Alkisah, di Kerjaan Matan dahulu. Nun
jauh di dalam hutan belantara,
hiduplah keluarga kecil, terdiri dari sepasang suami istri dan satu orang anak.
Karena jauh dari pusat kerajaan
dan pemukiman warga,
maka hidup mereka sangat sederhana. Bisa dikatakan, hanya mengandalkan hasil alam atau hutan,sembari berladang padi.
Pada
suatu hari,
keluarga kecil ini kehabisan persediaan makanan, utamanya beras. Sedangkan
padi yang akan dijadikan beras, hanya cukup untuk di semai, agar bisa di tanam kembali.
Karena
padi sudah di semai,
beras sudah tidak tersedia
lagi. Tidak ada stok pangan yang
tersisa.Untuk menahan lapar,
keluarga ini hanya menyantap
buah-buahan yang ada dihutan. Akan tetapi, bagi anak yang masih kecil, makan buah-buahan saja selama beberapa hari, bukanlah suatu hal yang biasa. Dia butuh makan nasi, sebagaimana makanan pokok yang biasa di
makan sehari-hari.
Namanya
saja anak-anak. Dia tidak tahu jika persediaan beras sudah tidak ada. Setiap hari dia, ayah
dan ibunya harus memakan
buah-buahan hutan. Bagi sang ibu dan ayah tentu biasa. Namun baginya hal itu tidaklah biasa. Mau mencari padi atau beras kemana, karena mereka
hidup sangat jauh dari keramaian.
Karena si
anak ini sudah tidak tahan lagi dengan rasa lapar yang menderanya. Akibat tidak makan nasi selama berhari-hari, akhirnya dia meminta nasi kepada sang ibu.
“Ting ting kededai. Umak¹, umak minta’ku nasi’²…!” Pinta si anak ke ibunya.
“Saba dolok baah nak e’³! Apak
kau gi’ nebas⁴,” jawab ibu menenangkan anaknya.
Untuk menenangkan jeritan dan rasa lapar anaknya, si
ibu menyuguhkan air putih ke
anak. Ada pisang rebus, diberi
pisang rebus. Tetapi tidak bisa menghilangkan rasa laparnya yang ingin makan
nasi. Ke besoknya, laboh⁵
merengek minta nasi lagi dengan ibunya.
“Ting ting kededai. Umak, umak mintaku nasi’…!” Erang si anak, kembali minta nasi ke ibunya.
“Saba dolok baah nak e’! Apak kau gi’ nyeme’⁶,” jawab ibunya bahwa ayahnya masih nyemai padi.
Karena
si ibu kasihan dengan anaknya
kelaparan, dia
memohon ke
sang suami untuk ihktiar beras.
Maksud istrinya, agar suaminya meminta bantuan kepada Raja.“Jangan
pike’kan kote⁷
kerajaan nang jaoh⁸, tapi
pike’kan naseb⁹ anak kite¹⁰ bang,” pinta sang istri ke suami.
Setelah
itu, pergilah sang suami menuju
kerajaan, menghadap dan mengadu ke sang Raja. Tujuannya, agar Raja dapat memberi bantuan makanan. Berhari-hari hari dia berjalan menembus hutan belantara. Mendaki gunug,
menuruni lembah, dan
menyeberangi sungai. Ketika
malam tiba, dia harus menginap
di hutan,
tidur di atas dahan pepohonan. Esok
pagi, kembali melanjutkan perjalanan.
Setelah
berhari-hari
berjalan,
akhirnya,
sampailah sang ayah di kotaraja. Tak
menunggu lama, sang ayah minta ijin ke tentara keraajaan, untuk mengadap sang
Raja. Setelah mendapat ijin pengawal Raja, sang ayah langsung menghadap. Dihadapan
Raja, dengan memberi sembah sujud, sebagai tanda hormatnya.
“Mohon
ampon¹¹ yang mulia, sembah patek¹² harap
di ampon,” sang ayah memberi hormat ke Raja.
“Ape¹³ gerangan yang membuat kau datang ke senek¹⁴?“ Tanya Raja ingin tahu, apa gerangan yang membuat
rakyatnya begitu berhasrat ingin berjumpanya. Hamba tersebut menjawab
pertanyaan Raja dengan pantun.
Burong¹⁵ jalak burong mempelas
Bemiang begangse-gangse¹⁶
Mau masak adak beberas
Saye¹⁷ Mohonlah kepade Raje¹⁸
Ungkap
sang ayah dengan sebuah pantun
yang indah, membuat sang Raja
terkesima dan haru. Sang Raja pun menjawab dengan pantun.
Sungguh indah bulan purname¹⁹
Di kelilingi beribu bintang
Aku raje yang bijaksane²⁰
Akan kuberi kau empat puloh²¹ gantang
Mendengar
jawaban itu betapa bersukacitanya sang
ayah, karena di beri Raja
beras sebanyak empat puluh gantang²². Setelah beras itu
dia dapatkan, maka sebagian dia jual kepasar untuk ditukarkan dengan emas. Sebagian lagi dia bawa pulang, untuk memberi makan sang anak yang sudah
kelaparan.
Sementara di rumah, sepeninggal ayahnya, si anak setiap hari
merengek minta nasi. Sang ibu menunggu dengan
cemas, sebab si anak semakin kelaparan. Sampai-sampai hari itu, si anak tidak mau lagi makan buah-buahan. Mungkin karena sudah lama dia tidak merasakan nasi.
Karena
anaknya terus merengek,
pergilah ibunya ke
ladang, melihat semaian padinya
yang baru berumur 2 minggu. Di pitongnya sebagian semaian padi tersebut,
kira-kira satu kepalnya. Di tempat ini pula, dia memohon
kepada Dewata Sang Agung²³, agar dapat memberikan keajaiban, walau hanya sekali saja.
Dengan kesungguhan, sang ibu memanjatkan doa
dengan bemamang²⁴. “Sang Yang, Sang Juate²⁵.... Berkat aku anak manusie²⁶, jadikanlah daon²⁷ padi ini menjadi nasi’²⁸...!
Setelah berdoa, sang ibu pulang ke rumah. Dicucinya
daun padi hingga bersih. Kemudian dia masukan dalam periok untuk di masak.
Sementara, si anak terus merengek minta nasi ke ibunya.
“Ting ting kededai. Umak, umak mintaku nasi’…!” Pinta si anak ke ibunya.
“Saba
dolok baah nak e’! Umak gi’ masak,” jawab ibu, bahwa dia sedang masak daun padi
semaian yang di bawanya dari ladang.
Selesai meletakan periok di atas tungku, sang ibu
ingin pergi sebentar mencari sesuatu. Ibu berpesan ke anaknya, agar anaknya
menjaga dan jangan membuka
periok tersebut. Menunggu masak belum masak, si anak akhirnya tertidur.
Terbangun dari tidur, anak ini penasaran, apa
gerangan yang ibunya masak. Kebetulan perutnya memang sangat lapar. Tanpa
memperdulikan larangan ibunya, dia pun berupaya membuka periok tersebut.
Atas
kehendak Yang Kuasa,
ajaib, semulanya daun
padi, berubah menjadi
nasi. Si anak terheran-heran. Kok bisa
ada nasi, walau pun belum sempurna masaknya.
Si anak segera melapor ke ibunya, bahwa di dalam
periok berisi nasi. Agar nasi masak sempurna, si ibu menyuruh anaknya mengambil
daun pisang. Maksud ibu, daun pisang tersebut untuk alas tutup periok, sehingga
nasinya bisa masak sempurna. Katanya, nasi yang di alas daun pisang, aroma dan
rasanya enak pula.
Pergilah si anak mengambil daun pisang. Dengan gemetar mungkin pengauruh lapar, si anak
berjalan menuju ke pohon pisang. Mungkin karena belum makan, atau kempunan²⁹ nasi, terjadilah malapetaka. Pada saat mengait daun pisang, tiba-tiba piso’ raot³⁰ lepas
dari ikatannya dan jatuh mengenai dadanya, persis ke ulu hatinya. Darah pun menyembur ke pisang,
dan si anak jatuh terkapar.
Darah anak yang menyembur ke pohon pisang, menyebabkan buah pisang berubah menjadi merah. Sehingga muncul jenis pisang baru. Sejak itu, sang ibu bersumpah, bahwa dia dan keturunannya, hingga 7 keturunan, tidak mau memakan pisang tersebut. Pisang tersebut dinamai Pisang Jerenang.
Dengan tangisan pilu. Dipeluk erat-erat anak
satu-satunya, sang ibu meratap sedih kepergian anaknya. Kesedihannya diutarakan
melalui lantunan pilu.
“O nak, o nak ngape³¹ kau
diam...? Ati³² umak
cemas dan bimbang. Jangan tinggalkan umak sensorang³³,”
dengan uraian air mata, si ibu
melantun pilu.
Selain bersumpah tidak akan memekan pisang yang
menyebabkan anak tunggalnya meninggal, si ibu juga bersumpah dengan daun padi
yang menjadi nasi. “Mulai saat ini, ndak akan menjadi gi’³⁴ daon padi menjadi nasi’, sampai ke anak
keturunanku nanti’.”
Tidak berapa lama setelah kejadian itu, sang ayah pun datang. Ayah
datang membawa emas dan beras. Perasaan si ayah berbunga-bunga. Ayah berpikir, anaknya
pasti bahagia melihat apa yang dia bawa. Namun apalah daya, apapun yang dia bawa, sudah tidak bisa
lagi menggantikan nyawa anaknya.***
Hikmah
dan makna yang terkandung dalam cerita:
- Jadi
anak harus patuh, hormat, dan berbakti kepada orang tua. Karena mereka, kita
bisa merasakan manisnya dunia ini. Dan karena mereka (orang tua), kita bisa
merasakan indahnya surga kelak.
- Saat
ditawarkan atau di ajak makan atau minum, jika kita menolak karena alasan
kenyang dan sebagainya, maka adabnya kita dianjurkan bepusa’/bepusak sebagai
bentuk penghormatan.
-
Sebagai makhluk sosial, kita tidak boleh
tinggal bermukim sendirian,
kita butuh orang lain. Sebaliknya, jika ita bermukim di lingkurangan yang ramai
penduduk, kita tidak boleh abai dengan penderitaan orang lain. Agama dan
Pancasila mengajarkan kita kebajikan di dalam bermasyarakat yang harus kita
terapkan.
-
Umak¹: emak; mama; ibu; ummi.
-
Minta’ku nasi’²:
mintaku nasi.
-
Saba
dolok baah nak e’³: sabar dululah nak.
- Apak kau gi’ nebas⁴: bapak
kamu lagi nebas.
- Laboh⁵: mengulangi
kembali.
-
Nyeme’⁶: nyemai.
-
... Pike’kan kote⁷ ...: ... pikirkan kota ....
-
Nang jaoh⁸: yang jauh.
-
Naseb⁹: nasib.
-
Kite¹⁰: kita.
-
Ampon¹¹: ampun.
- Patek¹², yaitu bahasa rakyat
jelata, yang berarti saya atau hamba.
- Ape¹³: apa.
- Senek¹⁴; sene’; sini.
- Burong¹⁵; burung.
-
Bemiang
begangse-gangse¹⁶: gatal digaruk-garuk.
-
Saye¹⁷: saya
-
Kepade Raje¹⁸: kepada raja.
-
Purname¹⁹; purnama, yaitu bulan
yang bulat sempurna.
-
Bijaksane²⁰: bijaksana.
-
Empat
puloh²¹: empat puluh.
- Gantang²², yaitu jenis takaran
untuk padi atau beras, 1 gantang berat sekitar 2,5 – 3 kg.
- Dewata Sang Agung²³: nama Tuhan kepercayaan
nenek moyang kita dulu.
- Bemamang²⁴: terkomat-kamit membaca sesuatu atau mantra.
- Sang Yang, Sang
Juate²⁵: nama Tuhan kepercayaan
nenek moyang kita dulu.
- Manusie²⁶: manusia.
- Daon²⁷: daun.
- Nasi’²⁸; nasik; nasi.
- Kempunan²⁹: suatu
kepercayaan orang tua-tua dulu, yaitu mendapat musibah akibat tidak mematuhi
adat atau tidak mau bepusa’ (bepusak).
- piso’
raot³⁰; pisok raut, yaitu
pisau trasional, runcing, berulu panjang, berguna untuk meraut rotan dan
sebagainya.
- Ngape³¹: ngapa; mengapa.
- Ati³²: hati.
- Sensorang³³: seorang; sendiri.
0 Komentar