Kisah O kaka O kiki

 


Penutur: Nek Inok    
Penulis & editor : Miftahul Huda & Hasanan
Ilustrator : Supriono

Diriwayatkan, tersebutlah kisah kakak beradik. Dua dara ini tinggal di kampung terpencil, di pingir gunung di sekitar hutan yang masih bungas¹. Orang tua mereka telah pergi, menghadap Sang Khaliq. Ibu mereka belum lama meninggal. Sedangkan bapak mereka, sudah terlebih dahulu menghadap Ilahi.

 

Sepeninggalan ibunya, sehari-hari, pekerjaan kakak beradik ini berburu ikan dan mengurus ladang peninggalan ibunya. Terutama si kakak yang telah gadis. Sedangkan adiknya, baru menginjak gadis. Berburu dan berladang, merupakan cara bertahan hidup ketika itu.

 

Suatu hari, adiknya merasa lapar dan ingin makan. Stok makanan peninggalan ibu mereka, seperti beras dan lainnya masih tersedia. Ketika si kakak ingin masak nasi, ternyata api dapo² telah mati.

 

Pada masa itu belum ada korek api batang atau gas. Cara mendapatkan api masih sangat tradisional, menggunakan gesekan kayu atau batu. Sementara, kakak beradik ini belum paham cara membuat api. Mau tidak mau, si kakak harus pergi mencari api ke keluarga bapak/ibu mereka yang sangat jauh tinggalnya.

 

“Dik, kakak pergi minta api ye...,” ungkap kakak ke sang adik.

 

“Minta kemana kak?” Tanya adik penasaran, serta penuh ketakutan, karena akan ditinggal pergi kakaknya.

 

Ke sinun³, ke siring langit ijo⁴,” ujar kakak menjawab pertanyaan adiknya yang polos.

 

Sebelum pergi, si kakak berpesan dengan adiknya. Pesan kakaknya, agar adiknya memburu tupe’⁵, kalau-kalau ada tupe’ memakan asam kandis di samping rumah mereka.

 

Setelah berpesan ke adiknya, si kakak lalu pergi minta api ke siring langit ijo. Sang adik tecungkong⁶ di muka pintu, memegang sebatang anak kayu untuk memua⁷ tupe’. Dia memandang kepergian kakaknya dengan tatapan kosong. Rasa cemas dan takut menyelimuti hati adiknya. Apakan daya, jika tidak pergi maka tak dapat api.

 


Belum pun jauh si kakak meninggalkan adiknya, adiknya sudah memanggil-manggil kakaknya dengan langgam⁸ yang mendayu-dayu⁹. Seolah-olah ada tupe’ yang memakan asam kandis mereka. Padahal, panggilan tersebut karena rasa takut sang adik karena ditinggal pergi kakaknya.

 

“O kaka... o kiki.... Kandis kite di makan tupe’.... Telutok¹⁰ oyang-oyang¹¹.... Ane’-ane’¹² ngadang¹² di bawah....” Adik memanggil kakaknya.

 

“Buru... dek¹³, buru...!’ Ucap kakak menjawab panggilan adiknya.

 

Si kakak terus berjalan. Semakin lama semakin jauh. Sementara si adik terus memanggil kakaknya berulang kali, dengan panggilan yang sama. Di jawab kakaknya dengan jawaban yang sama. Sedari kakaknya masih kelihatan, hingga tak lagi tampak di matanya, sang adik terus memanggil-manggil kakaknya.

 

Si adik terus memanggil, jawaban kakaknya sudah ranap¹⁴ dari pendengarannya. Tetapi dia tetap memanggil, sehingga tak ada lagi jawaban dari kakaknya.

 

Karena panggilannya yang mendayu-dayu secara terus menerus, membuat Antu Kelemantan¹⁵ di gunung terbangun. “Ade manusier¹⁶,” ungkap antu kelemantan.

 

Mendengar suara manusia, antu kelemantan turun dari gunung. Dicabutnya asam kelemantan yang sedang berbuah lebat, dijadikannya tongkat di kanan dan kirinya. Karena antu kelemantan adalah raksasa. Konon, tingginya melebihi tinggi asam kelemantan.

 

Turunlah antu kelemantan dari gunung. Saat dia melangkah, bumi terasa bergetar. Tambah lagi entakan tongkat dari asam kelemantan di kanan dan kirinya, membuat bumi terasa gempa.

 

“Duk... duk... roi...! Duk... duk.... roi...!” Suara langkah antu kelemantan dan bunyi asam kelemantan yang berjatuhan saat dihentakannya.

 

Sementara si adik terus-menerus memanggil kakaknya, dengan panggilan yang sama. Kakaknya sudah sangat jauh, tak mungkin mendengar lagi. Sedangkan antu kelemantan semakin dekat dan mendengar panggilannya.

 


“O kaka... o kiki.... Kandis kite di makan tupe’.... Telutok oyang-oyang.... Ane’-ane’ ngadang di bawah....” Panggil si adik semakin ketakutan, sebab antu kelemantan semakin dekat dan semakin jelas mendengar suaranya.

 

Der burur¹⁷...! Der burur...!” Jawab antu kelemantan, seolah-olah dia adalah kakak si adek. Padahal bahasa dan suaranya agak berbeda dengan sang kakak. Suara antu kelemantan ngebass dan menggema.

 

Namun, semakin takut, semakin memanggil kakaknya. Si adik berpikir, bahwa antu tak mungkin masuk ke dalam rumahnya, karena badannya besar.

 

Setiap dia memanggil, antu kelemantan menyahut terus dengan bahasa yang sama. Antu pun semakin dekat rumah, dan bekelitau¹⁸ (begeledah) mau masuk ke rumah. Mau masuk melalui lawang¹⁹ dan tingkap²⁰ tidak bisa, karena badan hantu besar. Intip sana intip sini, antu kelemantan ingin masuk ke rumah dan memangsa si adik.

 

Melihat antu bekelitau ingin masuk rumah, si adik berusaha betapok²¹ di bawah nangkat²². Naik ke atas parak, pikir si adik masih ketahuan. Masuk ke dalam tajo²³, pun pikirnya masih kedapatan antu kelemantan. Akhirnya si adik masuk kedalam pesiong²⁴, yaitu bambu peniup api yang terletak di dapo api.

 

Sangat mustahil rasanya, pesiong yang seukuran lengan anak, bisa dimasuki si adik. Dengan ijin Allah, tak ada yang tak mungkin jika Allah berkehendak. Keajaiban selalu datang kepada hamba-hamba yang jujur, tawakal dan tezalimi.

 

“Der burur...! Der burur...! Kandis kite²⁵ di makan tupe’,” celetuk antu kelemantan memancing agar si adik bersuara. Sementara si adik sudah berada dalam pesiong di atas dapo api.

 

Intip sana intip sini, antu kelemantan mencari si adik. Di intipnya di nangkat tak kelihatan. Di intipnya di atas parak tak juga ada. Di intipnya di tajo pun tak ada juga. Lama kelamaan, akhirnya ketahuan antu keberadaan si adik. Sebab rambut si adik di mengurai keluar dari pesiong, kelihatan antu kelemantan.

 


“Ini ader²⁶ aku ter²⁷,” ucap antu kelemantan girang. Tak menunggu lama, antu langsung mengambil si adik dalam pesiong, lalu di makannya. Yang tersisa hanya tulang-tulang dan bercak darah.

 

Setelah makan si adik, antu kelemantan balik ke huniannya di gunung. Tak lama, si kakak pun tiba dari minta api. Puntong api²⁸ sudah ada di pegangangnya. Dia naik ke rumah, memanggil-manggil adiknya, tapi tak ada sahutan adiknya.

 

“Oo… dek, dek…! Kemane²⁹ adikku nin³⁰?” Suara kakak memanggil-manggil adiknya. Dicarinya kesana kemari, ke tanah ke rumah tak ketemu.

 

Dengan sabar si kakak meletakan puntong api ke dapo, dan dihidupkan api tersebut sembari memasak air. Terlihatlah si kakak tulang adiknya besepe’³¹ di bawah dapo. Linta³² dia mencari adiknya, ternyata adiknya telah di makan antu kelemantan.

 

“Heeh…. Rupenye³³ di makan antu adikku,” gumam si kakak, sambil memungut tulang-tulang adiknya, dimasukan ke tanggok³⁴.

 

Setelah memasukan tulang-tulang adiknya ke tanggok, si kakak berkemas nyapu rumah. Kemudian masak nasi. Setelah itu dia pergi mandi ke sungai, sambil mencuci tulang belulang adiknya.

 

Kembali dari mandi dan mencuci tulang adiknya, dibentangnya tikar pandan putih. Kemudian disusunnya tulang-tulang adiknya sesuai dengan letak dan fungsinya. Setelah itu dia beramu³⁵ daun-daun tanaman/pohon.

 

Jenis-jenis daun yang diramunya: kunyit, liak merah³⁶, mentemu, mentulang, surong dageng³⁷, cengka mate³⁸, kerakap, cengkodok, kapas, dan daun lainnya. Setelah terkumpul semua ramuan³⁹ yang dibutuhkan, si kakak pun mulai meladon⁴⁰, seperti bermantera dengan lagu.

 

Kibo-kibo⁴¹ daun mentulang, kibo-kibo betemu⁴² tulang.” Tulang-tulang yang awalnya bercerai-berai, akhirnya ketemu.

 

Kibo-kibo daun mentemu, makin⁴³ kukibo makin betemu.” Setelah dilantunkan lagu ini, tulang-tulang adiknya semakin erat dan kuat.

 

Kibo-kibo daun surong dageng, serte kukibo datang am dageng.Dengan di kipas daun surong dageng, maka tulang-tulang adiknya berisi daging dan berwajah, namun belum ada kulit.

 

Kibo-kibo daun kunyit, serte kukibo lalu bekulit⁴⁴.” Datanglah kulit membukus tulang-tulang adiknya, setelah dikipaskan dan dibacakan senandung ini. Tulang, daging, kulit dan wajah sudah ada, namun belum ada nyawa/napas.

 

Kibo-kibo daun kapas, serte kukibo dapat am napas.” Raga si adik pun sudah bernapas. Kebot, kebut’ bunyi dan detak napas adiknya. Walau sudah bernapas, tetapi belum ada mata.

 

Kibo-kibo daun cengka mate, serte kukibo dapat am mate.” Dengan mantera lagu ini, mata si adik pun muncul. Betip-betip, si adik menggerakan matanya. Walau sudah punya mata, tapi belum bisa becakap⁴⁵.

 

Kibo-kibo daun kerakap, serte kukibo dapat becakap.” Si adik yang terbaring pun dapat berbicara, setelah dilantunkan lagu daun kerakap.

 

 “Haah, haam…. Ngantok kak e’⁴⁶ mateku ni, tiduk⁴⁷ malam banyak nyamok⁴⁸, tiduk siang ndak ade⁴⁹ nyamok,” pungkas sang adik ketika sadar dan dapat bicara.

 

“Heeh dek e’, ndak tiduk a’ kau te’. Kau te’ di makan antu. Pa’akal⁵⁰ade kakak ni, cepat datang,” ujar si kakak menjelaskan ke adiknya.

 

Setelah dapat berbicara, si kakak melanjutkan melantunkan lagunya. Sebab adik masih belum bisa duduk dan berdiri.

 

Kibo-kibo daun cengkodok, serte kukibo dapat am duduk.” Si adik pun bisa bangun duduk dan berdiri. Dengan ijin Tuhan, adiknya kembali seperti manusia sempurna seperti sedia kala.

 

Setelah kembali menjadi manusia sempurna, si kakak menyuruh⁵¹ adiknya makan, setelah itu mandi. Si kakak merencanakan balas dendam atau membunuh antu yang telah makan adiknya. Sebab, jika dibiarkan tetap hidup, antu tersebut bisa saja memakan kembali adiknya. Mendengar rencana kakak, si adik merasa takut. Si kakak berusaha meyakinkan adiknya, dan si adik pun mendukung rencana kakaknya.

 

Selesai adiknya makan dan mandi, si kakak mulai mempersiapkan rencananya membunuh antu kelemantan yang telah makan adiknya. Kebetulan senjata-senjata peninggalan mendiang bapaknya ada, seperti parang, kapak, beliung⁵², tombak, pedang dan senapang lantak⁵³ ada.

 


Adiknya disuruh masuk kelambu. Kelambu adiknya disendik⁵⁴ dengan bantal, pintu rumah di bukanya, dan si kakak berdiam sela’⁵⁵ pintu. Si kakak seolah-olah menjadi adiknya, mengintai antu dengan pancingan suara.

 

Si kakak mulai berteriak memancing antu kelemantan agar datang ke rumah mereka. Teriakan si kakak sama dengan teriakan adiknya ketika memanggil kakaknya.

 

“O kaka... o kiki.... Kandis kite di makan tupe’.... Telutok oyang-oyang.... Ane’-ane’ ngadang di bawah....” Suara kakak memancing antu agar keluar.

 

Sementara si adik dalam kelambu ketakutan, trauma. Si adik berusaha melarang kakaknya agar tidak memanggil antu. Si kakak terus meyakinkan adiknya agar berani. Sebab jika tidak di bunuh, antu tersebut bisa datang kembali memakan adiknya.

 

Berulang kali si kakak melantunkan lagu, memancing antu agar datang ke rumah mereka. Sebelum antu yang dimaksud datang, maka si kakak tetap melantunkan nada panggilannya ke antu kelemantan.

 

Karena berulang kali si kakak mendendangkan lagu yang sama, akhirnya antu kelemantan terbangun, dan mendengar suara si kakak.

 

“E…! Ade bunyi urang⁵⁶ berteriar⁵⁷. Ade gi’im⁵⁸ urang berteriar nir⁵⁹,” gumam antu kegirangan. Karena akan ada lagi manusia yang akan di santapnya. Sementara si kakak terus melantunkan suaranya, agar antu kelemantan merapat ke rumah mereka.

 

“Eeh adirku nir⁶⁰, makan tupe’r⁶¹ gi’ im kandirnyer⁶²,” ucap antu bersemangat ingin segera datang ke sumber suara tersebut.

 

Antu kelemantan mulai turun dari gunung. Dicabutnya 2 pohon asam kelemantan yang sedang berbuah lebat, dijadikannya tongkat di kanan dan di kirinya. Ketika dihentakannya tongkat tersebut, buah asam berguguran. Getar hentakannya laksana gempa.

 

Si kakak terus melantunkan suaranya, terus memancing agar antu semakin mendekat. Benar saja, antu kelemantan semakin dekat di samping rumah mereka. Dia menyahut suara si kakak dengan senang. Sementara si adik di dalam kelambu, badannya gemetaran, takut dan trauma karena pernah di makannya.

 

“Burur der... burur…!” Sahut antu kelemantan menjawab suara si kakak. Si kakak terus memanggil, dan antu kelemantan menjawab dengan  jawaban yang sama.

 

Semakin dekat semakin berani si kakak bersuara. Sementara si adik sangat ketakutan. Antu kelemantan mulai mencari-cari celah untuk masukan kepalanya. Di lihatnya pintu terbuka, masuklah kepalanya, sambil ngomong.

 

Maner aderku nir⁶³? Kandir kiter⁶⁴ di makan tupe’r,” ucap antu kelemantan sambil menjenggukan kepalanya ke pintu rumah.

 

Ketika antu menongolkan kepalanya ke pintu tersebut, dengan sigap si kakak menikamkan tombak ke bagian badan antu. Ditibaknya⁶⁵ dengan pedang dan parang. Seluruh senjata yang ada digunakan untuk melumpuhkan antu.

 

“Bangun dek, bangun! Kite mbunuh⁶⁶ antu,” pekek si kakak ke adiknya di dalam kelambu. Akhirnya antu kelemantan mati, karena diserang bertubi-tubi. Si adik yang awalnya takut, muncul berani. Si adik pun ikut menikam, menibak⁶⁷ dengan peralatan yang ada, walaupun antu sudah terkapar mati. Tejala⁶⁸ antu tersebut, kaki di tanah, kepalanya di rumah.

 

Setelah memastikan antu kelemantan itu mati, si kakak menyuruh adiknya berkemas-kemas. Si kakak mengajak adiknya pergi ke siring langit ijo, memberi tahu keluarganya, bahwa mereka telah membunuh antu. Selain itu, tujuan si kakak mendatangi keluarganya, minta bantu membawa segala baban⁶⁹ yang ada. Karena mereka akan pindah dari hutan ke kampung halaman keluarga ibu dan bapak mereka.

 

Dengan pindah tinggal, kehidupan kakak beradik ini semakin membaik. Mereka tidak lagi di bayang-bayangi kecemasan. Karena mereka tinggal di padang yang ramai penduduknya.***

 

Mitos, legenda, hikmah dan makna kata dibalik cerita:

-     Dalam adat istiadat Melayu Simpang, ada pantang penti⁷⁰ dalam memanggil seseorang. Ketika tidak ada orangnya, maka tidak boleh di panggil, apa lagi di hutan, sangat dipantangkan⁷¹. Mitosnya, jika kita memanggil orang yang tidak ada, apa lagi memanggil dengan pekikan, maka akan di jawab bende⁷² (antu/hantu). Seperti cerita si adik memanggil kakaknya. Karena si adik terus memanggil kakaknya yang sudah tidak mendengar lagi, maka di jawab antu kelemantan.Hingga sekarang, pantangan ini masih ada.

-     Legendanya, nama Kalimantan diambil dari nama Asam Kelemantan, yaitu sejenis asam yang tumbuh liar di hutan Kalimantan. Ada juga yang menyebut Asam Kelemantan dengan sebutan: Asam Kemantan dan Asam Klemantan.

-     Sebagai makhluk sosial, kita tidak boleh hidup menyendiri. Kita harus bergaul dan saling tolong menolong.

-     Gambaran kasih sayang seorang kakak kepada adiknya, dia rela berkorban demi adiknya. Sebaliknya, adiknya sangat menghormati kakaknya.

-     Bungas¹, artinya perawan. Hutan bungas, berarti hutan yang masih alami.

-     Dapo²; dapur. Dapo api, berati tempat tungku atau dapur untuk memasak.

-     Sinun³, artinya sana, ke sinun: ke sana.

-     Siring langit ijo⁴, siring artinya tepian; pingir, bersiring: bertepi; membentuk tepian, langit ijo: langit hijau, ke siring langit ijo: ke tepian langit hijau.

-     Tupe’⁵: Tupai, binatang pengerat.

-     Tecungkong⁶, artinya duduk jongkok memeluk lutut di muka pintu.

-     Memua⁷; memuar: memburu; mengusir dengan sesuatu.

-     Langgam⁸: berkata-kata atau berbicara dengan nada atau dengan lantunan.

-     Mendayu-dayu⁹: mengalun-alun syahdu.

-     Telutok¹⁰: air yang berurai/bercucuran jatuh dari daun kayu akibat disentuh/digoyang binatang (tupai dan sebagainya).

-     Oyang-oyang¹¹: bahasa anak yang belum jelas (gagu) yang berarti goyang-goyang.

-     Ane’-ane’¹²; bari-bari: sejenis lalat berukuran kecil, biasa memakan sisa buah-buah dan sebagainya.

-     Ngadang¹²: menunggu; menanti; menghalau.

-     Dek¹³; dik: penggalan kata dari adik.

-     Ranap¹⁴ : jauh; telah jauh, tak terlihat atau terdengar lagi suaranya.

-     Antu Kelemantan¹⁵ : hantu kelemantan

-     Ade manusier¹⁶: bahasa hantu yang berarti ada manusia.

-     Der burur¹⁷...!: bahasa Hantu Kelemantan, yaitu dek buru; adik buru.

-     Bekelitau¹⁸; begeledah: berkeliling; berputar-putar; geledah.

-     Lawang¹⁹: pintu.

-     Tingkap²⁰; lelonggok: jendela.

-     Betapok²¹: berlindung; bersembunyi.

-     Nangkat²²: sejenis katel, yaitu jenis tempat tidur yang terdiri dari tundan (anak tangga), nangkat (ranjang) dan gere’/gerai (tempat tilam/kasur).  

-     Tajo²³; tajau; tempayan, yaitu tempat air dan sebagainya.

-     Pesiong²⁴, yaitu potongan bambu panjang lebih kurang 30 cm untuk peniup api tungku.

-     Kite²⁵: kita.

-     Ader²⁶; bahasa Antu Kelemantan, yaitu adik.

-     Ter²⁷:, bahasa Antu Kelemantan, te’: yaitu akhiran kata, sebagai pemanis kata

-     Puntong api²⁸: potongan kayu yang terbakar; potongan kayu yang masih ada apinya.

-     Kemane²⁹: kemana.

-     Nin³⁰: bisa bermakna ni atau ini.

-     Besepe’³¹: berantakan; berhampuran; acak-acakan.

-     Linta³², yaitu mengambarkan usaha yang luar biasa, mencari kesana kemari.

-     Rupenye³³: rupanya.

-     Tanggok³⁴: alat tradisional, sejenis keranjang yang terbuat dari rotan untuk menangkap ikan/udang.

-     Beramu³⁵: mengambil sesuatu di hutan; mengambil ramuan daun-daun tanaman/pohon.

-     Liak merah³⁶: jahe merah.

-     Dageng³⁷: daging.

-     Mate³⁸: mata.

-     Ramuan³⁹: bahan obot-obatan.

-     Meladon⁴⁰,  yaitu berkata-kata dengan irama.

-     Kibo-kibo⁴¹; kibau-kibau, yaitu mengipas-ngipas dengan daun, kertas, kipas dan sebagainya.

-     Betemu⁴²: bertemu; nyambung kembali tulangnya.

-     Makin⁴³; maken: semakin.

-     Bekulit⁴⁴: berkulit.

-     Becakap⁴⁵: bercakap; berbicara.

-     Ngantok kak e’⁴⁶: ngantuk kakak.

-     Tiduk⁴⁷: tidur.

-     Nyamok⁴⁸: nyamuk

-     Ndak ade⁴⁹: tidak ada.

-     Pa’akal⁵⁰: untung; beruntung.

-     Menyuruh⁵¹: memerintah agar melakukan sesuatu.

-     Beliung⁵²: sejenis kapak khusus penebang pohon.

-     Senapang lantak⁵³: senapan lantak, yaitu sejata api tradisional hasil rakitan.

-     Disendik⁵⁴; ditindih: diganjal.

-     Sela’⁵⁵; selak: dibalik; posisi diantara dua benda.

-     Urang⁵⁶: orang.

-     Berteriar⁵⁷: bahasa Antu Kelemantan, yaitu berteriak; memanggil.

-     Ade gi’im⁵⁸: ada lagi.

-     Urang berteriar nir⁵⁹: bahasa Antu Kelemantan, yaitu orang berteriak nih.

-     Adirku nir⁶⁰: bahasa Antu Kelemantan, yaitu adikku nih.

-     Tupe’r⁶¹: bahasa Antu Kelemantan, yaitu tupai.

-     ... Gi’ im kandirnyer⁶²: bahasa Antu Kelemantan, yaitu ... lagi kandisnya.

-     Maner aderku nir⁶³: bahasa Antu Kelemantan, yaitu mana adikku nih.

-     Kandir kiter⁶⁴: bahasa Antu Kelemantan, yaitu kandis kita.

-     Ditibaknya⁶⁵; ditetaknya, yaitu membacok atau melukai dengan parang dan sejenisnya.  

-     Mbunuh⁶⁶; mbunoh, yaitu membunuh.

-     Menibak⁶⁷: menetak dengan parang.

-     Tejala⁶⁸: terkapar; terbujur.

-     Baban⁶⁹: segala perabotan atau barang bawaan.

-     Pantang penti⁷⁰: hal-hal yang dilarang dalam adat atau agama.

-     Dipantangkan⁷¹: dilarang.

-     Bende⁷²; benda, maksudnya makhluk halus atau tak kasat mata, seperti hantu dan sejenisnya.


Posting Komentar

0 Komentar