Di
kampung tua dulu, ada satu keluarga yang hidupnya sangat miskin. Keluarga ini memiliki seorang anak laki-laki berusia sekitar
12 tahun. Pada suatu hari, anak miskin ini berjalan
dan menghampiri rumah saudagar (orang kaya raya) di kampung mereka.
Sesaat sampai di depan rumah saudagar, anak miskin mencium bau masakan yang sangat
enak.
Benar,
dia melihat saudagar sekeluarga sedang menyantap makanan.
Anak
miskin tersebut duduk, menatap keluarga saudagar yang sedang makan aneka
makanan dengan lahap. Tak ada sedikit pun niat saudagar mengulurkan
atau menawarkan makan ke anak miskin ini.
Ketika
keluarga saudara selesai makan, anak
miskin langsung berdiri dan sedawe¹
(sendawa).Kemudian berujar, “Eee
am.... Alhamdulillah,
kenyang dah mencium bau makanan saudagar ni.”
Mendengar
ucapan anak miskin tersebut, saudagar murka. Dia tidak terima anak miskin merasa kenyang mencium bau
makanannya. Dia minta ganti rugi kepada anak miskin dengan jumlah yang tak
masuk akal.
“Kau
harus bayar 10 Dinar. Kalau tidak, akan aku laporkan kau ke raja,” ungkap
saudagar dengan bengis.
“Dengan
apa saya membayarnya tuan? Uang dan harta pun saya tak punya,” jawab anak
miskin dengan polos.
Untuk
makan sehari-hari saja susah, bagaimana mungkin bisa ganti
rugi ke saudagar tersebut. Karena tak mampu ganti rugi, akhirnya saudagar
melaporkan ikhwal tersebut ke raja. Dia tetap ngotot minta bayar (ganti
rugi) ke anak miskin tersebut, kerena telah kenyang mencium bau makanannya.
Pergilah
saudagar menghadap sang raja. Dia melapor ke raja ikhwal yang dialaminya. Dia
menuntut keadilan kepada sang raja.
Setelah menerima laporan saudagar, raja pun
memanggil anak miskin menghadap ke istananya. Raja bertanya kepada anak miskin,
benarkah anak miskin tersebut merasa kenyang setelah mencium bau masakan
saudagar.
“Apakah benar kau merasa kenyang setelah mencium
bau masakan tuan ini?” Tanya raja ke anak miskin, sambil menjelaskan bahwa
saudagar minta ganti rugi.
“Benar yang mulia. Tetapi saya tidak punya uang
atau harta untuk membayarnya. Untuk makan sehari-hari saja saya diberi orang,”
jawab anak miskin dengan wajah pucat.
Saudagar mendesak raja agar dapat memberi keputusan. Sang raja bingung mau mengambil keputusan apa. Jika anak miskin tersebut mencuri, merampok atau makan masakan saudagar tersebut, tentu mudah sekali memutuskan perkaranya. Masalahnya, anak miskin itu hanya mencium bau masakan lalu kenyang.
Hingga 4 hari, raja belum bisa memutuskan perkara
saudagar dan anak miskin tersebut. Sementara saudagar terus mendesak agar raja
segera memberikan keputusan.
Ditengah kepanikan mencari jalan keluar,
tiba-tiba melimpat² seokor pelanduk dihadapan raja. Pelanduk
berujar, “Eee.... Mun aku bah sebentar mah, masa raja susah benar
memutuskannya.” Pelanduk pun berlalu pergi ke hutan.
Ke esoknya, raja memerintahkan hulubalang mencari
pelanduk ke hutan. Cari-cari, ketemulah pelanduk. Bertanyalah hulubalang dengan
pelanduk, apa benar dia bisa memutuskan perkara anak miskin dan saudagar.
“Benarkah kau pelanduk, bahwa kau bisa memutuskan
perkara yang sedang ditangani raja?” Tanya hulublang ke pelanduk.
“Benar sekali, bahwa aku dapat memutuskan
perakara tersebut,” jawab pelanduk percaya diri.
“Kalau kau bisa, raja mengundangmu ke istana.
Mari sekarang kita menghadap sang raja!” Ajak hulubalang ke pelanduk.
“Aku, jika tidak memakai payung kerajaan tidak
akan mau pergi ke istana,” ungkap pelanduk jual mahal.
Mendengar ungkapan pelanduk demikian, para
hulubalang segera kembali ke istana. Mereka menceritakan ke raja, bahwa
pelanduk tidak akan pergi ke istana, jika tidak memakai payung kerajaan.
Mendengar laporan hulubalang demikian, raja segera memerintahkan hulubalang
membawa payung kerajaan, menjemput pelanduk.
Kembali hulubalang datang menjemput pelanduk,
dengan membawa payung kebesaran raja. “Ini pelanduk, kami telah bawakan payung
kerajaan, sesuai dengan permintaanmu,” kata hulubalang ke pelanduk.
“Ini sih payung kerajaan sang raja, bukan payung
kerajaan aku. Kalau payung kerajaan aku, tinggi duduk rendah berdiri,” ungkap
pelanduk yang membuat hulubalang tampak kesal.
Lagi-lagi para hulubalang pulang dengan kesal,
membawa berita buruk ke hadapan raja. Mendengar cerita hulubalang, raja merasa
semakin berat syarat dan permintaan pelanduk.
Permintaan pelanduk tersebut seperti kereman³ yang harus ditemukan
jawabannya. Apakah gerangan yang dimaksud pelanduk, tinggi duduk rendah
berdiri. Seisi istana pusing memikirkan kereman pelanduk. Belum tuntas perkara
anak miskin dan saudagar, malah pelanduk memberi soal yang pelik pula.
Dicari dan cari, akhirnya ketemu apa yang
dimaksud pelanduk ‘tinggi duduk rendah berdiri’, yaitu anjing. Anjing itu
apabila dia duduk kelihatan tinggi, saat dia berdiri kelihatan lebih rendah
dari dia duduk.
“Barangkali ini yang dimaksud pelanduk payung
kerajaannya,” ungkap sang raja ke para menteri dan hulubalangnya. Para penjabat
istana pun mengiyakan pendapat sang raja.
Akhirnya di bawalah anjing ke dalam hutan menemui
pelanduk. Melihat pelanduk, anjing langsung mengonggong dan mengejar pelanduk.
Karena di kejar anjing, pelanduk belari sangat kencang. Tak lama, sampailah
pelanduk di depan istana. Dia pun melompat dan masuk ke dalam istana.
Setelah pelanduduk duduk dan tenang, raja mulai
bicara ke pelanduk, “Apa benar kau bisa menyelesaikan perkara saudagar dan anak
ini?” Tanya raja sembari menunjuk ke arah saudagar dan anak miskin.
“Benar tuanku,” jawab pelanduk percaya diri.
Seisi istana saling menatap satu dengan yang lainnya, seakan tak percaya dengan
apa yang baru saja diucapkan pelanduk.
“Lalu, bagaimana caranya?” Raja kembali bertanya
ke pelanduk.
“Caranya begini tuanku, saudagar silakan duduk di
luar, ruang ini kita pasang tabe’⁴.
Tuanku silakan menghitung uang dari 1 sampai
10 di balik tabe’, dan masukan ke buko⁵,”
demikian pelanduk menjelaskan panjang lebar ke raja.
Setelah mendengarkan penjelasan pelanduk, raja
segera memasukan duit logam kedalam buko tembaga. Karena duit logam, ketika
dilemparkan/dimasukan ke dalam buko, tentu menghasilkan denting yang nyaring.
Raja yang memasukan uang, pelanduk yang menghitungnya.
Setelah denting-denting duit masuk ke dalam buko,
sampai kehitungan sepuluh, pelanduk pun berujar ke raja, “Cukup tuanku,
hitungannya telah cukup.”
Selesai menghitung uang, tabe’ di buka dan
saudagar dipersilakan masuk. Karena penasaran, saudagar langsung bertanya,
“Jadi bagaimana hasil dan keputusannya tuanku?” Raja menatap pelanduk penuh
makna.
“Jadi keputusannya, anak ini mencium bau makanan
saudagar, saudagar minta ganti rugi. Tadi saudagar mendengar kan raja
menghitung duit di dalam?” Timpal pelanduk, sembari bertanya ke saudagar.
Saudagar menjawab mendengar raja menhitung uang, dan dia tahu jumlahnya.
“Jika saudagar mendengar, berarti ganti rugi yang
saudagar pinta telah lunas dibayar. Karena mencium bau dan mendengar itu kurang
lebih sama maksudnya,” jelas pelanduk dengan bijaksana.
Mendengar penjelasan pelanduk yang cerdik itu,
saudagar hanya bisa terdiam menunduk. Dia berpikir bahwa dia telah melakukan
kezaliman ke anak miskin, yang seharusnya dia santuni.
Perkara anak miskin mencium bau makanan menjadi
kenyang, telah infas setelah mendengar suara raja menghitung uang ganti rugi
yang dipinta saudagar.***
Hikmah dan makna yang terkandung dalam cerita:
- Bahwa ketika ketika kita memiliki kelebihan rejeki dan makanan, maka kita
dianjurkan untuk berbagai, apa lagi ke anak yatim/piatu dan fakir miskin. Hidup
belit akan memperpendek rejeki kita. Sebaliknya, jika kita rajin bersedekah,
apa lagi dilandasi dengan keikhlasan, maka Allah akan melipatgandakan rejeki
dan pahala kita.
- Dalam menghadapi permasalahan hidup kita harus sabar, ikhlas dan tetap
berusaha. Bersikap bijaksana itu penting dalam memutuskan perkara. Tetapi
kebijaksanaan tidak akan terjadi apabila kita tidak sabar dan rendah hati dalam
menyikapi masalah.
- Sedawe¹, sendawa
atau serdawa, yaitu gas/angin yang belebihan di lambung atau usus dikeluarkan
melalui mulu.
- Melimpat², yaitu berlalu, lewat di depan rumah atau lewat depan seseorang.
- Kereman³; ceriman, yaitu seperti teka teki, atau pertanyaan yang harus ditemukan jawabannya.
- Tabe’⁴; tabir, yaitu tirai atau penutup atau penyekat dinding, pintu atau jendela
rumah.
- Buko⁵; bukur, yaitu sejenis gerabah yang terbuat dari tembaga.
0 Komentar