![]() |
Melano Tempo Dulu |
“Tanah Kayong” atau “Bumi Kayong”, sebutan untuk Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara. Merupakan Kabupaten yang terletak paling selatan di Kalimantan Barat. Dua Kabupaten ini, walau berbeda secara adminstratif, namun memiliki budaya dan akar sejarah yang saling beriringan. Sehingga penamaan “Kayong” tidak bisa terlepas dari keterkaitan antara dua kabupaten ini. Sebab, Kayong Utara pecahan dari Kabupaten Ketapang 2007 yang lalu. Mengapa dua Kabupaten ini identik dengan sebutan Kayong? Apa sebenarnya arti kata Kayong tersebut?
ASAL USUL NAMA KAYONG
Nama Kayong berasal dari nama sungai yang berada di batang Sungai Tayap. Saat ini masuk di wilayah Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten ketapang. Di sekitar aliran sungai ini, sejak dulu terdapat sungai bernama “Sungai Kayong”, atau ada yang menyebutnya “Sungai Kayong”. Di sekitar Sungai Kayong, dihuni sub suku Dayak bernama Dayak Kayonkng (Kayong), dan suku Melayu. Di kawasan ini, dulunya berdiri kerajaan pecahan dari Kerajaan Tanjungpura, yaitu Kertapura (di Tanah Merah). Saat ini masuk wilayah Desa Tanah Merah, Sungai Kelik, Kecamatan Nanga Tayap.
Kartapura merupakan kelanjutan dari kerajaan Tanjungpura, yang berawal dari Negeri Baru. Kemudian pindah ke Sukadana, ke Matan, ke Indralaya, Tanah Merah, ke Simpang Matan, dan menyebar menjadi kerajaan- kerajaan lain seantero Borneo bagian barat (Kalimantan).
Di kawasan Kertapura, tidak jauh dari Sungai Kayong tersebut, ada makam yang dipercaya masyarakat setempat, yaitu makam Ratu Pano. Walau menurut inskripsi aslinya berbahasa Arab Melayu, nisan ini tertulis nama “Raden Muhammad”. Namun warga sekitar menyebutnya Ratu Pano. Di sekitar ini juga terdapat makam-makam kuno lainnya, yang menjadi situs bersejarah. Dan ini merupakan rangkaian penting dari kelanjutan imperium Kerajaan Tanjungpura.
Kembali pada arti kata “kayong”, berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “kayon”, yang bermakna kekayuan atau kayu. Kata “kayon” berubah menjadi “Kayong” manakala lidah masyarakat setempat khsusnya, yang berdiam di perhuluan lazim memberikan penekanan pada huruf-huruf akhiran tertentu. Salah satunya “n” dengan tambahan seakan-akan terdapat bunyi huruf “n” dan “k“. Sehingga melekat di bagian ujung kata tersebut, dari kata “kayon” menjadi “kayonkng”.
Karena proses waktu dan budaya, kata “kayon” dilafalkan menjadi “kayonkng”. Lama-kelamaan kata “kayonkng” berubah menjadi “kayong” hingga sekarang. Kata ini menjadi lebih lazim didengar. Serta lebih mudah diucapkan oleh masyakarat pada umumnya, dengan sebutan “Kayong”, tanpa bunyi melekat/pantulan pada bagian akhirnya. Pada masyarakat sekitar Sungai Kayong lazim menyebut dengan nama “Kayung”, namun penyebutan ini hanya dipakai oleh orang orang tua saja.
Didalam keseharian masyarakat Melayu, Melayu Ketapang dan Kayong Utara, sering kita jumpai terdapat perbedaan dialog antar mereka. Jika kita dengarkan secara seksama, terdapat tekanan pada akhiran kata-kata tertentu. Misal, jika Melayu pesisir menyebut “pinggan”, maka Melayu di perhuluan menyebutnya “pinggant“. Jika Melayu pesisir menyebut “simpang”, maka Melayu di perhuluan menyebutnya “simpankng“. Banyak sekali perbedaan lainnya.
Belum lagi perbedaan penyebutan huruf “r” samar dan “r” yang terang pada kalimat, atau kata-kata tertentu. Serta perbedaan sebut pada kata-kata tertentu dengan huruf “o” dan “u”. Pun menjadi pembeda antara masyarakat Melayu pesisir dan perhuluan. Fenomena ini lazim kita jumpai, terutama di masyarakat Melayu yang tinggal di perhuluan. Sebab, bahasa asli Melayu perhuluan demikian adanya, mirip dengan dialek bahasa Dayak, yang cenderung memberikan tekanan pada akhir kata atau kalimat tertentu.
Sedangkan pada versi yang lain, arti kata “Kayong” konon berasal dari kata “Kayangan”. Menurut legendanya, bahwa di Tanah Kayong dahulu banyak orang-orang pintar (sakti). Ilmunya terkenal dengan ilmu Kayong. Karena inilah maka nama “Kayong” menjadi poluler. Ketika pemekeran Kabupaten Ketapang, nama Kayong menjadi salah satu pilihan saat cabut undi. Yaitu untuk penamaan nama kabupaten baru, yang sekarang dikenal Kayong Utara.
Pada saat penentuan nama Kabupaten Kayong Utara masa awal-awal perjuangan pemekaran, diadakan beberapa rangkaian acara. Kegiatan dari tanggal 25 – 27 Juni 2002 tersebut, berlangsung di rumah kediaman Dr. Oesman Sapta Odang di Sukadana. Musyawarah pemekaran wilayah tersebut membahas banyak hal. Agendanya, yaitu: pembentukan tim formatur pemekaran dan divisi per kecamatan hingga Desa; kajian kelayakan pembentukan kabupaten baru; penunjukan anggota presidium; dan penentuan nama kabupaten.
Untuk penentuan nama kabupaten, dilaksanakan pada 27 Juni tahun 2002, tepatnya pukul 09.30 – 11.30 WIB. Saat itu, terdapat beberapa usulan nama kabupaten baru. Diantara usulan nama kabupaten tersebut: Kabupaten Muara Palung; Kabupaten Matan Raya; dan Kabupaten Kayong Utara. Dalam proses cabut undi, akhirnya nama Kayong Utara terpilih menjadi nama Kabupaten. Resmi menjadi Kabupaten baru, berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2007, tertanggal 2 Januari tahun 2007.
Kabupaten Ketapang
dan Kayong Utara memiliki jejak peradaban tertua di Kalimantan Barat. Sebut saja Kerajaan Tanjungpura. Kerajaan ini mengalami beberapa kali pindah ibu kota. Dari Negeri Baru pindah ke Sukadana, ke Matan, ke Indralaya, ke Tanah Merah, Simpang dan Muliakerta.
Jika memakai
istilah nama “Kayong” sebagai sebutan entitas. Yaitu entitas untuk menyebut orang yang berdiam
di wilayah Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara,
bisa dimaklumi. Guna mempermudah penyebutan secara umum.
Walau pun terkadang fakta di lapangan berkata lain. Suku Melayu yang ada di 2 kabupaten ini lebih cenderung menyebut dirinya berdasarkan tempat, atau budaya yang berkembang di daerahnya. Misalnya Melayu Simpang, Melayu Laur, Melayu Sandai, Melayu Pesaguan,
Melayu Kendawangan, Melayu Pulau dan seterusnya. Secara umum, Melayu di 2
kabupaten ini memang
memiliki ciri khas yang sama. Sehingga almarhum
M. Dardi D. Has mengistilahkan Melayu 2 kabupaten
ini dengan nama
“Melayu Kayung (Kayong)”, yang terdiri dari banyak sub suku lagi.
Begitu juga dengan suku Dayak yang berdiam di 2 kabupaten ini, juga memiliki
penamaan tersendiri berdasarkan tempat mereka tinggal. Misal: Dayak Simpankng, Dayak Kayonkng, Dayak Pesaguan,
Dayak Kriau, Dayak Kendawangan dan Dayak yang lainnya. Nama sub sukunya
lebih cenderung memakai nama tempat, sebagai penanda identitas
mereka.
ASAL USUL MELAYU KAYONG
Jika dinukil dari legenda mengenai Tok Upui dan Tok Bubut, seperti yang ditulis budayawan asal Ketapang , M. Dardi D. Has. Beliau menuliskan bahwa Tok Upui dan Tok Bubut dipercaya oleh penduduk Tanah Kayong sebagai nenek moyang mereka. Dengan demikian, baik Melayu maupun Dayak, berakar dari rumpun yang sama.
H. Von de Wall,
seorang Asiten Residen Pemerintah Hindia Belanda, yang pernah bertugas di Sukadana. Dia mencatat atau menulis buku tentang penduduk tanah Kayong tahun 1835. Dalam catatannya
disebutkan tentang asal usul masyarakat tanah Kayong. Yaitu,
masyarakat masa Kerajaan
Tanjungpura era
Sukadana. Kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Jaya, yang berasal
dari Majapahit. Prabu Jaya memiliki seorang
Permaisuri dan Selir.
Pernikahan dengan permaisuri, melahirkan raja Baparung yang menjadi penerus Kerajaan Tanjungpura, dan mewariskan suku Kaum dan Priyayi. Sedangkan dari selir melahirkan dua orang anak, yaitu Baputie Soewarsa dan Demang Mangarang. Baputie Soewarsa melahirkan suku Mambal yang mendiami perbukitan, kemudian hari disebut sebagai suku Bukit. Sedangkan adiknya, Demang Mangarang, menurunkan suku Siring dan Mengkalang. Suku Siring dan Mengkalang mendiami wilayah pantai, seperti Pulau Karimata, Penebang, Pelapis, Padang Tikar, Bumbun dan sekitarnya.
Selanjutnya, keturunan Demang Mangarang yang melahirkan suku Siring dan Mengkalang tersebut, lebih dikenal dengan panggilan orang Mayak. Kemudian mereka memberi nama pulau yang mereka diami “Pulau Maya”. Saat ini, menjadi nama Kecamatan Pulau Maya.
Dengan demikian, klasifikasi penyebutan bagi orang-orang pribumi yang bermukim di Tanah Kayong pada masa itu, menjadi 7 kelompok suku. Yaitu: Mambal atau Orang Bukit; Mengkalang; Siring; Kaum; Priyayi; Orang Bumi; dan Oelor. Diantara ketujuh kelompok tersebut, melahirkan dua kelompok besar, yaitu Dayak Matahari Hidup, dan Dayak Matahari Mati.
Dayak Matahari Mati diam di sepanjang Sungai Pawan hingga kehulu. Sedangkan Dayak Matahari hidup, ada di bawah naungan Kerajaan Tanjungpura era Sukadana, termasuk Dayak Simpang, Dayak Kayong yang saat itu berdiam di Tolak, Siduk, Tayap, Sandai dan sekitarnya. Dalam Teks aslinya, diterjemahkan dari catatan Von de wall (1862), berbunyi sebagai berikut:
“Pada masa kejayaan
Kerajaan Sukadana, penduduk
terdiri dari dua bagian utama: yakni Dayak dan pemukim Jawa serta pendatang sebagai pengikut Muhammad atau yang maksudnya adalah beragama
Islam, yang selanjutnya mereka menikah dengan orang setempat dan berasimilasi serta disebut sebagai
orang Melayu.”
“Sedangkan Dajak dibagi menjadi dua
kelompok besar yakni Dajak Matahari Hidoep dan Dajak Matahari Mati, dan yang mengikuti ajaran muhammad menjadi empat
suku yakni Mambal, Siring,
Kaum dan Prijahi.”
Dari sinilah awal mula perjalanan masyarakat suku Melayu dan Dayak di tanah Kayong, mereka dahulunya di identifikasi berdasarkan asal usul tempat yang kemudian dalam perkembangnya dikelompokkan sebagai bagian dari sub suku Melayu dan Dayak
Berdasarkan catatan Von de Wall tersebut, artinya Melayu dan Dayak, khususnya di wilayah Kayong saat ini berasal dari akar yang sama. Ketika itu, karena adanya perubahan situasi di Kerajaan Tanjungpura era Sukadana, membuat Orang Dayak Matahari Hidup bermigrasi secara besar-besaran ke perhuluan. Sehingga mereka membentuk beberapa sub suku Dayak. Seperti sub suku: Dayak Simpang yang ada di Kualant, Banjour, Semandang. Kemudian, membentuk sub suku: Dayak Kayong dan Dayak yang ada di Tumbang Titi, Pesaguan, Sandai, Kendawangan dan sekitarnya. Bagi yang masih berdiam di hilir, dari mereka pula cikal bakal suku Melayu di Tanah Kayong. Sedang yang berpindah ke hulu, merupakan cikal bakal orang Darat, pada abad ke-17 disebut sebagai suku Dayak oleh para penulis Eropa.
Penduduk yang bermukim di daerah pesisir
pantai bersifat terbuka. Mau tidak mau mereka harus menerima
para pendatang dari seberang
laut, atau dari pulau-pulau sekitar. Mereka kemudian membaur, bahkan
menikah dan hidup turun-temurun. Karena berinteraksi dengan para
pendatang, maka adat istiadat, bahasa dan sebagainya, mengalami perubahan.
Sedang mereka yang berdiam di perhuluan, karena kurang
berinteraksi dengan pendatang, bahasa
dan adat istiadat tidak mengalami banyak perubahan.
Agama Islam masuk
pada abad ke-15 di Kalimantan Barat, melalui kerjaan Tanjungpura. Hal ini dibuktikan
dengan temuan akrkeologi berupa Nisan Tipe Demak Tralaya di Keramat 7 dan 9 Ketapang.
Selanjutnya ibu kota Kerajaan Tanjungpura dari Negeri Baru berpindah ke Sukadana. Raja pertama yang memakai gelar dengan corak Islam adalah
raja Karang Tanjung
(Pudong Berasap), dengan gelarnya Sultan Ali Aliuddin.
Karang Tunjung atau Pudong Berasap, merupakan
putra raja Baparung bin Prabu Jaya dari Majapahit. Prabu Jaya menikah dengan Dayang Potong, dengan gelar Putri Junjung Buih. Junjung Buih merupakan putri angkat dari Siak Bahulun, seroang raja Ulu Air. Ulu Air saat ini masuk wilayah Menyumbung Kabupaten Ketapang.
Penyebaran Islam
secara damai, melalui
hubungan politik dan prdagangan,
dengan kerajaan yang berasal dari berbagai penjuru negeri. Bagi mereka yang tidak mau menerima Islam sebagai agamanya, tidak dipaksa oleh raja. Lamabat laun, bagi yang memeluk agama Islam mendekati pusat kerajaan. Sedangkan yang masih memeluk
agama nenek moyang, mereka menjauh dari pusat kerajaan. Hal inilah, yang
mendorong pencatat Eropa pada masa itu, seperti George Muller, Von de wall, P.J. Vert, membagi penduduk Kalimantan secara umum dengan sebutan Dayak dan Melayu.
Masyarakat Melayu dan Dayak di tanah Kayong banyak bermukim di pesisir dan perhuluan. Jika dirunut berdasarkan asal-usulnya, mereka merupakan percampuran dari berbagai suku di nusantara pada masa lalu. Bisa disimpulkan, bahwa yang membentuk entitas baik Melayu maupun Dayak di tanah Kayong saat ini, terdiri dari gabungan beberapa suku yang ada, yaitu:
1. Pendudukasli Kalimantan(darigolongan Priyayai, Maya, Orang Bukit, Mengkalang, Siring Mambal, Oeler dan Orang Bumi, selanjutnya terbagi menjadi Dayak Matahari Mati dan Dayak Matahari Hidup, kemudian membentuk identitas Melayu dan Dayak);
2. Pendatang
dari Sriwijaya dan Palembang
(rombongan Sang Maniaka yang merupakan para pendatang sebelum adanya Tanjungpura era Islam);
3. Pendatang dari Pulau Jawa (rombongan Prabu Jaya dari Majapahit dan para pendatang berikutnya di masa kerajaan
Demak dan Mataram);
4. Pendatang dari Bugis (rombongan Daeng Manambon 4 bersaudara dan Daeng Mataku);
5. Pendatang dari Brunei (Raja Tengah anak Kesultanan Brunei yang datang pada abad ke-17 di masa raja Giri Mustika atau
Sultan Muhammad Syafiuddin);
6. Pendatang
dari Arab, yaitu para syaikh dan habaib yang menikah dan menjadi pendiri beberapa kerajaan di Kalimantan;
7. Pendatang
dari Siak (rombongan Tengku Akil, datang di abad ke- 19);
8. Pendatang dari Jambi pada abad ke-19, yang menurunkan trah Raden di Kerajaan
Simpang;
9.
Pendatang
lain yang bergabung dan menisbatkan diri menjadi bagian dari Melayu Kayung;
10. Tidak menutup kemungkinan para pendatang lain
juga ikut berbaur di tanah Kayong, seperti
singgahnya pasukan Kubilaikhan selama
beberapa bulan di Karimata dan ke Sukadana pada abad ke- 13, saat akan ke Singasari
menyerang Kertanegara. Dan Sukadana
di masa abad 15 – 17 pernah menjadi
bandar besar. Tidak menutup kemungkinan, kawin
campur penduduk pribumi
dan pendatang lain sangat terbuka
di daerah tersebut.
Berdasarkan sejarah, perjalanan peradaban dan budaya tersebut, maka untuk menjadi orang Melayu di tanah Kayong, atau untuk diakui sebagai orang Kayong sangatlah mudah. Para pendatang merasa sebagai Urang Kayong, tidak boleh arogan, tidak merasa bahwa “pribumi” lebih rendah dari mereka para pendatang.
Dengan demikian, akan disambut dengan baik pada kalangan masayarakat tanah Kayong, yang
telah lebih dahulu mendiami negeri ini. Namun bila yang terjadi sebaliknya,
maka dimana pun mereka berada, akan sulit diterima keberadaanya.
BUDAYA BERBAHASA
Apabila kita berkunjung ke beberapa kampung Melayu yang ada di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara, kita akan menjumpai bahasa Melayu yang khas dan unik. Berbeda dengan bahasa Melayu pada umumnya, seperti di Malaysia atau pulau Sumatera. Kekhasan bahasa Melayu di Kayong Utara dan Ketapang tersebut, dari cara penyebutannya atau cara penuturannya. Beberapa kosakata tercampur dengan kosakata pada suku lainnya di Nusantara.
Percampuran kosakata pada suku Melayu yang ada di Tanah Kayong ini, dapat kita temukan pada kosakata suku Dayak, Banjar, Jawa, Bugis dan lain-lain. Ini secara tidak langsung memberikan petunjuk, adanya proses budaya yang pernah terjadi di masa lalu. Mengenai penyebutan, di tempat tertentu seperti perhuluan, terkadang dialeknya agak berbeda. Melayu hulu dialeknye lebih kental dan melekat seperti dialek Dayak. Secara umum memiliki banyak kesamaan bahasa dengan Melayu hilir/ pesisir. Perbedaannya, hanya pada dialek atau tekanan bahasanya saja. Jika di daerah hilir/pesisir yang sudah tercampur dengan masyarakat pendatang, bahasa Melayu pada umumnya menyebut kamu atau anda dengan kata kau. Bahasa halusnya kau yaitu awak/awa’. Sedangkan di pedalaman menyebutnya dengan sebutan mpuk/mpu’. Di Kendawangan menyebutnya mika’. Simpang Hilir, Telok Batang, Durian Bebatang dan Pulau Maya menyebutnya, ika’ dan kita’.
Berbeda lagi dengan Melayu Tayap, khususnya di Cali, sebutannya ngkam, sama dengan Sedahan Jaya dan beberapa daerah diperhuluan. Contoh bahasa di atas mengambarkan kepada kita, bahwa suku Melayu yang ada di tanah Kayong, pada umumnya memiliki bahasa yang sama. Soal perbedaan dialek, kerena pengaruh tempat tinggal dan interaksi dengan penduduk sekitar. Letak geografis dan interaksi, menghasilkan proses budaya baru yang turun-temurun, dalam kurun waktu yang lama. Dalam perkembangannya, bahasa yang dituturkan oleh suku Melayu Kayong, juga berbeda dengan Melayu lain di Kalimantan Barat. Bahasa Melayu Kayong, merupakan salah satu dialek bahasa Melayu lokal. Bahasa yang dituturkan disekitar masyarakat Melayu yang berdiam Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara.
Walaupun dalam dialek Melayu Kayong pada saat ini tampak ada perbedaan, namun memiliki kekhasan. Ciri khas ini terjadi karena pengauruh geografi dan interkasi yang panjang. Klaimnya, bahasa Melayu Kayong merupakan bahasa asli bagi para penduduk suku Melayu, baik di Kabupaten Kayong Utara maupun Ketapang.
Berikut kami sertakan beberapa perbandiangan bahasa Melayu Kayong dengan Banjar dan Jawa, berdasarkan asal usul dan percampuran yang telah kami uraikan. Selain itu, untuk menambah literasi kita, dapat dilihat pada karya lokal lainnya. Beberapa film yang diproduksi oleh insan perfilman lokal Kayong, seperti film Perang Belangkaet, Nirmala Kayong, Kirana Mantra di Karimata, Bunge Arum Cempane, dan banyak film serta konten-konten youtube berbahasa Melayu Kayong.
Konten youtube tersebut seperti di Ketapang Tv, Tok Uban dan lain-lain. Semua kontenya berbahasa Melayu Kayong, meski beda dialeknya namun khasnya sama.
Perbedaan dan persamaan bahasa Melayu Kayong, Melayu Banjar dan Jawa dapat dilihat berikut di bawah ini.
Bahasa Indo-
nesia |
Bahasa Banjar |
Bahasa Melayu Kayong |
Jalan |
Timbuk |
Timbok/tembok |
Anda |
Sampiyan,andika, pian |
Sampin |
Sambit |
Tingkalung |
Tengkalong |
Dahulu Kala |
Bahari |
Dolo', dulo’ |
Cuci Muka |
Tampungas |
Tempungas |
Dodol Durian |
Tampuyak |
Lempok |
Pesanan Khusus |
Tampah |
Tampah |
Jerang (mema- sak) di tungku |
Tanggar |
Tangga, tanggar |
Tancap |
Tajak |
Tajak |
Dibayarkan dulu |
Talangi |
Talange' |
Pagi sekali |
Sungsung |
Sunsung |
Pernah |
Suah |
Suah, kala' |
Bahasa Indo- nesia |
Bahasa Banjar |
Bahasa Melayu Kayong |
Tempayan |
Tajau |
Tajo |
Penebas
Rumput |
Tajak |
Taja' |
Semak |
Sabat |
Sebat |
Sapu |
Sasapu |
Sesapu, penyapu |
Mesiu |
Sandawa |
Sendawe |
Dengan
hati-hati |
Apik |
Apik, apek |
Wadah |
Wadah |
Adah |
Apek |
Hapak |
Apak |
Seekor |
Sa'Ikung |
Sekok |
Sebiji, sebilah |
Sabuting |
Sebuti', suti', sebiji’ |
Seruan 'Aduh' |
Akay |
Akay, alai, adoh |
Tanggung |
Alang alang |
Alang alang, tanggong |
Ayah |
Abah |
Abah, apa' |
Kemarin |
Samalam |
Sore, semalam |
Celana |
Salawar |
Seluar |
Susuk ke ujung |
Santuk |
Santok |
Air |
Banyu |
Ai', ae’ |
Lambat |
Lambat |
Alon, lengah |
Antan |
Halu |
Alu |
Mereka |
Buhannya |
Sida', sida’-sida’ |
Sisa Gergajian |
Gabuk |
Simpe |
Sendiri |
Sorangan |
Sorang, sensorang, sen-
surang |
Palang pintu |
Sunduk |
Sondok, jenang |
Bambu Kuning |
Haur Gading |
Aur/ao gading, buloh kuneng |
Bahasa Indone-
sia |
Bahasa Banjar |
Bahasa Melayu Kay- ong |
Roboh |
Rabah |
Rebah |
Jenis anyaman daun nipah |
Kajang |
Kajang |
Dorong |
Surung |
Surung, durong |
Uang kembalian |
Angsulan |
Sosok, susok |
Kabur |
Kabus |
Kabus, kapus |
Kais |
Kair |
Kaer, kaes |
Kalau |
Kalu |
Kalo', mun |
Meraba-raba di tempat gelap dll |
Gagap |
Gagap |
Masakan
berkuah |
Gangan |
Gangan |
Bawa |
Bawa, gowo |
Gawa', bawa’ |
Kamu |
Ikam |
Mpu', ika', kita’, ngkam, awak/awa’ |
Hemat |
Imit |
Emat |
Guling |
Gaguling |
Geguling |
Sanggul |
Galung |
Gelung, sanggol |
Geli |
Geli |
Geli' |
Gemuk
Padat |
Gempal |
Gempal |
Pacar Gelap |
Gandak |
Gendak |
Tidak |
Kada |
Ada', nda’/ndak |
Obat |
Tatamba |
Obat tetambe |
Lintah darat |
Pacat |
Pacat |
Dipukul dengan kayu |
Pangkung |
Pangkung, pangkong |
Beritahukan |
Padahakan |
Padahkan |
Perbedaan dan persamaan bahasa Melayu Kayong dengan Jawa :
Bahasa Indonesia |
Bahasa Jawa |
Bahasa Melayu Kayong |
Menanam padi |
Nandur |
Nandur, nando |
Anda |
Sampeyan / awak
; badan |
Sampin, awak/awa’ |
Sanak saudara |
Sedulur |
Dulor, dulo |
Kelapa muda |
Degan |
Dogan |
Ayu, cantik pendek |
Denok |
Denok |
Teman, kawan |
Batur |
Bator, bato |
Bohong |
Ndobol |
Dabol |
Ibu jari |
Jempol |
Empol, jempol |
Pisau |
Lading |
Lading, piso’ |
Dengan
hati-hati |
Apik |
Apik, apek |
Apek |
Apek |
Apak |
Geli |
Geli |
Geli' |
Waras |
Waras |
Waras |
Hantu
perempuan |
Wewe |
Wewe |
Stop |
Mandheg |
Mandak |
Kebiasaan |
Tuman |
Tuman, ketumanan |
Peliharaan |
Angon |
Engon, engonan |
Pintu |
Lawang |
Lawang |
Malu |
Isin |
Isin-isin, isen-isen |
Petunjuk |
Petudhuh |
Petudoh |
Hujan rintik |
Teluthok |
Telutok |
Dua puluh satu |
Selikor |
Selikor, seliko |
Bahasa Indonesia |
Bahasa Jawa |
Bahasa Melayu Kayong |
Ibu yang dihormati |
Nyai |
Nyai |
Orang tua mening- gal |
Swargi |
Seregi |
Orang sebaya meninggal |
Jenat |
Jenat |
Makanan |
Panganan |
Penganan, tambol |
Perapian |
Perapen |
Perapen |
Celana |
Suwal |
Seluar, selua |
Tempat makan |
Ajang |
Ajang |
Mengambil, metik |
Undoh |
Unduh, rundoh |
Surau |
Langgar |
Langgar, langga |
Sumpah |
Misuh |
Sumpah pisoh |
Membual |
Dobol |
Dabol |
Bagus |
Apik |
Apik |
Pelan, mengalun |
Alon |
Alon |
Keluarga
besar |
Peduloran |
Peduloran |
Sebutan keluarga pada seseorang |
Dulor |
Dulor/dulo |
Muntah |
Mutah |
Mutah |
Tempat Sesaji |
Bancak |
Ancak |
Melihat masa depan |
Nilik |
Menilik |
Bungkus |
Buntel |
Buntel |
Oleh oleh |
Peweweh : pemberian |
Eweh eweh: oleh oleh untuk acara bersih bersih setelah masa nifas/ melahirkan |
0 Komentar