Bujang Biawak Naksir Tuan Puteri
Kisah Bujang Biawak yang naksir dengan Tuan Puteri Bungsu.
Ibarat kata, Bujang Biawak tersebut gile kera’ berayon¹. Dia tergila-gila dengan
Tuan Puteri Bungsu dari bangsa manusia. Sedangkan dia seekor binatang, tak
mungkin Tuan Puteri mau dengannya.
Bujang Biawak tampak sibuk berkemas-kemas. Layaknya anak
bujang²,
dia berdandan ala anak bujak kebanyakan. Tampaknya dia akan pergi ngurat³ Tuan Puteri Bungsu.
Karena, hampir saban hari dia pergi berkunjung ke rumah Tuan Puteri Bungsu.
“Sesedanglah Bujang Biawak ai kau bejalan neh⁴! Nanti kau mati dibunoh⁵
Tuan Puteri Bungsu,” cegah ibu Bujang Biawak, agar dia tidak pergi
terus-menerus ke rumah Tuan Puteri Bungsu.
“Ah ka’atilah Mak ai⁶….
Tundok kate urang bujang⁷,”
Bunjang Biawak menjawab larangan ibunya.
Setelah menjawab ibunya, dia langsung turun pergi.
Tak lama dia berjalan, tibalah dia di depan rumah Tuan
Puteri, sang pujaan hatinya. Sehari saja dia tidak melihat Tuan Puteri, mungkin
ada perasaan yang kurang, atau ada yang hilang.
Di dalam rumah, terdengar Tuan Puteri sedang menumbuk padi.
“Kelentung… kelentung…”, suara alu Tuan Puteri memantak ke telinga Bujang
Biawak.
“Dung dung kek, siape menumbok⁸ andayang Puteri Bungsu?” timang dan dendang Bujang Biawak
menyapa Tuan Puteri Bungsu dari tanah.
“Naeklah⁹ Bujang
Biawak ai rumah kame’¹⁰
neh!” sapa Tuan Puteri Bungsu, mempersilakan Bujang Biawak naik ke rumahnya.
Bujang Biawak pun naik ke rumah Tuan Puteri. Bujang Biawak
ngobrol dengan bapak Tuan Puteri. Maklum, harus pandai-pandai melapankan¹¹ hati calon mertua.
Sementara Tuan Puteri melanjutkan menumbuk padinya.
“Hmm… ndak belaok¹²
Bujang Biawak ai kite neh,” kata bapak Tuan Puteri ke Bujang Biawak, bahwa
mereka tidak punya lauk untuk makan hari ini.
“Ah… tungkong jak buntotku ni¹³!” perintah Bujang Biawak
ke Tuan Puteri, agar memotong buntut/ekornya.
Karena Bujang Biawak mempersilakan Tuan Puteri memotong
ekornya, Tuan Puteri mengasah parang agar tajam. Selesai mengasah parang,
Bujang Biawak pun memasangkan ekornya utntuk dipotong. Tak berbasa-basi, Tuan
Puteri langsung memotong ekor Bujang Biawa, ngelete’¹⁴
ekornya putus.
Selesai membersihkan dan merempah, Tuan Puteri memasak ekor
Bujang Biawak. Setelah masak, Tuan Puteri mengajak Bujang Biawak makan bersama.
Selesai makan, Bujang Biawak berokok dan makan sirih. Tak lama, dia pulang
dengan ekor yang telah hilang sebagian.
Sesampai di rumah, ibunya ngomel melihal kondisi Bujang
Biawak yang demikian. Namun, Bujang Biawak tidak mau mendengarkan nasihat
ibunya. Rasa kasmarannya tinggi pada Tuan Puteri, membutakan mata hatinya.
Sehingga dia tidak sadar nyawanya terancam.
“Sesedanglah kau bejalan Bujang Biawak ai. Karang¹⁵
kau mati dibunoh Tuan Puteri Bungsu. Ekok kau udah abes ditungkong Tuan Puteri
Bungsu,” nasihat ibu Bujang Biawak, tapi tak dianggap Bujang Biawak.
“Ah ka’atilah Mak ai…. Tundok kate urang bujang,” jawab
Bujang Biawak demikian, seolah karena dia bujang tak ada larangan.
Ke esoknya, Bujang Biawak pergi berkunjung lagi ke rumah
Tuan Puteri Bungsu. Dengan rasa gagah, dia
berjalan menuju rumah idamannya. Padahal, ekornya sudah hildang
sebagian.
“Kelentung… kelentung…”, dari kejauhan, terdengar suara alu
Tuan Puteri Bungsu. Berarti Tuan Puteri sedang menumbuk padi lagi. Bujang Biawa
semakin dekat dengan rumah pujaannya.
“Dung dung kek, siape menumbok andayang Puteri Bungsu?”
lagi-lagi, Bujang Biawak menimang dan berdendang menyapa Tuan Puteri Bungsu.
“Naeklah Bujang Biawak ai rumah kame’ neh!” Tuan Puteri,
mempersilakan Bujang Biawak naik ke rumahnya.
Tidak menunggu lama, Bujang Biawak pun masuk ke dalam rumah
Tuan Puteri. Dia duduk ngobrol dengan bapak Tuan Puteri, sembari melihat Tuan
Puteri sedang numbuk padi.
“Ndak belaok gi am Bujang Biawai ai kite ari ini¹⁶. Beras ade, laok ndak ade,” ungkap bapak Tuan
Puteri.
“Ah tungkong jak Pak ai buntot aku ni,” jawab Bujang Biawak
menyuruh memotong buntutnya.
Mungkin, dengan menawarkan memotong buntutnya, Bujang Biawak
ingin menunjukan pengorbanannya ke Tuan Puteri dan bapaknya. Bahwa dia bukan
sembarang bujang, tetapi bujang yang bertanggung jawab. Padahal, perbuatannya
tersebut bakal mencelakakannya.
Karena kebetulan tidak ada lauk, Tuan Puteri Bungsu memotong
lagi ekor Bujang Biawak lagi. Ekor Bujang Biawak sisa sedikit lagi. Namun
Bujang Biawak tidak mengeluh. Demi cintaya, apapun dia korbankan.
Selesai masak, Tuan Puteri mengajak Bujang Biawak makam
bersama mereka. Sehabis makan, berokok dan makan sirih, kemudian Bujang Biawak
pamit pulang.
Melihat ekor Bujang Biawak sisa sedikit lagi, ibu Bujang
Biawak kembali menasihatinya. Lagi-lagi, nasihat ibunya masuk telinga kanan
keluar telinga kiri.
“Sesedanglah kau bejalan ni Bujang Biawak ai! Kau mati
dibunoh Tuan Puteri Bungsu! Liat am¹⁷, ekok tinggal siket gi am¹⁸,”
nasihat ibu Bujang Biawak.
“Ah ka’atilah Mak ai…. Tundok kate urang bujang,” jawab
Bujang Biawak berlalu dari ibunya.
Tidak ada kata jera. Walau dalam keadaan sakit dan lelah,
karena ekornya masih luka dan sisa sedikit lagi, Bujang Biawak tetap
pergi. Hari-harinya tidak indah tanpa
melihat wajah Tuan Puteri Bungsu. Padahal, cintanya bertepuk sebelah tangan.
Selesai berkemas, Bujang Biawak berangkat lagi ke rumah Tuan
Puteri. Seperti biasa, hari-hari Tuan Puteri selalu numbuk padi. Suara
tumbukannya, mengetarkan hati Bujang Biawak, membuat Bujang Biawak merasa harus
segera tiba di rumahnya.
“Dung dung kek, siape menumbok andayang Puteri Bungsu?” lagu
andalan Bujang Biawa, minta perhatian Tuan Puteri Bungsu.
“Naeklah Bujang Biawak ai rumah kame’ neh! Rumah kame’ terbuka
buat kau,” jawab Tuan Puteri, mempersilakan Bujang Biawak masuk.
Singkat cerita, di rumah Tuan Puteri tak ada lauk lagi hari
ini. Seperti biasa, Bujang Biawak menawarkan ekornya yang sisa sedikit lagi
untuk dipotong. Tidak menunggu lama, Tuan Puteri memotong ekor Bujang Biawak.
Akhirnya, habislah ekor Bujang Biawak. Bahkan dipotong hingga ke arah perutnya,
sehingga isi perutnya keluar.
Kali ini Bujang Biawak tidak menunggu makan. Dia berpamitan
pulang. Karena dia sudah tak mampu lagi menahan rasa sakit. Dia pulang tidak
melalui jalan biasa atau jalan utama. Mungkin dia malu ketemu yang lain atau
ibunya. Tersesatlah Bujak Biawak di dalam hutan.
“Kemane¹⁹ jak Bujang Biawak ndak balik-balik ni²⁰?
Jangan-jangan udah dibunoh Tuan Puteri Bungsu?” bisik ibu Bujang Biawak menunggu kedatangannya.
Sudah 3 hari 3 malam ibunya mencari Bujang Biawak tak
ketemu. Ibunya yakin, Bujang Biawak pasti sudah tewas. Hari berikutnya,
ketemulah ibunya dengan Bujang Biawak. Benar saja, Bujang Biawak telah mati.
Perutnya tersangkut batang dan duri lelait²¹.
“Huuuh…. Inilah kau te’ Bujang Biawak ai, udah ditegahkan²² jangan pegi²² ke rumah Tuan Puteri
Bungsu! Akhirnye²⁴ kau mati ditangan
Tuan Puteri Bungsu. Udah sampai ke perot²⁵
kau kena’²⁶ potong te’, mane nak idop²⁷,”
gerutu ibu Bujang Biawak sedih.
Dengan perasaan sedih,
ibu Bujang Biawak membawa pulang
bangkai anaknya. Kemudian, ditanamnya dekat dengan kediaman mereka. ***
Hikmah dan makna dibalik cerita:
Jangan memaksakan diri jika tidak mampu, itu sama halnya menyiksa
diri sendiri;
Jangan memaksakan kehendak kepada orang lain. Hormati hak
asasi dan keputusan orang lain;
Sebagai anak, kita wajib mendengarkan nasihat orang tua
kita, tidak boleh membatahnya. Berkata “ah” saja tidak boleh ke orang tua.
Karena tidak ada orang tua yang ingin anaknya celaka dan mencelakannya, kecuali
orang tua yang kurang waras. Orang tua lebih berpengalaman hidup dari kita
sebagai anak;
Kita boleh tidak putus asa, namun untuk kebaikan bukan untuk
menjerumuskan kita pada kehancuran;
Jangan cinta berlebihan, karena bisa menjerumuskan dan
mencelakakan kita, kecuali cita kepada Sang Pencipta;
Kita tidak boleh khianat atau mencelakai sesama, apa lagi
orang tersebut telah berbuat baik dengan kita. Termasuk tidak boleh khianat dan
zalim dengan binatang;
Gile kera’ berayon¹,
gila kera berayun, pepatah yang artinya mau sendiri saja; cinta tak
terbalas; bertepuk sebelah tangan;
Anak bujang²,
artinya remaja laki-laki; anak laki-laki; pemuda;
Ngurat³,
artinya mengodai anak dara; merayu anak gadis; jual tampang dengan gadis;
Sesedanglah Bujang Biawak ai kau bejalan neh⁴, artinya cukuplah Bujang Biawak kau pergi-pergi ini;
Dibunoh⁵,
artinya dibunuh;
Ah ka’atilah Mak ai⁶…,
artinya ah terserah saja ibu;
Tundok kate urang bujang⁷,
artinya tunduk kata orang bujang, maksudnya anak bujang tak perlu
dilarang-larang;
Siape menumbok⁸,
artinya siapa menumbuk;
Naeklah⁹,
naiklah;
Kame’¹⁰;
kamek, artinya kami;
Melapankan¹¹,
artinya membujuk/merayu dengan bahasa atau perbuatan baik, agar hati seseorang
luluh dan suka dengan kita; menenangkan atau memberi ketenangan;
Ndak belaok¹²,
artinya tidak ada lauk;
Tungkong jak buntotku ni¹³, artinya potong saja ekorku ini;
Ngelete’¹⁴; ngelepa; ngelepar, artinya mengelepar, bergerak-gerak
cepat;
Karang¹⁵, artinya nanti;
Kite ari ini¹⁶, artinya kita hari
ini;
Liat am¹⁷, artinya lihatlah;
Tinggal siket gi am¹⁸, artinya sisa sedikit lagi;
Kemane¹⁹, artinya kamana;
Ndak balik-balik ni²⁰,
artinya tidak pulang-pulang ini;
Lelait²¹,
jenis tumbuhan akar-akaran, memiliki semacam kail di cabang daunya; sejenis
bajakah;
Ditegahkan²²,
artinya dilarang;
Pegi²²,
artinya pergi;
Akhirnye²⁴, artinya akhirnya;
Perot²,
artinya perut;
Kena’²⁶; kenak, artinya kena;
Mane nak idop²⁷, artinya mana mau hidup.
0 Komentar