Kisah Putri Gunung Jelumpang

 


Penutur: Nek Inok    
Penulis & editor : Miftahul Huda & Hasanan
Ilustrator : Supriono

Di suatu kerajaan ternama, dipimpin oleh seorang raja muda perkasa. Sang Raja telah menikah dengan seorang puteri jelita, dari kerajaan tetangga. Keinginan sang Raja, kelak dia punya anak lelaki, yang akan mengantikan posisinya sebagai raja.

 

Istri Raja telah menunjukan tanda-tanda kehamilan. Sebab dia mengidam ingin memakan sesuatu. Agar tidak terjadi sesuatu ke istri dan anaknya, sang Raja segera memenuhi keinginan Pemaisuri tercinta.

 

Raja berencana akan berlayar ke negeri seberang. Tujuannya ke pulau Jawa, mencarikan pakaian calon putra mahkota yang di kandung istrinya.

 

Sebelum berangkat Raja berpesan, jika anak yang lahir dari rahim istrinya laki-laki, perintahnya agar dipelihara dengan baik. Jika yang lahir perempuan, titah Raja dibunuh. Mendengar titah raja, Pemaisuri hanya bisa mengangguk. Hati Pemaisuri cemas dan berdebar, takut kalau-kalau anak yang lahir nanti perempuan.

 

Dengan armada dan panglima lengkap, Raja pun berlayar menuju negeri sahabatnya. Belum tahu berapa lama dia berada di tanah Jawa. Rencananya, selesai urusannya dia pulang. Sementara waktu, kerajaannya diwakilkan ke perdana menteri.

 

Di istana, Permaisuri sangat cemas dan berahi¹, takut anak yang di kandungnya lahir perempuan. Tinggal menunggu waktu saja bayinya akan lahir. Karena kandungannya telah berusia 9 bulan. Untuk menghilangkan berahi dan suntuknya, Pemaisuri selalu bermain dengan burung kesanyangannya, burung gagak.

 

Waktu lahir pun tiba. Ternyata, Permaisuri melahirkan anak perempuan yang cantik parasnya. Antara senang dan sedih menyelimuti hati Pemaisuri. Senang karena dianugerahi puteri cantik jelita. Sedih karena mengingat titah suami, bahwa jika lahir anak perempuan harus di bunuh.

 

Pemaisuri memerintahkan dayang untuk memanggil Nek Inang. Pemaisuri ingin berunding dengan Nek Inang, pengasuhnya.

 

“Menurut Nek Inang, ape² yang haros kite³ lakukan? Saye⁴ menyayangi puteri saye,” ungkapan sedih Pemaisuri meminta pendapat Nek Inang.

 

“Menurut hambe⁵, bile⁶ tuan puteri agak besak siket⁷, kite anta⁸ ke gunung Jelumpang, bia saye nang njagenye⁹. Nanti kite potong kambing, darahnye oleskan ke kain, kambing kite kubokan¹º diberi mesan¹¹,” masukan Nek Inang ke Pamaisuri, membuat hati Pemaisuri sedikitn lega.

 


Ketika usia Tuan Puteri lebih dari 40 hari, Nek Inang pun membawanya pergi ke gunung Jelumpang. Dipersiapan segela keperluan Tuan Puteri, kebutuhan makanan, pakaian dan tempat tinggalnya. Sebagai pengasuhnya, Nek Inang saban hari mengurus keperluan Tuan Puteri.

 

Hingga tuan Puteri tumbuh besar, barulah Mah Raja¹² datang. Dentuman meriam kapal telah kedengaran, menandakan Raja telahtiba di muara. Ketika sampai di istana, yang pertama kali ditanya sang Raja ialah anaknya. Dimana anaknya. Apakah anaknya laki-laki atau perempuan. Jika laki-laki, berarti selamatlah nyawanya.

 

Pemaisuri menjadi gundah gulana. Tetapi dia harus menjelaskan dan menyakinkan suaminya, bahwa anak mereka lahir perempuan dan telah di bunuhnya. Buktinya ada kuburan dan bercak darah pada kain.

 

Kemane¹³ anak kite, betinak¹⁴ ke lelaki¹⁵?” Tanya Mah Raja ke Permaisuri. Permasuri menjelaskan bahwa anak mereka perempuan dan telah di bunuh. Pemaisuri menunjukan kuburnya dan bercak darah tuan Puteri pada kain.

 

Mendengar penjelasan Permaisuri, Raja lega. Karena dia telah melihat kuburan dan bercak darah pada kain. Padahal, yang dikuburkan Permaisuri ialah kambing. Dan darah yang di kain pun darah kambing.

 

Permaisuri terpaksa berbohong, karena rasa sayang kepada buah hatinya. Dia tidak ingin menghilangkan nyawa manusia yang tidak berdosa. Apa lagi puteri tersebut darah dagingnya.

 

Semakin tahun, tuan Puteri tumbuh menjadi dara jelita. Secara diam-diam, saban hari Nek Inang datang menjenguknya, menyiapkan segala keperluannya. Kasih sayang Nek Inang ke tuan Puteri, seperti cucu sendiri.

 


Kerana terus memikirkan kebohongannya tentang keberadaan puterinya, Pemaisuri jadi mengurung diri di kamar. Nafsu makannya jadi hilang. Jangankan memikirkan memberi makan burung gagak, dia sendiri saja tidak tentu makan. Sehingga badan Pemaisuri kurus.Dia khawatir  suami tahu, kalau dia menyimpan puteri mereka di gunung Jelumpang.

 

Burung gagak yang sedang lapar tersebut berkicau, ngomong memberitahukan sesuatu. Kerana selama Pemaisuri mengurung diri, burungnya tidak diberinya makan.

 

“Gak… gak… gak… Tuan Puteri gunung Jelumpang,” terdengar mendayu-dayu¹⁶ suara gagak yang kelaparan. Berulang-ulang kicauan gagak itu memecah keheningan istana.

 

Celake¹⁷…! Ngape¹⁸ gagak-nye te’¹⁹, maok²º makan ape!” Murka Permaisuri mendengar kicauan burung gagak yang kelaparan.

 

Padahal, Pemaisuri sangat menyayangi burung gagak tersebut. Tetapi karena pikirannya kacau, sehingga burung kesayngannya tak terurus.

 

“Ape kate²¹ kau ni gak bebunyi gitu te’²²? Timpal Raja mendengar nyanyian pilu burung gagak.

 

Berulang kali gagak melantukan suaranya. Tiap waktu dan saban hari mengatakan kata yang sama. Seolah-olah gagak ingin besadu²³ ke Mah Raja bahwa tuan Puteri ada di gunung Jelumpang. Sebab gagak melihat kejadian tentang tuan Puteri. Kerana gagak termasuk binatang cerdik dan bisa bicara. Karena teraniaya dan lapar, gagak bersuara.

 

Karena berulang kali mendengar kicauan gagak, Mah Raja tersadar.Burung gagak memberitahunya, bahwa anak puterinya masih hidup dan berada di gunung Jelumpang. Raja terbangun dari baringnya, berdiri menatap Permaisuri dengan mimik kesal.

 

“Kau bilang anak kite te’ udah mati kau bunoh²⁴! Nyan kubonye²⁵. Kau ni pembulak²⁶. Nyatenye²⁷ masih idop²⁸ di gunung Jelumpang.” Murka raja ke Peramisuri yang membohonginya.

 

Mengetahui anaknya masih hidup, Raja membuat anak panah dari bambu. Di rautnya satu per satu belahan bambu hingga tajam. Anak panah tersebut dipersiapkan untuk memanah dan membunuh tuan Puteri, darah dagingnya sendiri.

 

Raja memerintahkan ke Nek Inang agar menjumput pulang tuan Puteri. “Kau pegi jempot²⁹ tuan Puteri! Bilang same die³º, bahwe rame³¹-mu maok bejumpe³². Reme ingin mengenakan poleh-poleh³³ rame datang belaya³⁴, gelang, kekalong³⁵ dan sumbang mampang³⁶.”

 

Dengan derai air mata, Nek Inang pergi mendatangi tuan Puteri untuk di jemput pulang ke istana. Apa daya, Nek Inang hanya rakyat jelata, tak memiliki kekuatan untuk menolak titah Raja.

 

Sepajang jalan Nek Inang melantukan panggilan ke tuan Puteri kesayangannya. Sesampai di kediaman tuan Puteri, Nek Inang tak masuk ke dalam pondok tuan Puteri. Nek Inang tak sanggup menahan kesedihannya. Nek Inang memanggil dari samping rumah, dengan latunan yang mendayu-dayu.

 

“Tuan Puteri gunung Jelumpang…. Pesan rame sampe’ nyuroh³⁷ balik ke rumah! Maok ngenakan³⁸, gelang kekalongsubang mampang,” suara Nek Inang mememanggil tuan Puteri.

 

Tunggu am nek e’³⁹, gi’ nyuson⁴º benang buat kaen⁴¹,” sahut⁴² tuan Puteri ke Nek Inang - pengasuh setianya.Bahwa dia mengabarkan sedang menenum kain.

 

Saat Nek Inang sampai di istana, Mah Raja pun bertanya, kemana anaknya. Nek Inang menjawab bahwa tuan Puteri lagi menenun kain. Demikian pekerjaan sehari-hari tuan Puteri di gunung Jelumpang.

 


Ke esoknya Raja memerintahkan Nek Inang menjemput tuan Puteri lagi. Karena perintah Raja, Nek Inang tak bisa membantah. Pergilah Nek Inang menjemput tuan Puteri. Sepanjang jalan hingga tiba di kediaman tuan Puteri, Nek Inang melantunkan panggilan yang sama.

 

“Tuan Puteri gunung Jelumpang…. Pesan rame sampe’nyuroh balik ke rumah! Maokngenakan, gelang kekalongsubang mampang,” panggilan Nek Inang tuan Puteri.

 

Lom a’⁴³ nek e’. lom jadi a’ kaenku. Baru nambeng e’⁴⁴ kaenku,” jawab tuan Puteri bahwa dia lagi merapikan tepian kain tenunnya.

 

Karena tuan Puteri belum selesai menenun, Nek Inang pulang, melaporkan ke Raja. Raja terus memerintah Nek Inang, sebelum  tuan Puteri datang dihapannya. Nek Inang pergi lagi. Seperti biasa, sepanjang jalan Nek Inang melantukan panggilan sedihnya ke tuan Puteri.

 

“Tuan Puteri gunung Jelumpang…. Pesan rame sampe’nyuroh balik ke rumah! Maokngenakan, gelang kekalongsubang mampang,” panggilan Nek Inang.

 

“Lom a’ nek e’, gi’ nepi e’kaenku, jawab tuan Puteri, dia sedang merapikan tepi kainnya.

Nek Inang kembali melapor ke Raja, bahwa tuan Puteri belum tuntas menenun. Tuan Puteri masih merapikan tepi kain tenunnya.

 

Ke esoknya raja memberi titah lagi ke Nek Inang, agar menjumput tuan Puteri. Tanpa berlama-lama, Nek Inang bergegas pergi. Sebagaimana biasa, sepanjang jalan Nek Inang melantunkan panggilan sedihnya ke tuan Puteri kesayangannya.

 

“Tuan Puteri gunung Jelumpang…. Pesan rame sampe’nyuroh balik ke rumah! Maokngenakan, gelang kekalongsubang mampang,” kembali Nek Inang, memanggil tuan Puteri.

 

“Tunggu am nek e’, aku gi’mandi’!” Jawab tuan Puteri ke nek asuhnya, Nek Inang, bahwa dia lagi mandi.

 

Selesai mandi tuan Puteri berkemas-kemas, besikat⁴⁵, berminyak, berpakaian, memakai sanggul dendeng dan kelengkapan lainnya. Kain tentunya yang telah jadi, jika dikepal, hanya sekapal saja. Dan kain tenun ini diselepangkannya ke sanggul indahnya, membuat tuan Puteri semakin cantik.

 

Melihat paras dan kecantikan tuan Puteri, membuat hati Nek Inag semakin pilu. Karena sebentar lagi nyawa tuan Puteri akan melayang di tangan ayahandanya.

 

Kulit tuan Puteri putih mulus seperti kapas. Saking putihnya, hingga muncul istilah, jika tuan Puteri minum, maka air menum melalui tenggoroknya kelihatan.

 

Setelah selesai berkemas, tuan Puteri dan Nek Inang turun dari kediaman tuan Puteri, menuju ke istana. Di pinggir jalan, di semak-semak di dalam hutan, Mah Raja telah siaga dengan panah dan busurnya. Tak lama, Raja pun melepaskan busur panahnya. Pelak, busur panah raja mengenai belakang kepala tuan Puteri.

 

“Eeeeh… nek e’, ini am pasak sipot-ku diberik rame te’⁴⁶,” suara parau tuan Puteri menyampaikan ke Nek Inang. Pada hal itu busur panah ayahandanya, yang bernafsu ingin membunuhnya.

 

Melihat kejadian itu, Nek Inang melepaskan busur panah di kepala tuan Puteri. Nek Inang tahu, busur itu pasti milik ayahanda tuan Puteri. Mereka terus melanjutkan perjalanan, tanpa memperdulikan gangguan yang ada. Tidak lama mereka berjalan, tiba-tibat melesat lagi busur panah di telinga tuan Puteri. Bercucuran darah membasahi pipih mulus tuan Puteri.

 

“Eeeeh… nek e’, ini am subang diberik rame te’,” erang manja tuan Puteri ke nenek asuhnya. Nek Inang mencabut busur tersebut, bercucuran darah keluar menyapu wajah polos tuan Puteri.

 

Mereka meneruskan perjalanan. Walau dibasahi darah, tuan Puteri tetap melanjutkan perjalananya, demi memenuhi panggilan ramenya. Ini merupakan bentuk kepatuhan tuan Puteri kepada orang tuanya. Dan tuan Puteri tidak mengetahui, bahwa yang memanahnya ayah kandungnya sendiri.

 

Tidak berapa lama mereka berjalan, terdengar lesatan busur menembus lengan tuan Puteri. Kembali, tangan mulus tuan Puteri bermandi darah.

 

“Eeeeh… nek e’, ini am gelang pemberian rame te’,” erang tuan Puteri menunjukan busur panah ke Nek Inang. Nek Inang pun mencabutnya.

 

Kendati bermandi darah, tuan Puteri dan Nek Inang tetap meneruskan perjalanannya. Mah Raja tetap membututi mereka. Raja belum melihat secara langsung wajah puterinya. Lagi-lagi, busur panah melesat ke leher tuan Puteri. Bercucuran darah membasahi tubuh putih tuan Puteri.

 

“Eeeeh… nek e’, ini am kalong pemberian rame te’,” ucap tuan Puteri dengan melemparkan senyum manisnya ke Nek Inang. Kembali Nek Inang mencabut busur di leher tuan Puteri.

 

Tak terasa, perjalanan tuan Puteri dan Nek Inang telah mendekati halaman istana. Dan lagi, tuan Puteri disambut dengan busur panah menembus perutnya. Sembari memegang busur di perutnya dengan tangan berlumur darah, tuan Puteri berujar ke Nek Inang, “Eeeeh… nek e’, ini am pendeng⁴⁷ pemberianrame te’.

 

Setelah mengatakan pendeng pemberian ayahnya, tuan Puteri jatuh terkulai tak berdaya. Dia menghembuskan napas terakhir. Melihat kejadian itu, Nek Inang penjaga setianya langsung selap⁴⁸.

 

Bukan cuma nek Inang yang selap, Pemaisuri dan pemanahnya (Raja) pun selap. Hati Pemaisuri benar-benar hancur. Anak sematawayangnya, puteri satu-satunya yang dia sayangi telah menghadap Ilahi.

 

Yang membuat Raja selap, begitu melihat wajah puterinya, ternyata puterinya berparas jelita. Seketika menatap wajah anaknya, Mah Raja meneteskan air mata dan selap. Pikiran Raja berkecamuk, mengapa dia bisa setega itu dan bernafsu membunuh anaknya yang tidak berdosa.

 

Melihat kejaian tersebut, ninaju⁴⁹-lah Nenek Gega Mayang dan Datok Gega Mayang dari kayangan⁵º. Mereka melihat manusia di bumi sedang dalam musibah. Dengan rasa iba, Nek Gega Mayang mengajak suaminya Datok Gega Mayang turun ke bumi, membantu manusia yang sedang mendapat musibah.

 

Ayok am kite turon⁵¹ ke bumi, urang⁵² di bumi sedang kenak⁵³ musibah!” Ajak Nenek Gega Mayang ke suaminya turun ke bumi.

 

Nenek Gega Mayang dan Datok Gega Mayang pun turun ke bumi. Mereka mengenakan baju layang angin⁵⁴. Mereka turun persis di tempat tuan Puteri, Nek Inang, Pemaisuri dan Raja terkapar.

 

Konon, ketika itu pintu langit masih terbuka. Makhluk di kayangan masing sering turun ke bumi membantu manusia.

 

Setibanya dihadapan keluarga istana, Nenek Gega Mayang dan Datok Gega Mayang langsung membantu. Nenek Gega Mayang dan Datok Gega Mayang membakar menyan (kemenyan) putih. Asap menyan tersebut diusapkan ke tuan Puteri, Permaisuri, Mah Raja dan Nek Inang. Dengan ijin Tuhan, tuan Puteri hidup, serta Mah Raja, Pemaisuri dan Nek Inang pun sadar.

 

Bukan main senang hati Mah Raja melihat puterinya  hidup kembali. Dipeluknya dengan kasih sayang dan rasa bersalah. Dengan tulus Mah Raja meminta maaf ke tuan Puteri. Mah Raja sadar, bahwa anak adalah anugerah dan titipan yang wajib di jaga dengan baik.

 

Dengan kejadian ini, Nenek Gega Mayang dan datok Gega Mayang bertanya dan memberikan pilihan kepada Mah Raja. Ini sebagai bentuk hukuman negeri kayangan kepada Mah Raja dan keturunannya. Karena Nenek Gega Mayang dan Datok Gega Mayang telah menghidupkan mereka kembali.

 

Maok mati pisang e’⁵⁵, maok mati bulan?” Tanya Nenek Gega Mayang ke Mah Raja.

 

Mah Raja salah salah. Dia menjawab mau mati pisang. Artinya, jika mati pisang setelah mati tidak akan hidup lagi. Yang hidup hanya anak-anaknya. Demikian seterusnya.

 

Jika Mah Raja menjawab pertanyaan Nenek Gega Mayang ‘mati bulan’, maka Mah Raja dan keturunannya, jika mati bisa hidup kembali, seperti bulan.

 

Karena Mah Raja menjawab ‘mati pisang’, maka hingga sekarang semua manusia di bumi ini ‘mati pisang’. Sejak saat itu, pintu langit pun di tutup. Orang-orang kayangan tak pernah turun lagi. Sebab, manusia telah memilih mati pisang, yang berarti tidak memerlukan bantuan dari kayangan. Wallahu a’lamu.

 

Hikmah dan makna dibalik cerita:

-     Kita wajib bersyukur atas rejeki dan anugerah yang diberikan Tuhan. Jadi manusia yang kufur nikmat.

-     Anak adalah amanah dan titipan Ilahi yang wajib di jaga dan di didik dengan baik.

-     Menghilangkan nyawa seseorang ialah perbuatan keji dan munkar, dosa besar. Kelak azab Tuhan lebih dahsyat kepada orang-orang yang tega menghilangkan nyawa manusia.

-     Dalam hidup kita harus menanamkan kasih sayang, hotmat menghormati sehingga tercipta keharmonisan hidup.

-     Jangan karena memiliki kuasa dan kekuasaan, kita bertindak semaunya. Kekuasaan, jabatan, harta kekayaan hanya titipan. Pada akhirnya akan kita tinggalkan. Maka, selagi hidup berbuat baiklah dan wariskan kebaikan.

-     Cerita orang tua-tua dulu, Gunung Jelumpang merupakan gugusan Gunung Palung. Bisa jadi Gunung Palung dahulu namanya Gunung Jelumpang.

-     Berahi¹; birahi, yaitu rasa  sedih atau yang dalam; selalu dipikirkan; hasrat yang tinggi akan sesuatu.

-     Ape²: apa.

-     Haros kite³: harus kita

-     Saye⁴: saya.

-     Hambe⁵: hamba.

-     Bile⁶: bila; kapan.

-     Besak siket⁷: besar sedikit; agak besar.

-     Anta⁸: antar.

-     Bia saye nang njagenye⁹: biar saya yang menjaganya.

-     Kubokan¹º: kuburkan Mesan¹¹; mensan: nisan kuburan.

-     Mah Raja¹²: Maha Raja.

-     Kemane¹³: kemana

-     Betinak¹⁴: perempuan; wanita.

-     Lelaki¹⁵: laki-laki; pria.

 

Posting Komentar

0 Komentar