Asal usul Pisang Jerenang

 


  Penutur: Raden Jamahari   
Penulis & editor : Miftahul Huda & Hasanan
Ilustrator : Supriono

Alkisah, di Kerjaan Matan dahulu. Nun jauh di dalam hutan belantara, hiduplah keluarga kecil, terdiri dari sepasang suami istri dan satu orang anak. Karena jauh dari pusat kerajaan dan pemukiman warga, maka hidup mereka sangat sederhana. Bisa dikatakan, hanya mengandalkan hasil alam atau hutan,sembari berladang padi.

 

Pada suatu hari, keluarga kecil ini kehabisan persediaan makanan, utamanya beras. Sedangkan padi yang akan dijadikan beras,  hanya cukup untuk di semai, agar bisa di tanam kembali.

 

Karena padi sudah di semai, beras sudah tidak tersedia lagi. Tidak ada stok pangan yang tersisa.Untuk menahan lapar, keluarga ini hanya menyantap buah-buahan yang ada dihutan. Akan tetapi, bagi anak yang masih kecil, makan buah-buahan saja selama beberapa hari, bukanlah suatu hal yang biasa. Dia butuh makan nasi, sebagaimana makanan pokok yang biasa di makan sehari-hari.

 

Namanya saja anak-anak. Dia tidak tahu jika persediaan beras sudah tidak ada. Setiap hari dia, ayah dan ibunya harus memakan buah-buahan hutan. Bagi sang ibu dan ayah tentu biasa. Namun baginya hal itu tidaklah biasa. Mau mencari padi atau beras kemana, karena mereka hidup sangat jauh dari keramaian.

 


Karena si  anak ini sudah tidak tahan lagi dengan rasa lapar yang menderanya. Akibat tidak makan nasi selama berhari-hari, akhirnya dia meminta nasi kepada sang ibu.

 

Ting ting kededai. Umak¹, umak minta’ku nasi²! Pinta si anak ke ibunya.

 

“Saba dolok baah nak e³! Apak kau gi’ nebas, jawab ibu menenangkan anaknya.

 

Untuk menenangkan jeritan dan rasa lapar anaknya, si ibu menyuguhkan air putih ke anak. Ada pisang rebus, diberi pisang rebus. Tetapi tidak bisa menghilangkan rasa laparnya yang ingin makan nasi. Ke besoknya, laboh merengek minta nasi lagi dengan ibunya.

 

Ting ting kededai. Umak, umak mintaku nasi! Erang si anak, kembali minta nasi ke ibunya.

 

Saba dolok baah nak e’! Apak kau ginyeme’, jawab ibunya bahwa ayahnya masih nyemai padi.

 

Karena si ibu kasihan dengan anaknya kelaparan, dia memohon ke sang suami untuk ihktiar beras. Maksud istrinya, agar suaminya meminta bantuan kepada Raja.“Jangan pike’kan kote kerajaan nang jaoh, tapi pike’kan naseb anak kite¹⁰ bang,” pinta sang istri ke suami.

 

Setelah itu,  pergilah sang suami  menuju kerajaan, menghadap dan mengadu ke sang Raja. Tujuannya, agar Raja dapat memberi bantuan makanan. Berhari-hari hari dia berjalan menembus hutan belantara. Mendaki gunug,  menuruni lembah, dan menyeberangi sungai. Ketika malam tiba, dia harus menginap di hutan, tidur di atas dahan pepohonan. Esok pagi, kembali melanjutkan perjalanan.

 

Setelah berhari-hari berjalan, akhirnya, sampailah sang ayah di kotaraja. Tak menunggu lama, sang ayah minta ijin ke tentara keraajaan, untuk mengadap sang Raja. Setelah mendapat ijin pengawal Raja, sang ayah langsung menghadap. Dihadapan Raja, dengan memberi sembah sujud, sebagai tanda hormatnya.

 

“Mohon ampon¹¹ yang mulia, sembah patek¹² harap di ampon,” sang ayah memberi hormat ke Raja.

 

Ape¹³ gerangan yang membuat kau datang ke senek¹⁴?“ Tanya Raja ingin tahu, apa gerangan yang membuat rakyatnya begitu berhasrat ingin berjumpanya. Hamba tersebut menjawab pertanyaan Raja dengan pantun.

 

Burong¹⁵ jalak burong mempelas

Bemiang begangse-gangse¹⁶

Mau masak adak beberas

Saye¹⁷ Mohonlah kepade Raje¹⁸

 

Ungkap sang ayah dengan sebuah pantun yang indah, membuat sang Raja terkesima dan haru. Sang Raja pun menjawab dengan pantun.

 

Sungguh indah bulan purname¹⁹

Di kelilingi beribu bintang

Aku raje yang bijaksane²⁰

Akan kuberi kau empat puloh²¹ gantang

 


Mendengar jawaban itu betapa bersukacitanya sang ayah, karena di beri Raja beras sebanyak empat puluh gantang²². Setelah beras itu dia dapatkan, maka sebagian dia jual kepasar untuk ditukarkan dengan emas. Sebagian lagi dia bawa pulang, untuk memberi makan sang anak yang sudah kelaparan.

 

Sementara di rumah, sepeninggal ayahnya, si anak setiap hari merengek minta nasi. Sang ibu menunggu dengan cemas, sebab si anak semakin kelaparan. Sampai-sampai hari itu, si anak tidak mau lagi makan buah-buahan. Mungkin karena sudah lama dia tidak merasakan nasi.

 

Karena anaknya terus merengek, pergilah ibunya ke ladang, melihat semaian padinya yang baru berumur 2 minggu. Di pitongnya sebagian semaian padi tersebut, kira-kira satu kepalnya. Di tempat ini pula, dia memohon kepada Dewata Sang Agung²³, agar dapat memberikan keajaiban, walau hanya sekali saja.

 

Dengan kesungguhan, sang ibu memanjatkan doa dengan bemamang²⁴. Sang Yang, Sang Juate²⁵.... Berkat aku anak manusie²⁶, jadikanlah daon²⁷ padi ini menjadi nasi²⁸...!

 

Setelah berdoa, sang ibu pulang ke rumah. Dicucinya daun padi hingga bersih. Kemudian dia masukan dalam periok untuk di masak. Sementara, si anak terus merengek minta nasi ke ibunya.

 

Ting ting kededai. Umak, umak mintaku nasi! Pinta si anak ke ibunya.

 

“Saba dolok baah nak e’! Umak gi’ masak, jawab ibu, bahwa dia sedang masak daun padi semaian yang di bawanya dari ladang.

 

Selesai meletakan periok di atas tungku, sang ibu ingin pergi sebentar mencari sesuatu. Ibu berpesan ke anaknya, agar anaknya menjaga dan jangan membuka periok tersebut. Menunggu masak belum masak, si anak akhirnya tertidur.

 

Terbangun dari tidur, anak ini penasaran, apa gerangan yang ibunya masak. Kebetulan perutnya memang sangat lapar. Tanpa memperdulikan larangan ibunya, dia pun berupaya membuka periok tersebut.

 

Atas kehendak Yang Kuasa, ajaib, semulanya daun padi, berubah menjadi nasi. Si anak terheran-heran. Kok bisa ada nasi, walau pun belum sempurna masaknya.

 

Si anak segera melapor ke ibunya, bahwa di dalam periok berisi nasi. Agar nasi masak sempurna, si ibu menyuruh anaknya mengambil daun pisang. Maksud ibu, daun pisang tersebut untuk alas tutup periok, sehingga nasinya bisa masak sempurna. Katanya, nasi yang di alas daun pisang, aroma dan rasanya enak pula.

 

Pergilah si anak mengambil daun pisang. Dengan gemetar mungkin pengauruh lapar, si anak berjalan menuju ke pohon pisang. Mungkin karena belum makan, atau kempunan²⁹ nasi, terjadilah malapetaka. Pada saat mengait daun pisang, tiba-tiba piso’ raot³⁰ lepas dari ikatannya dan jatuh mengenai dadanya, persis ke ulu hatinya. Darah pun menyembur ke pisang, dan si anak jatuh terkapar.

 

Darah anak yang menyembur ke pohon pisang, menyebabkan buah pisang berubah menjadi merah. Sehingga muncul jenis pisang baru. Sejak itu, sang ibu bersumpah, bahwa dia dan keturunannya, hingga 7 keturunan, tidak mau memakan pisang tersebut. Pisang tersebut dinamai Pisang Jerenang. 

Dengan tangisan pilu. Dipeluk erat-erat anak satu-satunya, sang ibu meratap sedih kepergian anaknya. Kesedihannya diutarakan melalui lantunan pilu.

 

“O nak, o nak ngape³¹ kau diam...? Ati³² umak cemas dan bimbang. Jangan tinggalkan umak sensorang³³,” dengan uraian air mata, si ibu melantun pilu.

 

Selain bersumpah tidak akan memekan pisang yang menyebabkan anak tunggalnya meninggal, si ibu juga bersumpah dengan daun padi yang menjadi nasi. “Mulai saat ini, ndak akan menjadi gi’³⁴ daon padi menjadi nasi’, sampai ke anak keturunanku nanti’.”

 

Tidak berapa lama setelah kejadian itu, sang ayah pun datang. Ayah datang membawa emas dan beras. Perasaan si ayah berbunga-bunga. Ayah berpikir, anaknya pasti bahagia melihat apa yang dia bawa. Namun apalah daya, apapun yang dia bawa, sudah tidak bisa lagi menggantikan nyawa anaknya.***

 

Hikmah dan makna yang terkandung dalam cerita:

-       Jadi anak harus patuh, hormat, dan berbakti kepada orang tua. Karena mereka, kita bisa merasakan manisnya dunia ini. Dan karena mereka (orang tua), kita bisa merasakan indahnya surga kelak.

-       Saat ditawarkan atau di ajak makan atau minum, jika kita menolak karena alasan kenyang dan sebagainya, maka adabnya kita dianjurkan bepusa’/bepusak sebagai bentuk penghormatan.

-       Sebagai makhluk sosial, kita tidak boleh tinggal bermukim sendirian, kita butuh orang lain. Sebaliknya, jika ita bermukim di lingkurangan yang ramai penduduk, kita tidak boleh abai dengan penderitaan orang lain. Agama dan Pancasila mengajarkan kita kebajikan di dalam bermasyarakat yang harus kita terapkan.

-       Umak¹: emak; mama; ibu; ummi.

-       Minta’ku nasi²: mintaku nasi.

-       Saba dolok baah nak e³: sabar dululah nak.

-       Apak kau gi’ nebas: bapak kamu lagi nebas.

-       Laboh: mengulangi kembali.

-       Nyeme’: nyemai.

-       ... Pike’kan kote⁷ ...: ... pikirkan kota ....

-       Nang jaoh: yang jauh.

-       Naseb: nasib.

-       Kite¹⁰: kita.

-       Ampon¹¹: ampun.

-       Patek¹², yaitu bahasa rakyat jelata, yang berarti saya atau hamba.

-       Ape¹³: apa.

-       Senek¹⁴; sene’; sini.

-       Burong¹⁵; burung.

-       Bemiang begangse-gangse¹⁶: gatal digaruk-garuk.

-       Saye¹⁷: saya

-       Kepade Raje¹⁸: kepada raja.

-       Purname¹⁹; purnama, yaitu bulan yang bulat sempurna.

-       Bijaksane²⁰: bijaksana.

-       Empat puloh²¹: empat puluh.

-       Gantang²², yaitu jenis takaran untuk padi atau beras, 1 gantang berat sekitar 2,5 – 3 kg.

-       Dewata Sang Agung²³: nama Tuhan kepercayaan nenek moyang kita dulu.

-       Bemamang²⁴: terkomat-kamit membaca sesuatu atau mantra.

-       Sang Yang, Sang Juate²⁵: nama Tuhan kepercayaan nenek moyang kita dulu.

-       Manusie²⁶: manusia.

-       Daon²⁷: daun.

-       Nasi²⁸; nasik; nasi.

-       Kempunan²⁹:  suatu kepercayaan orang tua-tua dulu, yaitu mendapat musibah akibat tidak mematuhi adat atau tidak mau bepusa’ (bepusak).

-       piso’ raot³⁰; pisok raut, yaitu pisau trasional, runcing, berulu panjang, berguna untuk meraut rotan dan sebagainya.

-       Ngape³¹: ngapa; mengapa.

-       Ati³²: hati.

-       Sensorang³³: seorang; sendiri.

Posting Komentar

0 Komentar