nenek Gega Mayang dan
datok Gega Mayang bertanya dan memberikan pilihan kepada Mah Raja. Ini sebagai
bentuk hukuman negeri kayangan kepada Mah Raja dan keturunannya. Karena Nenek
Gega Mayang dan Datok Gega Mayang telah menghidupkan mereka kembali.
“Maok mati pisang e’⁵⁵, maok mati bulan?” Tanya Nenek Gega
Mayang ke Mah Raja.
Mah Raja salah salah. Dia menjawab mau mati
pisang. Artinya, jika mati pisang setelah mati tidak akan hidup lagi. Yang
hidup hanya anak-anaknya. Demikian seterusnya.
Jika Mah Raja menjawab pertanyaan Nenek Gega
Mayang ‘mati bulan’, maka Mah Raja dan keturunannya, jika mati bisa hidup
kembali, seperti bulan.
Karena Mah Raja menjawab ‘mati pisang’, maka
hingga sekarang semua manusia di bumi ini ‘mati pisang’. Sejak saat itu, pintu
langit pun di tutup. Orang-orang kayangan tak pernah turun lagi. Sebab, manusia
telah memilih mati pisang, yang berarti tidak memerlukan bantuan dari kayangan.
Wallahu a’lamu.
Hikmah dan makna dibalik cerita:
- Kita wajib bersyukur atas rejeki dan anugerah yang diberikan Tuhan. Jadi
manusia yang kufur nikmat.
- Anak adalah amanah dan titipan Ilahi yang wajib di jaga dan di didik
dengan baik.
- Menghilangkan nyawa seseorang ialah perbuatan keji dan munkar, dosa
besar. Kelak azab Tuhan lebih dahsyat kepada orang-orang yang tega
menghilangkan nyawa manusia.
- Dalam hidup kita harus menanamkan kasih sayang, hotmat menghormati
sehingga tercipta keharmonisan hidup.
- Jangan karena memiliki kuasa dan kekuasaan, kita bertindak semaunya.
Kekuasaan, jabatan, harta kekayaan hanya titipan. Pada akhirnya akan kita tinggalkan.
Maka, selagi hidup berbuat baiklah dan wariskan kebaikan.
- Cerita orang tua-tua dulu, Gunung
Jelumpang merupakan gugusan Gunung Palung. Bisa jadi Gunung Palung dahulu
namanya Gunung Jelumpang.
- Berahi¹; birahi, yaitu rasa sedih atau
yang dalam; selalu dipikirkan; hasrat yang tinggi akan sesuatu.
- Ape²: apa.
- Haros kite³: harus kita
- Saye⁴: saya.
- Hambe⁵: hamba.
- Bile⁶: bila; kapan.
- Besak siket⁷: besar sedikit; agak besar.
- Anta⁸: antar.
- Bia saye nang njagenye⁹: biar saya yang menjaganya.
- Kubokan¹º: kuburkan Mesan¹¹; mensan: nisan kuburan.
-
Mah Raja¹²: Maha Raja.
- Kemane¹³: kemana
- Betinak¹⁴: perempuan; wanita.
- Lelaki¹⁵: laki-laki; pria.
0 Komentar