Diriwayatkan, tersebutlah kisah kakak
beradik. Dua dara ini tinggal di kampung terpencil, di pingir gunung di sekitar
hutan yang masih bungas¹. Orang tua
mereka telah pergi, menghadap Sang Khaliq. Ibu mereka belum lama meninggal.
Sedangkan bapak mereka, sudah terlebih dahulu menghadap Ilahi.
Sepeninggalan ibunya, sehari-hari, pekerjaan
kakak beradik ini berburu ikan dan mengurus ladang peninggalan ibunya. Terutama
si kakak yang telah gadis. Sedangkan adiknya, baru menginjak gadis. Berburu dan
berladang, merupakan cara bertahan hidup ketika itu.
Suatu hari, adiknya merasa lapar dan ingin
makan. Stok makanan peninggalan ibu mereka, seperti beras dan lainnya masih
tersedia. Ketika si kakak ingin masak nasi, ternyata api dapo² telah mati.
Pada masa itu belum ada korek api batang atau
gas. Cara mendapatkan api masih sangat tradisional, menggunakan gesekan kayu
atau batu. Sementara, kakak beradik ini belum paham cara membuat api. Mau tidak
mau, si kakak harus pergi mencari api ke keluarga bapak/ibu mereka yang sangat
jauh tinggalnya.
“Dik, kakak pergi minta api ye...,” ungkap
kakak ke sang adik.
“Minta kemana kak?” Tanya adik penasaran,
serta penuh ketakutan, karena akan ditinggal pergi kakaknya.
“Ke
sinun³, ke siring langit ijo⁴,”
ujar kakak menjawab pertanyaan adiknya yang polos.
Sebelum pergi, si kakak berpesan dengan
adiknya. Pesan kakaknya, agar adiknya memburu tupe’⁵, kalau-kalau ada tupe’ memakan asam kandis di samping rumah
mereka.
Setelah berpesan ke adiknya, si kakak lalu
pergi minta api ke siring langit ijo. Sang adik tecungkong⁶ di muka pintu, memegang sebatang anak kayu untuk memua⁷ tupe’. Dia memandang kepergian
kakaknya dengan tatapan kosong. Rasa cemas dan takut menyelimuti hati adiknya.
Apakan daya, jika tidak pergi maka tak dapat api.
Belum pun jauh si kakak meninggalkan adiknya,
adiknya sudah memanggil-manggil kakaknya dengan langgam⁸ yang mendayu-dayu⁹.
Seolah-olah ada tupe’ yang memakan asam kandis mereka. Padahal, panggilan
tersebut karena rasa takut sang adik karena ditinggal pergi kakaknya.
“O kaka... o kiki.... Kandis kite di makan tupe’.... Telutok¹⁰ oyang-oyang¹¹.... Ane’-ane’¹² ngadang¹² di bawah....” Adik memanggil kakaknya.
“Buru... dek¹³, buru...!’ Ucap kakak
menjawab panggilan adiknya.
Si kakak terus berjalan. Semakin lama semakin
jauh. Sementara si adik terus memanggil kakaknya berulang kali, dengan
panggilan yang sama. Di jawab kakaknya dengan jawaban yang sama. Sedari
kakaknya masih kelihatan, hingga tak lagi tampak di matanya, sang adik terus
memanggil-manggil kakaknya.
Si adik terus memanggil, jawaban kakaknya
sudah ranap¹⁴ dari pendengarannya.
Tetapi dia tetap memanggil, sehingga tak ada lagi jawaban dari kakaknya.
Karena panggilannya yang mendayu-dayu secara
terus menerus, membuat Antu Kelemantan¹⁵
di gunung terbangun. “Ade
manusier¹⁶,” ungkap antu
kelemantan.
Mendengar suara manusia, antu kelemantan
turun dari gunung. Dicabutnya asam kelemantan yang sedang berbuah lebat,
dijadikannya tongkat di kanan dan kirinya. Karena antu kelemantan adalah
raksasa. Konon, tingginya melebihi tinggi asam kelemantan.
Turunlah antu kelemantan dari gunung. Saat
dia melangkah, bumi terasa bergetar. Tambah lagi entakan tongkat dari asam
kelemantan di kanan dan kirinya, membuat bumi terasa gempa.
“Duk... duk... roi...! Duk... duk....
roi...!” Suara langkah antu kelemantan dan bunyi asam kelemantan yang
berjatuhan saat dihentakannya.
Sementara si adik terus-menerus memanggil
kakaknya, dengan panggilan yang sama. Kakaknya sudah sangat jauh, tak mungkin
mendengar lagi. Sedangkan antu kelemantan semakin dekat dan mendengar
panggilannya.
“O kaka... o kiki.... Kandis kite di makan
tupe’.... Telutok oyang-oyang.... Ane’-ane’ ngadang di bawah....” Panggil si
adik semakin ketakutan, sebab antu kelemantan semakin dekat dan semakin jelas
mendengar suaranya.
“Der
burur¹⁷...! Der burur...!” Jawab antu kelemantan, seolah-olah dia adalah
kakak si adek. Padahal bahasa dan suaranya agak berbeda dengan sang kakak. Suara antu kelemantan
ngebass dan menggema.
Namun, semakin takut, semakin memanggil
kakaknya. Si adik berpikir, bahwa antu tak mungkin masuk ke dalam rumahnya,
karena badannya besar.
Setiap dia memanggil, antu kelemantan
menyahut terus dengan bahasa yang sama. Antu pun semakin dekat rumah, dan bekelitau¹⁸ (begeledah) mau masuk ke rumah. Mau masuk melalui lawang¹⁹ dan tingkap²⁰ tidak bisa, karena badan hantu besar. Intip sana intip
sini, antu kelemantan ingin masuk ke rumah dan memangsa si adik.
Melihat antu bekelitau ingin masuk rumah, si
adik berusaha betapok²¹ di bawah nangkat²². Naik ke atas parak, pikir si
adik masih ketahuan. Masuk ke dalam tajo²³,
pun pikirnya masih kedapatan antu kelemantan. Akhirnya si adik masuk kedalam pesiong²⁴, yaitu bambu peniup api yang
terletak di dapo api.
Sangat mustahil rasanya, pesiong yang seukuran lengan anak, bisa dimasuki si adik. Dengan
ijin Allah, tak ada yang tak mungkin jika Allah berkehendak. Keajaiban selalu
datang kepada hamba-hamba yang jujur, tawakal dan tezalimi.
“Der burur...! Der burur...! Kandis kite²⁵ di makan tupe’,” celetuk antu
kelemantan memancing agar si adik bersuara. Sementara si adik sudah berada
dalam pesiong di atas dapo api.
Intip sana intip sini, antu kelemantan
mencari si adik. Di intipnya di nangkat tak kelihatan. Di intipnya di atas
parak tak juga ada. Di intipnya di tajo pun tak ada juga. Lama
kelamaan, akhirnya ketahuan antu keberadaan si adik. Sebab rambut si adik di
mengurai keluar dari pesiong, kelihatan antu kelemantan.
“Ini ader²⁶
aku ter²⁷,” ucap antu kelemantan girang. Tak menunggu lama, antu langsung mengambil si
adik dalam pesiong, lalu di makannya. Yang tersisa hanya tulang-tulang dan
bercak darah.
Setelah makan si adik, antu kelemantan balik ke huniannya di gunung. Tak lama, si kakak pun tiba dari minta api. Puntong api²⁸ sudah
ada di pegangangnya. Dia naik ke rumah, memanggil-manggil adiknya, tapi tak ada
sahutan adiknya.
“Oo… dek, dek…! Kemane²⁹
adikku nin³⁰?” Suara kakak memanggil-manggil
adiknya. Dicarinya kesana kemari, ke tanah ke rumah tak ketemu.
Dengan sabar si kakak meletakan puntong
api ke dapo, dan dihidupkan
api tersebut sembari memasak air. Terlihatlah si kakak tulang adiknya besepe’³¹ di bawah dapo. Linta³² dia mencari
adiknya, ternyata adiknya telah di
makan antu kelemantan.
“Heeh…. Rupenye³³
di makan antu adikku,” gumam si kakak, sambil memungut
tulang-tulang adiknya, dimasukan ke tanggok³⁴.
Setelah memasukan
tulang-tulang adiknya ke tanggok,
si kakak berkemas nyapu rumah. Kemudian masak nasi.
Setelah itu dia pergi mandi ke sungai, sambil mencuci tulang belulang adiknya.
Kembali dari mandi
dan mencuci tulang adiknya, dibentangnya tikar pandan putih. Kemudian
disusunnya tulang-tulang adiknya sesuai dengan letak dan fungsinya. Setelah itu
dia beramu³⁵ daun-daun tanaman/pohon.
Jenis-jenis daun yang
diramunya: kunyit, liak merah³⁶, mentemu, mentulang, surong dageng³⁷,
cengka mate³⁸, kerakap, cengkodok, kapas, dan daun lainnya. Setelah
terkumpul semua ramuan³⁹ yang dibutuhkan, si kakak pun mulai meladon⁴⁰,
seperti bermantera dengan lagu.
“Kibo-kibo⁴¹
daun mentulang, kibo-kibo betemu⁴² tulang.” Tulang-tulang yang awalnya bercerai-berai, akhirnya ketemu.
“Kibo-kibo daun mentemu, makin⁴³
kukibo makin betemu.” Setelah dilantunkan lagu ini, tulang-tulang adiknya semakin erat dan
kuat.
“Kibo-kibo daun surong dageng, serte kukibo datang am dageng.” Dengan di kipas daun surong dageng,
maka tulang-tulang adiknya berisi daging dan berwajah, namun belum ada kulit.
“Kibo-kibo daun kunyit, serte kukibo lalu bekulit⁴⁴.”
Datanglah kulit membukus tulang-tulang adiknya, setelah dikipaskan dan
dibacakan senandung ini. Tulang, daging, kulit dan wajah sudah ada, namun belum
ada nyawa/napas.
“Kibo-kibo daun kapas, serte kukibo dapat am napas.” Raga si adik pun sudah
bernapas. ‘Kebot, kebut’ bunyi dan detak
napas adiknya. Walau sudah bernapas, tetapi belum ada mata.
“Kibo-kibo daun cengka mate, serte kukibo dapat am
mate.” Dengan mantera lagu ini, mata si adik pun muncul. Betip-betip, si adik menggerakan matanya. Walau sudah punya mata, tapi belum
bisa becakap⁴⁵.
“Kibo-kibo daun kerakap, serte kukibo dapat becakap.” Si adik yang terbaring pun
dapat berbicara, setelah dilantunkan lagu daun kerakap.
“Haah, haam…. Ngantok kak e’⁴⁶ mateku ni, tiduk⁴⁷
malam banyak nyamok⁴⁸, tiduk siang ndak ade⁴⁹ nyamok,” pungkas sang adik ketika sadar dan dapat bicara.
“Heeh dek e’, ndak tiduk a’ kau te’. Kau te’ di
makan antu. Pa’akal⁵⁰ade kakak ni, cepat datang,” ujar si kakak
menjelaskan ke adiknya.
Setelah dapat
berbicara, si kakak melanjutkan melantunkan lagunya. Sebab adik
masih belum bisa duduk dan berdiri.
“Kibo-kibo daun cengkodok, serte kukibo dapat am duduk.” Si adik pun bisa bangun
duduk dan berdiri. Dengan
ijin Tuhan,
adiknya kembali seperti manusia sempurna seperti sedia kala.
Setelah kembali menjadi
manusia sempurna, si kakak menyuruh⁵¹ adiknya makan,
setelah itu mandi. Si kakak merencanakan balas
dendam atau membunuh antu yang telah makan adiknya. Sebab, jika dibiarkan tetap
hidup, antu tersebut bisa saja memakan kembali adiknya. Mendengar rencana kakak, si adik merasa takut. Si kakak berusaha meyakinkan adiknya, dan si adik pun
mendukung rencana kakaknya.
Selesai adiknya makan
dan mandi, si kakak mulai mempersiapkan rencananya membunuh antu kelemantan
yang telah makan adiknya. Kebetulan senjata-senjata peninggalan mendiang
bapaknya ada, seperti parang, kapak, beliung⁵², tombak, pedang dan senapang
lantak⁵³ ada.
Adiknya disuruh masuk kelambu. Kelambu
adiknya disendik⁵⁴ dengan bantal, pintu rumah di bukanya, dan si kakak berdiam sela’⁵⁵
pintu. Si kakak seolah-olah menjadi
adiknya, mengintai antu dengan pancingan suara.
Si kakak mulai
berteriak memancing antu kelemantan agar datang ke rumah mereka. Teriakan si kakak sama dengan teriakan
adiknya ketika memanggil kakaknya.
“O kaka... o kiki.... Kandis kite di makan
tupe’.... Telutok oyang-oyang.... Ane’-ane’ ngadang di bawah....” Suara kakak memancing antu agar keluar.
Sementara si adik
dalam kelambu ketakutan, trauma. Si adik berusaha melarang kakaknya agar tidak memanggil antu. Si kakak terus meyakinkan
adiknya agar berani. Sebab jika tidak di bunuh, antu tersebut bisa datang
kembali memakan adiknya.
Berulang kali si
kakak melantunkan lagu, memancing antu agar datang
ke rumah mereka. Sebelum antu yang dimaksud datang, maka si kakak tetap
melantunkan nada panggilannya ke antu kelemantan.
Karena berulang kali
si kakak mendendangkan lagu yang sama, akhirnya antu kelemantan terbangun, dan mendengar suara si kakak.
“E…! Ade bunyi urang⁵⁶ berteriar⁵⁷.
Ade gi’im⁵⁸ urang berteriar nir⁵⁹,” gumam antu
kegirangan. Karena akan ada lagi manusia yang akan di santapnya. Sementara si
kakak terus melantunkan suaranya, agar
antu kelemantan merapat ke rumah mereka.
“Eeh adirku nir⁶⁰,
makan tupe’r⁶¹ gi’ im kandirnyer⁶²,” ucap antu bersemangat ingin segera datang ke sumber suara tersebut.
Antu kelemantan mulai
turun dari gunung. Dicabutnya 2 pohon asam kelemantan yang sedang berbuah
lebat, dijadikannya tongkat di kanan dan di kirinya. Ketika dihentakannya tongkat tersebut, buah
asam berguguran. Getar hentakannya laksana gempa.
Si kakak terus
melantunkan suaranya, terus
memancing agar antu semakin mendekat. Benar saja, antu kelemantan semakin dekat
di samping rumah mereka. Dia
menyahut suara si kakak dengan senang.
Sementara si adik di dalam kelambu, badannya gemetaran, takut dan trauma karena
pernah di makannya.
“Burur der... burur…!” Sahut antu kelemantan menjawab suara si kakak.
Si kakak terus memanggil, dan antu kelemantan menjawab dengan jawaban yang sama.
Semakin dekat semakin berani si kakak
bersuara. Sementara si adik sangat ketakutan. Antu kelemantan mulai mencari-cari
celah untuk masukan kepalanya. Di lihatnya pintu terbuka, masuklah kepalanya,
sambil ngomong.
“Maner
aderku nir⁶³? Kandir kiter⁶⁴ di
makan tupe’r,” ucap antu kelemantan sambil menjenggukan kepalanya ke pintu
rumah.
Ketika antu menongolkan kepalanya ke pintu
tersebut, dengan sigap si kakak menikamkan tombak ke bagian badan antu. Ditibaknya⁶⁵ dengan pedang dan parang.
Seluruh senjata yang ada digunakan untuk melumpuhkan antu.
“Bangun dek, bangun! Kite mbunuh⁶⁶ antu,” pekek si kakak ke
adiknya di dalam kelambu. Akhirnya antu kelemantan mati, karena diserang
bertubi-tubi. Si adik yang awalnya takut, muncul berani. Si adik pun ikut
menikam, menibak⁶⁷ dengan peralatan
yang ada, walaupun antu sudah terkapar mati. Tejala⁶⁸ antu tersebut, kaki di tanah, kepalanya di rumah.
Setelah memastikan antu kelemantan itu mati,
si kakak menyuruh adiknya berkemas-kemas. Si kakak mengajak adiknya pergi ke siring langit ijo, memberi tahu
keluarganya, bahwa mereka telah membunuh antu. Selain itu, tujuan si kakak
mendatangi keluarganya, minta bantu membawa segala baban⁶⁹ yang ada. Karena mereka akan pindah dari hutan ke kampung
halaman keluarga ibu dan bapak mereka.
Dengan pindah tinggal, kehidupan kakak
beradik ini semakin membaik. Mereka tidak lagi di bayang-bayangi kecemasan. Karena
mereka tinggal di padang yang ramai penduduknya.***
Mitos, legenda, hikmah dan makna kata dibalik
cerita:
-
Dalam
adat istiadat Melayu Simpang, ada pantang
penti⁷⁰ dalam memanggil seseorang. Ketika tidak ada orangnya, maka tidak
boleh di panggil, apa lagi di hutan, sangat dipantangkan⁷¹.
Mitosnya, jika kita memanggil orang yang tidak ada, apa lagi memanggil dengan
pekikan, maka akan di jawab bende⁷²
(antu/hantu). Seperti cerita si adik memanggil kakaknya. Karena si adik terus
memanggil kakaknya yang sudah tidak mendengar lagi, maka di jawab antu
kelemantan.Hingga sekarang, pantangan ini masih ada.
-
Legendanya,
nama Kalimantan diambil dari nama Asam Kelemantan, yaitu sejenis asam yang
tumbuh liar di hutan Kalimantan. Ada juga yang menyebut Asam Kelemantan dengan
sebutan: Asam Kemantan dan Asam Klemantan.
-
Sebagai
makhluk sosial, kita tidak boleh hidup menyendiri. Kita harus bergaul dan
saling tolong menolong.
-
Gambaran
kasih sayang seorang kakak kepada adiknya, dia rela berkorban demi adiknya.
Sebaliknya, adiknya sangat menghormati kakaknya.
-
Bungas¹, artinya perawan. Hutan bungas, berarti hutan
yang masih alami.
-
Dapo²; dapur. Dapo
api, berati tempat tungku atau dapur untuk memasak.
-
Sinun³, artinya sana, ke sinun: ke sana.
-
Siring langit ijo⁴, siring
artinya tepian; pingir, bersiring:
bertepi; membentuk tepian, langit ijo:
langit hijau, ke siring langit ijo:
ke tepian langit hijau.
-
Tupe’⁵: Tupai, binatang pengerat.
-
Tecungkong⁶, artinya duduk jongkok memeluk lutut di muka
pintu.
-
Memua⁷; memuar: memburu; mengusir dengan sesuatu.
-
Langgam⁸: berkata-kata atau berbicara dengan nada
atau dengan lantunan.
-
Mendayu-dayu⁹: mengalun-alun syahdu.
-
Telutok¹⁰: air yang berurai/bercucuran jatuh dari daun
kayu akibat disentuh/digoyang binatang (tupai dan sebagainya).
-
Oyang-oyang¹¹: bahasa anak yang belum jelas (gagu) yang
berarti goyang-goyang.
-
Ane’-ane’¹²; bari-bari: sejenis lalat berukuran
kecil, biasa memakan sisa buah-buah dan sebagainya.
-
Ngadang¹²: menunggu; menanti; menghalau.
-
Dek¹³; dik: penggalan
kata dari adik.
-
Ranap¹⁴ : jauh; telah jauh, tak terlihat atau
terdengar lagi suaranya.
-
Antu Kelemantan¹⁵ : hantu kelemantan
-
Ade manusier¹⁶: bahasa hantu
yang berarti ada manusia.
-
Der burur¹⁷...!: bahasa Hantu Kelemantan, yaitu dek buru;
adik buru.
-
Bekelitau¹⁸; begeledah:
berkeliling; berputar-putar; geledah.
-
Lawang¹⁹: pintu.
-
Tingkap²⁰; lelonggok: jendela.
-
Betapok²¹: berlindung; bersembunyi.
-
Nangkat²²: sejenis katel, yaitu jenis tempat tidur
yang terdiri dari tundan (anak
tangga), nangkat (ranjang) dan gere’/gerai (tempat tilam/kasur).
-
Tajo²³; tajau; tempayan, yaitu tempat air dan
sebagainya.
-
Pesiong²⁴, yaitu potongan bambu panjang lebih kurang
30 cm untuk peniup api tungku.
-
Kite²⁵: kita.
-
Ader²⁶; bahasa Antu Kelemantan, yaitu adik.
-
Ter²⁷:,
bahasa Antu Kelemantan, te’: yaitu
akhiran kata, sebagai pemanis kata
-
Puntong api²⁸: potongan kayu yang terbakar; potongan kayu yang
masih ada apinya.
-
Kemane²⁹: kemana.
-
Nin³⁰:
bisa bermakna ni atau ini.
-
Besepe’³¹: berantakan; berhampuran; acak-acakan.
-
Linta³², yaitu mengambarkan
usaha yang luar biasa, mencari kesana kemari.
-
Rupenye³³: rupanya.
-
Tanggok³⁴:
alat tradisional, sejenis keranjang yang terbuat dari rotan untuk menangkap
ikan/udang.
-
Beramu³⁵: mengambil
sesuatu di hutan; mengambil ramuan daun-daun tanaman/pohon.
-
Liak merah³⁶: jahe
merah.
-
Dageng³⁷:
daging.
-
Mate³⁸:
mata.
-
Ramuan³⁹: bahan obot-obatan.
-
Meladon⁴⁰, yaitu berkata-kata dengan irama.
-
Kibo-kibo⁴¹; kibau-kibau, yaitu mengipas-ngipas dengan daun,
kertas, kipas dan sebagainya.
-
Betemu⁴²: bertemu;
nyambung kembali tulangnya.
-
Makin⁴³; maken: semakin.
-
Bekulit⁴⁴: berkulit.
-
Becakap⁴⁵:
bercakap; berbicara.
-
Ngantok kak e’⁴⁶: ngantuk kakak.
-
Tiduk⁴⁷: tidur.
-
Nyamok⁴⁸: nyamuk
-
Ndak ade⁴⁹: tidak ada.
-
Pa’akal⁵⁰: untung; beruntung.
-
Menyuruh⁵¹: memerintah agar melakukan sesuatu.
-
Beliung⁵²: sejenis kapak khusus penebang pohon.
-
Senapang lantak⁵³: senapan lantak, yaitu sejata api tradisional hasil rakitan.
-
Disendik⁵⁴; ditindih: diganjal.
-
Sela’⁵⁵;
selak: dibalik; posisi diantara dua benda.
-
Urang⁵⁶: orang.
-
Berteriar⁵⁷: bahasa Antu Kelemantan, yaitu berteriak;
memanggil.
-
Ade gi’im⁵⁸: ada lagi.
-
Urang berteriar nir⁵⁹: bahasa Antu Kelemantan, yaitu orang
berteriak nih.
-
Adirku nir⁶⁰: bahasa Antu Kelemantan, yaitu adikku nih.
-
Tupe’r⁶¹: bahasa Antu
Kelemantan, yaitu tupai.
-
...
Gi’ im
kandirnyer⁶²: bahasa Antu Kelemantan, yaitu ... lagi kandisnya.
-
Maner aderku nir⁶³: bahasa Antu Kelemantan, yaitu mana adikku
nih.
-
Kandir kiter⁶⁴: bahasa Antu Kelemantan, yaitu kandis kita.
-
Ditibaknya⁶⁵; ditetaknya, yaitu membacok atau melukai
dengan parang dan sejenisnya.
-
Mbunuh⁶⁶; mbunoh, yaitu membunuh.
-
Menibak⁶⁷: menetak dengan parang.
-
Tejala⁶⁸: terkapar; terbujur.
-
Baban⁶⁹: segala perabotan atau barang bawaan.
-
Pantang penti⁷⁰: hal-hal yang dilarang dalam adat atau
agama.
-
Dipantangkan⁷¹: dilarang.
-
Bende⁷²; benda,
maksudnya makhluk halus atau tak kasat mata, seperti hantu dan sejenisnya.
0 Komentar