Kisah Bujang Biawak Naksir Tuan Putri

 


Bujang Biawak Naksir Tuan Puteri 

  Penutur: Zahrah  (Rantau Panjang) 
Penulis & editor : Miftahul Huda & Hasanan
Ilustrator : Supriono
 

Kisah Bujang Biawak yang naksir dengan Tuan Puteri Bungsu. Ibarat kata, Bujang Biawak tersebut gile kera’ berayon¹. Dia tergila-gila dengan Tuan Puteri Bungsu dari bangsa manusia. Sedangkan dia seekor binatang, tak mungkin Tuan Puteri mau dengannya.

 

Bujang Biawak tampak sibuk berkemas-kemas. Layaknya anak bujang², dia berdandan ala anak bujak kebanyakan. Tampaknya dia akan pergi ngurat³ Tuan Puteri Bungsu. Karena, hampir saban hari dia pergi berkunjung ke rumah Tuan Puteri Bungsu.

 

Sesedanglah Bujang Biawak ai kau bejalan neh! Nanti kau mati dibunoh Tuan Puteri Bungsu,” cegah ibu Bujang Biawak, agar dia tidak pergi terus-menerus ke rumah Tuan Puteri Bungsu.

 

Ah ka’atilah Mak ai…. Tundok kate urang bujang,” Bunjang  Biawak menjawab larangan ibunya. Setelah menjawab ibunya, dia langsung turun pergi.

 

Tak lama dia berjalan, tibalah dia di depan rumah Tuan Puteri, sang pujaan hatinya. Sehari saja dia tidak melihat Tuan Puteri, mungkin ada perasaan yang kurang, atau ada yang hilang.

 

Di dalam rumah, terdengar Tuan Puteri sedang menumbuk padi. “Kelentung… kelentung…”, suara alu Tuan Puteri memantak ke telinga Bujang Biawak.

 


“Dung dung kek, siape menumbok andayang Puteri Bungsu?” timang dan dendang Bujang Biawak menyapa Tuan Puteri Bungsu dari tanah.

 

Naeklah Bujang Biawak ai rumah kame’¹ neh!” sapa Tuan Puteri Bungsu, mempersilakan Bujang Biawak naik ke rumahnya.

 

Bujang Biawak pun naik ke rumah Tuan Puteri. Bujang Biawak ngobrol dengan bapak Tuan Puteri. Maklum, harus pandai-pandai melapankan¹¹ hati calon mertua. Sementara Tuan Puteri melanjutkan menumbuk padinya.

 

“Hmm… ndak belaok¹² Bujang Biawak ai kite neh,” kata bapak Tuan Puteri ke Bujang Biawak, bahwa mereka tidak punya lauk untuk makan hari ini.

 

“Ah… tungkong jak buntotku ni¹³!” perintah Bujang Biawak ke Tuan Puteri, agar memotong buntut/ekornya. 

 

Karena Bujang Biawak mempersilakan Tuan Puteri memotong ekornya, Tuan Puteri mengasah parang agar tajam. Selesai mengasah parang, Bujang Biawak pun memasangkan ekornya utntuk dipotong. Tak berbasa-basi, Tuan Puteri langsung memotong ekor Bujang Biawa, ngelete’¹ ekornya putus.

 


Selesai membersihkan dan merempah, Tuan Puteri memasak ekor Bujang Biawak. Setelah masak, Tuan Puteri mengajak Bujang Biawak makan bersama. Selesai makan, Bujang Biawak berokok dan makan sirih. Tak lama, dia pulang dengan ekor yang telah hilang sebagian.

 

Sesampai di rumah, ibunya ngomel melihal kondisi Bujang Biawak yang demikian. Namun, Bujang Biawak tidak mau mendengarkan nasihat ibunya. Rasa kasmarannya tinggi pada Tuan Puteri, membutakan mata hatinya. Sehingga dia tidak sadar nyawanya terancam.

 

“Sesedanglah kau bejalan Bujang Biawak ai. Karang¹ kau mati dibunoh Tuan Puteri Bungsu. Ekok kau udah abes ditungkong Tuan Puteri Bungsu,” nasihat ibu Bujang Biawak, tapi tak dianggap Bujang Biawak.

 

“Ah ka’atilah Mak ai…. Tundok kate urang bujang,” jawab Bujang Biawak demikian, seolah karena dia bujang tak ada larangan.

 

Ke esoknya, Bujang Biawak pergi berkunjung lagi ke rumah Tuan Puteri Bungsu. Dengan rasa gagah, dia  berjalan menuju rumah idamannya. Padahal, ekornya sudah hildang sebagian.

 

“Kelentung… kelentung…”, dari kejauhan, terdengar suara alu Tuan Puteri Bungsu. Berarti Tuan Puteri sedang menumbuk padi lagi. Bujang Biawa semakin dekat dengan rumah pujaannya.

 

“Dung dung kek, siape menumbok andayang Puteri Bungsu?” lagi-lagi, Bujang Biawak menimang dan berdendang menyapa Tuan Puteri Bungsu.

 

“Naeklah Bujang Biawak ai rumah kame’ neh!” Tuan Puteri, mempersilakan Bujang Biawak naik ke rumahnya.

 

Tidak menunggu lama, Bujang Biawak pun masuk ke dalam rumah Tuan Puteri. Dia duduk ngobrol dengan bapak Tuan Puteri, sembari melihat Tuan Puteri sedang numbuk padi.

 

“Ndak belaok gi am Bujang Biawai ai kite ari ini¹.  Beras ade, laok ndak ade,” ungkap bapak Tuan Puteri.

 

“Ah tungkong jak Pak ai buntot aku ni,” jawab Bujang Biawak menyuruh memotong buntutnya.

 

Mungkin, dengan menawarkan memotong buntutnya, Bujang Biawak ingin menunjukan pengorbanannya ke Tuan Puteri dan bapaknya. Bahwa dia bukan sembarang bujang, tetapi bujang yang bertanggung jawab. Padahal, perbuatannya tersebut bakal mencelakakannya.

 


Karena kebetulan tidak ada lauk, Tuan Puteri Bungsu memotong lagi ekor Bujang Biawak lagi. Ekor Bujang Biawak sisa sedikit lagi. Namun Bujang Biawak tidak mengeluh. Demi cintaya, apapun dia korbankan.

 

Selesai masak, Tuan Puteri mengajak Bujang Biawak makam bersama mereka. Sehabis makan, berokok dan makan sirih, kemudian Bujang Biawak pamit pulang.

 

Melihat ekor Bujang Biawak sisa sedikit lagi, ibu Bujang Biawak kembali menasihatinya. Lagi-lagi, nasihat ibunya masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

 

“Sesedanglah kau bejalan ni Bujang Biawak ai! Kau mati dibunoh Tuan Puteri Bungsu! Liat am¹, ekok tinggal siket gi am¹,” nasihat ibu Bujang Biawak.

 

“Ah ka’atilah Mak ai…. Tundok kate urang bujang,” jawab Bujang Biawak berlalu dari ibunya.

 

Tidak ada kata jera. Walau dalam keadaan sakit dan lelah, karena ekornya masih luka dan sisa sedikit lagi, Bujang Biawak tetap pergi.  Hari-harinya tidak indah tanpa melihat wajah Tuan Puteri Bungsu. Padahal, cintanya bertepuk sebelah tangan.

 

Selesai berkemas, Bujang Biawak berangkat lagi ke rumah Tuan Puteri. Seperti biasa, hari-hari Tuan Puteri selalu numbuk padi. Suara tumbukannya, mengetarkan hati Bujang Biawak, membuat Bujang Biawak merasa harus segera tiba di rumahnya.

 

“Dung dung kek, siape menumbok andayang Puteri Bungsu?” lagu andalan Bujang Biawa, minta perhatian Tuan Puteri Bungsu.

 

“Naeklah Bujang Biawak ai rumah kame’ neh! Rumah kame’ terbuka buat kau,” jawab Tuan Puteri, mempersilakan Bujang Biawak masuk.

 

Singkat cerita, di rumah Tuan Puteri tak ada lauk lagi hari ini. Seperti biasa, Bujang Biawak menawarkan ekornya yang sisa sedikit lagi untuk dipotong. Tidak menunggu lama, Tuan Puteri memotong ekor Bujang Biawak. Akhirnya, habislah ekor Bujang Biawak. Bahkan dipotong hingga ke arah perutnya, sehingga isi perutnya keluar.

 

Kali ini Bujang Biawak tidak menunggu makan. Dia berpamitan pulang. Karena dia sudah tak mampu lagi menahan rasa sakit. Dia pulang tidak melalui jalan biasa atau jalan utama. Mungkin dia malu ketemu yang lain atau ibunya. Tersesatlah Bujak Biawak di dalam hutan.

 

Kemane¹ jak Bujang Biawak ndak balik-balik ni²? Jangan-jangan udah dibunoh Tuan Puteri Bungsu?” bisik ibu Bujang Biawak  menunggu kedatangannya.

 

Sudah 3 hari 3 malam ibunya mencari Bujang Biawak tak ketemu. Ibunya yakin, Bujang Biawak pasti sudah tewas. Hari berikutnya, ketemulah ibunya dengan Bujang Biawak. Benar saja, Bujang Biawak telah mati. Perutnya tersangkut batang dan duri lelait²¹.

 

“Huuuh…. Inilah kau te’ Bujang Biawak ai, udah ditegahkan²² jangan pegi²² ke rumah Tuan Puteri Bungsu! Akhirnye² kau mati ditangan  Tuan Puteri Bungsu. Udah sampai ke perot² kau kena’² potong te’, mane nak idop²,” gerutu ibu Bujang Biawak sedih.

 

Dengan perasaan sedih,  ibu  Bujang Biawak membawa pulang bangkai anaknya. Kemudian, ditanamnya dekat dengan kediaman mereka. ***

 

Hikmah dan makna dibalik cerita:

Jangan memaksakan diri jika tidak mampu, itu sama halnya menyiksa diri sendiri;

Jangan memaksakan kehendak kepada orang lain. Hormati hak asasi dan keputusan orang lain;

Sebagai anak, kita wajib mendengarkan nasihat orang tua kita, tidak boleh membatahnya. Berkata “ah” saja tidak boleh ke orang tua. Karena tidak ada orang tua yang ingin anaknya celaka dan mencelakannya, kecuali orang tua yang kurang waras. Orang tua lebih berpengalaman hidup dari kita sebagai anak;

Kita boleh tidak putus asa, namun untuk kebaikan bukan untuk menjerumuskan kita pada kehancuran;

Jangan cinta berlebihan, karena bisa menjerumuskan dan mencelakakan kita, kecuali cita kepada Sang Pencipta;

Kita tidak boleh khianat atau mencelakai sesama, apa lagi orang tersebut telah berbuat baik dengan kita. Termasuk tidak boleh khianat dan zalim dengan binatang;

Gile kera’ berayon¹, gila kera berayun, pepatah yang artinya mau sendiri saja; cinta tak terbalas; bertepuk sebelah tangan;

Anak bujang², artinya remaja laki-laki; anak laki-laki; pemuda;

Ngurat³, artinya mengodai anak dara; merayu anak gadis; jual tampang dengan gadis;

Sesedanglah Bujang Biawak ai kau bejalan neh, artinya cukuplah Bujang Biawak kau pergi-pergi ini;

Dibunoh, artinya dibunuh;

Ah ka’atilah Mak ai, artinya ah terserah saja ibu;

Tundok kate urang bujang, artinya tunduk kata orang bujang, maksudnya anak bujang tak perlu dilarang-larang;

Siape menumbok, artinya siapa menumbuk;

Naeklah, naiklah;

Kame’¹; kamek, artinya kami;

Melapankan¹¹, artinya membujuk/merayu dengan bahasa atau perbuatan baik, agar hati seseorang luluh dan suka dengan kita; menenangkan atau memberi ketenangan;

Ndak belaok¹², artinya tidak ada lauk;

Tungkong jak buntotku ni¹³, artinya potong saja ekorku ini;

Ngelete’¹; ngelepa; ngelepar, artinya mengelepar, bergerak-gerak cepat;

Karang¹, artinya nanti;

Kite ari ini¹,  artinya kita hari ini;

Liat am¹, artinya lihatlah;

Tinggal siket gi am¹, artinya sisa sedikit lagi;

Kemane¹, artinya kamana;

Ndak balik-balik ni², artinya tidak pulang-pulang ini;

Lelait²¹, jenis tumbuhan akar-akaran, memiliki semacam kail di cabang daunya; sejenis bajakah;

Ditegahkan²², artinya dilarang;

Pegi²², artinya pergi;

Akhirnye², artinya akhirnya;

Perot², artinya perut;

Kena’²; kenak, artinya kena;

Mane nak idop², artinya mana mau hidup.

Posting Komentar

0 Komentar