Kerajaan Yang Pernah Wujud di Tanah Kayong dan Jejak
Peninggalannya
Oleh: Miftahul Huda dkk
Kabupaten Kayong Utara saat ini terdiri dari 6 kecamatan, yaitu
Kecamatan Sukadana, Simpang Hilir, Teluk Batang, Pulau Maya, Seponti dan Kepulauan
Karimata. Dari 6 kecamatan tersebut, Kabupaten Kayong Utara menyimpan potensi
cagar budaya dan sejarah yang luar biasa. Cagar budaya harus digali dan
lestarikan.
Pada masa lalu, di Kabupaten Kayong Utara pernah wujud beberapa
kerajaan. Kerajaan yang merupakan pecahan, atau kelanjutan dari Tanjungpura.
Kerajaan tersebut dapat kita identifikasi seperti Kerajaan Tanjungura tua
(Sukadana), Matan tua, Simpang Matan, Sukadana New Brussel (Sukadana Baru) dan
Kerajaan Karimata.
A. Kerajaan Tanjungpura Tua
Kerajaan Tanjungpura, merupakan kerajaan tertua
di Kalimantan Barat. Kerajaan ini wujud sejak masa Singasari, bahkan
mungkin sebelumnya. Pernah mengalami beberapa kali pindah ibu kota kerajaan.
Ibu kota kerajaan bermula di Benua Lama (Negeri Baru) Ketapang, kemudian pindah ke Sukadana.
Kemudian pindah ke Matan, Simpang Matan, Indralaya, Muara Kayong dan Mulia
Kerta. Dari Matan kemudian menurunkan raja-raja yang
tersebar diseluruh Kalimantan Barat pada saat ini.
Tanjungpura di
masa awal, bahkan sebelum Singasari dan Majapahit ada, kerajaan ini telah wujud
dan berkembang dengan pola kepemimpinan tradisonal. Kepemimpinan tradisional
yang pernah memerintah seperti: Sang
Maniaka (Krysna Pandita), Hyang-Ta,
Rangga Sentap dan Siak Bahulun.
Terdapat banyak temuan
arkeologi dalam jejak peradaban Kerajaan Tanjungpura kuno. Temuan ini tersebar
di sepanjang aliran Sungai Pawan. Salah satu temuan yang paling fenomenal,
yaitu reruntuhan bekas Candi di Desa Negeri Baru Ketapang.
Sukadana yang saat ini menjadi ibu kota Kabupaten
Kayong Utara, pada abad ke-14 pernah
menjadi ibu kota dari Kerajaan Tanjungpura tua. Pada masa kerajaan Singasari,
daerah ini disebut sebagai Bakulapura.
Pada abad ke-14,
Kerajaan Tanjungpura diketahui menguasai wilayah antara dua semenanjung: Tanjung
Dato dan Tanjung Puting. Jika ditarik dengan pembatasan wilayah
saat ini, artinya Tanjungpura pada masa lalu sangat luas. Menguasai
sebagian wilayah Sambas, Malaysia, Kendawangan di pesisir selatan. Serta
Sukamara dan Kota Waringin Barat di Kalimantan Tengah.
Dalam Sumpah
Amukti Palapa yang terkenal dari Patih Gajah Mada. Diucapkan pada
tahun 1258 Saka atau 1336 Masehi, saat pengangkatannya sebagai Patih
Amangkubhumi Majapahit. Dalam salah satu sumpahnya menyebut Tanjungpura. Bunyi
Sumpah Palapa tersebut:
“Sira Gajah Mada, patih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa,
sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah
ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali,
Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.”
Selain sebagai
ibu kota kerajaan Tanjungpura, abad
ke-14 Sukadana memegang peranan penting, sebagai salah satu bandar di pantai
bagian barat wilayah Borneo. Dalam peta-peta kuno, Sukadana sering disebut
dengan nama Sidocanda, Sandocand, Succadano, Succaduno, Succudana,
Succadana, Socadana, dan Sucadana.
Saat pemerintah Hindia Belanda menempatkan Tengku Akil sebagai raja baru
di Sukadana, namanya dirubah menjadi New Brussel. Setelah itu, nama
Sukadana kembali dipakai hingga saat ini.
John Crawfurd,
seorang berkebangsaan Skotlandia. Dia dikenal karena
karya-karya tulisannya. Dia menjelaskan mengenai nama Sukadana, berasal
dari penyebutan orang-orang Majapahit dalam bahasa Sansekerta. Sukadana artinya
“pemberian yang menyenangkan”.
Beragam nama
Bakulapura atau Tanjungpura dalam peta-peta kuno, pernah disebut. Penyebutan
nama lain Bakulapura/Tanjungpura tersebut, yaitu Corcobara, Taiampura, Taiapura, Taiaopura, Tajumpuro dan Nusa Tanjungpura.
Nama
Tanjungpura yang dimaksud bukanlah tanjung dalam pengertian saat ini.
Namun merujuk pada nama tumbuhan pohon Tanjung
(Mimusops elengi). Dalam bahasa
Sansekerta, pohon Tanjung disebut Bakula. Kemudian, pura berati gerbang. Nama Bakulapura kemudian lebih populer disebut
Tanjungpura, yang berarti gerbang pohon tanjung.
Untuk membedakan
penamaan tanjung dalam pengertian daratan yang menjorok ke laut, dengan tanjung
pada penamaan Kerajaan Tanjungpura, yaitu pada cara penulisannya. Penulisan
Tanjungpura tanpa dipisah, lebih merujuk pada nama kerajaan yang berakar dari
nama Bakulapura, yang berarti gerbang pohon tanjung. Sedangkan penamaan seperti
Tanjung Satai, Tanjung Kerenot, Tanjung Berembang, Tanjung Gunung, Tanjung
Terong, Tanjung Belimbing dan sebagainya, penulisan “tanjung” dipisah.
Raja-raja yang
pernah memerintah di Kerajaan Tanjungpura dari mulai Negeri Baru ke Sukadana,
yaitu sebagai berikut:
1)
Manggalawardhani Dyah Suragharini
(1429 – 1464)
2)
Prabu Jaya (1464 – 1472)
3)
Baparung (1472 – 1487)
4)
Karang Tanjung, bergelar Sultan Ali
Aliuddin (1487 – 1504)
5)
Sang Ratu Agung, bergelar Sultan Hasan
Kawieuddin (1504 – 1518)
6)
Bandala, bergelar Sultan Abu Bakar Jalaluddien
(1518 – 1526)
7)
Pangeran Anom, bergelar Mangkubumi
(1526 – 1533)
8)
Ayer Mala, bergelar Sultan Umar
Akamuddien (1533 – 1562)
9)
Panembahan Baroch, bergelar Sultan Musthafa
Izzudien (1562 – 1590)
10) Panembahan Sorgie, bergelar Sultan Muhammad Tajudin (1590 –
1609)
11) Ratu Mas Jaintan, bergelar Ratu Di Atas Negeri (1609 – 1622)
12) Panembahan Giri Mustika, bergelar Sultan Muhamd Syafiuddien
(1622 – 1677).
Setelah
berakhirnya pemerintah Panembahan Giri Mustika (Sultan Muhammad
Syafiuddien), ibu kota yang sebelumnya
berpusat di Mulia, saat ini Desa Harapan Mulia, dipindakhan ke Matan. Kota raja
Matan yang baru ini, sebelumnya telah dirintis oleh kakeknya, yaitu Panembahan
Baroh (Sultan Musthafa Izzudien).
Peninggalan Bersejarah Kerajaan Tanjungpura
Tua era Sukadana
1. Makam Raja Ayer Mala
Makam Raja Ayer Mala,
lazim disebut Air Mala, namun ada juga yang menyebutnya dengan gelar Panembahan Ayer
Mala dan gelar Sultan Umar Aqamuddien. Ada ketidak sesuaian untuk gelar
Panembahan yang di sandang oleh Ayer Mala. Sebab jika dilihat dari masa
memerintahnya pada tahun 1533 – 1562, gelaran ini belum muncul dimanapun.
Diketahui bahwa gelar
Panembahan ini pertama kali dipakai oleh Sutawijaya sebagai pendiri Mataram
Islam pada tahun 1582 M. Maka dengan fakta tersebut gelar panembahan yang
diberikan pada Ayer Mala, adalah sebutan penghormatan dalam tradisi lokal saja.
Penyebutan
dengan rasa hormat ini sangat lazim dalam praktek keseharian dimasayarakat
Kayong Utara, terutama untuk menyebut nama nama orang yang dihormati termasuk
para raja raja. Bahkan diantara mereka ada yang enggan menyebut nama secara
langsung, sellau ada doa, ataupun kata kata baik sebelum menyebutkan nama raja
tersebut.
“Ampun ampun tulahnye, mudah
mudahan dapat sorge yang terang, seregi Panembahan …….( nama raja )”. Artinya : “ Mohon maaf jangan sampai terkena
kemalangan, semoga beliau yang kami hormati dan muliakan mendapat syurga yang
terang, panembahan ………….”
Kalimat tersebut kerap kali
diungkapkan oleh masyarakat Kayong, khususnya trah Tanjungpura, Matan atau Simpang
dalam penyebutan nama nama raja. Mereka sangat berhati hati, seakan akan ada
rasa sungkan dan kemalangan jika menyebut nama raja yang dimuliakan dengan
sebutan langsung. Sehingga dugaan akan gelar Panembahan pada penyebutan raja
Ayer mala dan beberapa diatasnya adalah sebutan penghormatan untuk mereka pada
hari ini.
Secara administrasi berada di Dusun Nirmala Desa
Gunung Sembilan Kecamatan Sukadana. Berjarak 275 meter dari Jalan Raya Desa Gunung Sembilan, arah timur
laut, berada 37 meter dari permukaan laut, di kaki bukit Gunung Sembilan.
Makam Raja Ayer Mala dinaungi cungkup makam berukuran 6 x 6 Meter yang baru dibuat, untuk perlindungan terhadap makam. Tiang penyangga cungkup kayu belian dan lantai beton berkeramik. Sayang, ketika awal pemugaran
makam, tidak tercatat kondisi eksisting sebelum pemugaran. Nisan makam ini
terbuat dari batu putih, berukir halus, bermotif
sulur-suluran dan bunga, dengan langgam Demak Tralaya.
Motif dan langgam ukiran nisan ini, ada kemiripan dengan nisan makam Raden Fatah di Demak Jawa Tengah. Makam ini
bercorak Islam, menghadap ke barat. Pada bagian kepala dan kaki nisan sudah patah,
bagian puncaknya pun sudah hilang.
Areal makam ini berada di lereng bukit, diratakan
berukuran 10 x 25 meter. Terdapat susunan batu andesit, difungsikan sebagai talud memperkuat struktur tanah. Posisinya berada disisi barat daya dan tenggara
areal makam.
Ditemukan juga pecahan batu bata merah di dekat makam, dengan ukuran yang beragam. Diduga, bata ini sebagai jirat makam. Di sebelah barat daya makam, pun ditemukan struktur susuanan bata merah. Bata tersebut berada 20 cm dari permukaan tanah, yang belum terbuka secara utuh.
Ayer Mala merupakan raja ke 8 di Kerajaan Tanjungpura, ketika beribu kota di Sukadana. Kerajaan ini lebih dikenal dengan Kerajaan Sukadana Tua.
Ayer Mala memerintah dikurun abad 16. Beliau
memerintah setelah pamannya, Pangeran Anom sebagai pemerintahan
sementara. Pangeran Anom memerintah sementara, sebab ayah Ayer Mala, yaitu Bandala wafat ketika Ayer Mala belum dewasa.
![]() |
Salah Satu Makam di Komplek Tok Mangku |
2. Makam Keramat Tok
Mangku
Komplek makam bercorak Islam Tok Mangku, secara
administrasi berada di Dusun Simpang Empat Desa Pangkalan Buton, Kecamatan
Sukadana Kabupaten Kayong Utara. Terletak di punggung Gunung
Peramas, sejauh 800 meter arah timur dari jalan Sungai Mengkuang, dengan
ketinggian 136 meter dari permukaan laut.
Tok Mangku bukanlah nama tokoh yang dimakamkam
dalam komplek tersebut, melainkan penamaan saja pada tokoh tokoh yang
dimakamkan. Tok berasal dari Kata “Datok” yang berarti dituakan, sedangkan
“Mangku” berati pemangku. Yang dimaksud pemangku adalah orang orang yang
memiliki kekuasaan dimasanya.
Telah dibangun cungkup makam, beratap seng
dengan ukuran 5 X 8 Meter, dengan tiang-tiang penyangga kayu belian. Lantainya dicor, dilapis keramik, dipagari kayu bersilang.
Ada 7 makam yang terdapat dalam komplek Tok Mangku. Tujuh makam tersebut kami identifikasi sebagai makam A, B, C, D, E, F dan G. Hanya
makam A yang masih mempunyai nisan asli. Yang lainnya, diletakan batu jirat makam sebagai
pengganti nisannya.
Nisan makam A terbuat dari batu andesit, yang diidentifikasi sebagai Tipde Demak Tralaya. Di bagian
kepala nisan, mempunyai inskripsi kalimah tauhid dalam
lingkaran dengan aksara Arab.
Jirat makam A
tesrebut terbuat dari
bata merah, pada bagian yang utuh berukuran besar. Konstruksi jirat relatif baik,
walau di beberapa bagian sudah terjadi penurunan dan
hilang. Bentuk jirat ini berundak, dengan motif dan ornamen persegi.
Pemasangan bata merah dilakukan dengan sistem gosok, sehingga sebagian masih
terkunci kuat walaupun sudah dimakan umur.
Dari
lambang purnama sidhi yang ditemukan pada salah satu nisan, dapat
dipercaya bahwa makam tersebut adalah makam ulama pada abad 15 – 16
Masehi. Sedangkan makam yang lain, dengan jirat yang lebih istimewa,
terdapat batu kapur yang diduga sebagai raja-raja Tanjungpura era Sukadana.
Letak komplek makam berada di tempat yang
tinggi, menjadi penanda keistimewaan makam ini. Hingga tahun 1800-an, masih
menjadi tradisi dalam masyarakat, bahwa orang-orang penting seperti
bangsawan dan ulama, beda letak makamnya. Bangsawan dan
ulama selalu dimakamkan di
lokasi yang lebih tinggi dari masyarakat biasa.
Bahan jirat terdiri dari batu bata merah
dengan ukuran besar, bercirikan guratan seperti batu bata merah era Majapahit
akhir. Bata disusun dengan pola simetris tertentu. Sedangkan bahan
jirat batu putih/batu kapur, yang berbentuk pola khusus jirat, menjadi penanda
bahwa makam-makam ini bukan makam kebanyakan. Ketuaan dan kekhasan
makam-makam ini, memberikan pemahaman bahwa ini bukanlah
makam-makam orang biasa. Jika dihubungkan
dengan makam raja-raja era
Sukadana Tua, masih ada beberapa
yang belum
diketahui secara pasti keberadaanya.
Perlu penelitian
khusus dan serius, untuk mengungkap misteri Komplek Makam Tok Mangku. Sehingga
dapat menjawab, siapa-siapa sebenarnya yang bersemanyam di komplek makam
tersebut.
3. Makam Keramat Pulau
Datok
Komplek
Makam Keramat Pulau Datok, berada di depan Pantai Pulau
Datok, Desa Sutera, Kecamatan Sukadana. Berjarak lebih
kurang 100 meter dari bibir pantai Tanjung Kerenut (nama lama). Dipisahkan selat Pulau Datok. Untuk sampai di makam keramat ini, bisa menggunakan perahu kecil.
Berdasarkan
sumber yang informasinya masih mendekati sumber primer, yaitu Imam Udin (76), warga Tanah Merah
Sukadana. Beliau pernah mendengar penuturan dari datoknya dulu, bahwa makam di
Pulau Datok tersebut merupakan makam orang-orang Syeh. Orang Syeh
yang dimaksud beliau, ialah para ulama.
Dalam
sumber Eropa, yang dicatat
oleh Geoge Muller yang
pernah datang ke Sukadana tahun 1822, dia menyebut makam tersebut adalah makam Syeh Muhammad, Syeh Ali dan Syeh
Husein. Muller menambahkan, bahwa mereka para pemuka dan penyebar agama Islam.
Jika dihubungkan
dengan keterangan sumber primer di atas, terdapat tiga
tokoh yang di makamkan di Pualau Datok. Sedangkan
kondisi nisan saat ini hanya tinggal 2 makam saja. Menurut
keterangan warga sekitar, nisan yang ada
di makam tersebut pernah dicuri. Wajar, jika kondisi makam sudah tidak utuh lagi.
Berdasarkan
lambang purnama sidhi, ditemukan satu nisan yang bertipe Demak Tralaya
di makam tersebut. Dapat dijelaskan bahwa orang yang dimakamkan di Pulau Datok adalah
seorang ulama. Sebagaimana lambang Purnama Sidhi yang juga terdapat
pada makam para ulama di tempat lain.
Dilihat dari
jenis nisan Demak Tralaya tersebut, diperkirakan nisan dengan corak seperti ini
berkembang pada abad 15 – 16 Masehi. Corak ini dimungkinkan setelah dakwah
Sunan Ampel. Kemudian Sunan Giri mendirikan Giri Kedaton, berkolaborasi dengan
Sultan Fatah raja Demak Bintara. Hal ini dimaksudkan untuk melanjutkan
dakwah berikutnya, hingga sampai ke Sukadana.
Salah satu
dakwah yang dilakukan oleh Sunan Giri bersama Sultan Fatah saat itu, melalui
jalur hubungan antar kerajaan. Yaitu, dengan cara menjadikan Giri Kedaton
sebagai tempat legitimasi bagi raja-raja muslim, dengan gelar
Sultan. Legitimasi ini dilakukan terhadap semua raja-raja senusantara masa
itu. Tak terkecuali dengan raja Tanjungpura era Sukadana. Raja Sukadana yang
pertama kali mendapat gelar Sultan dari Sunan Giri, ialah Karang Tanjung dengan
gelar Sultan Ali Aliuddien.
Komplek Makam Keramat Gunung Lalang |
4. Makam Keramat Gunung
Lalang
Makam keramat
Gunung Lalang terletak di Desa Harapan Mulia Kecamatan Sukadana. Sebelum tempat ini menjadi pemakaman warga
Thionghoa, tempat ini telah dikenal sebagai tempat keramat. Disebut keramat,
karena terdapat 2 makam tua di atasnya. Menurut penuturan warga, makam warga
Thionghoa mulai ada sejak 1927. Sedangkan makam keramat di atas tersebut telah
ada sejak abad ke-16.
Dalam catatan
George Muller (1822), sebagian makam raja-raja Tanjungpura era Sukadana kuno,
disebutnya dimakamkan di Bukit Laut. Gunung Lalang hari ini, juga bagian dari
Bukit Laut yang disebut Muller. Di Gunung Lalang, terdapat 2 makam penting.
Yaitu, makam Panembahan Baroch, bergelar Sultan Musthafa Izzudin, memerintah
tahun 1562 – 1590. Serta makam Giri Mustika, bergelar Sultan Muhammad
Syafiuddien, memerintah tahun 1627 – 1677.
Lokasi situs
Gunung Lalang, terletak di Desa Harapan Mulia Kecamatan Sukadana Kabupaten
kayong Utara. Di bawahnya terdapat sungai kecil yang mengalir ke sungai
Melija/Meliau (Sungai Rantau Panjang). Sekarang sungai kecil tersebut disebut
Sungai Mulia/Melie, yang bermuara di Sungai Rantau Panjang. Sedangkan Sungai
Rantau Panjang bermuara Sungai Simpang.
Ukuran komplek
situs Makam Keramat Gunung Lalang, panjang 10 meter dan lebar 8 meter, dengan
orientasi jalan lama di sebelah barat. Sedangkan jalan baru, jalan saat ini,
posisinya di sebelah utara. Terdapat struktur jirat makam, dengan bata teraduk
(bercampur/tidak utuh). Hasil identifikasi makam tersebut:
1)
Panjang makam dengan susunan bata merah 326 cm
2)
Lebar
makam dengan susunan bata merah 150 cm
3)
Ditemukan bata merah Tebal 5 cm,
Lebar 9 cm, Panjang 30 cm, serta berbagai fragmen atau bentuk dan ukuran bata merah
lainnya
4)
Terdapat talud (benteng) yang
mengelilingi makam terbuat dari bata merah.
5. Makam Raja Riau
Komplek Makam Raja Riau, adalah kumpulan makam yang terletak di Dusun Tanjung Belimbing Desa Pangkalan Buton, Kecamatan
Sukadana Kabupaten Kayong Utara. Berada di tanah datar, ketinggian 9
meter dari permukaan laut. Sebelah selatan Jalan Tanjungpura, sejauh 56 meter.
Makam utama berada pada cungkup beratap seng, tiang kayu belian dengan dinding terbuka hanya dibatasi dengan
pagar. Lantai dicor semen dan berkeramik. Ada 2 makam yang berada dalam cungkup. Dua pasang nisan ini terbuat dari batu andesit. Makam bercorak Islam ini
diidentifikasi sebagai makam A dan B.
Bentuk dan corak nisan makam Raja Riau, mempunyai langgam yang
berbeda bila kita bandingkan dengan nisan tipe Demak, tipe Aceh dan tipe Singapura. Makam ini berhubungan dengan tokoh yang bernama Gusti Bandar,
tokoh di masa pemerintahan Sultan Akhmad Kamaluddin (Indralaya).
Gusti Bandar atau Raden Bandar berasal dari
Pulau Payong, Riau. Beliau merupakan keturunan Daeng Perani, Saudara Daeng
Menambon. Dalam kurun waktu 1770 - 1786, Gusti Bandar hijrah ke kalimantan, akibat perang
Riau melawan VOC. Terlebih dahulu beliau menetap di Mempawah selama beberapa tahun. Kemudian
berpindah ke Sukadana, dan diterima dengan baik oleh Sultan Matan Indralaya (Sultan Akhmad
Kamaluddin).
Gusti Bandar hijrah ke Sukadana dengan
membawa pengikut dan harta benda yang dia punya. Beliau diberikan lahan pertanian oleh Sultan
Indralaya di kiri Sungai Sukadana, untuk berdiam dan berkebun. Pada waktu itu,
Sultan Indralaya mempunyai istana kedua di Sukadana, selain istana utama berada di hulu Sungai
Pawan.
Berdasarkan kesepakan Kesultanan Banten dengan VOC pada 26 Maret
1778, Banten telah menyerahkan Landak dan Sukadana kepada VOC. Maka Pemerintah
Hindia Belanda marah atas penolakan Sultan Indralaya, untuk patuh
terhadap perjanjian tersebut. Oleh karenanya, Pemerintah Hindia Belanda, bersama Kesultanan
Pontianak melakukan upaya paksa dengan menyerang Sukadana.
Gusti Bandar dikabarkan sempat membantu
Sultan Indralaya, dalam upaya mempertahankan Bandar Sukadana
dari serangan Belanda dan Pontianak tahun 1786. Serangan Pontianak dan VOC, berakibat pada
penghancuran dan pembakaran Sukadana.
Salah satu anak perempuan Gusti Bandar, bernama Utin
Apam menikah dengan anak Sultan Indralaya bernama Pangeran Muhammad Jamaluddin.
Kelak, Pangeran Muhammad Jamaluddin naik tahta, menggantikan ayahnya Sultan Indralaya pada
tahun 1790. Putri Gusti Bandar yang lain menikah dengan Pangeran Aria, keluarga
dari Kesultanan Sambas.
B. Kesultanan Matan Tua
Kesultanan Matan
tua, merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tanjungpura tua, yang sebelumnya beribu
kota di Sukadana. Perintis Kesultanan Matan tua ialah Panembahan Dibaroh
(Sultan Musthafa Izzudien). Beliau pergi ke arah hulu, menyusuri Sungai
Simpang, dan belok ke arah cabang kanan menuju Sungai Matan. Di tempat tersebut
beliau (Dibaroh) membuka lahan dan hutan untuk dijadikan perkampungan. Kelak
tempat ini dipersiapkan untuk ibu kota Kesultanan Matan yang baru.
Pada masa
Panembahan Dibaroh, Sukadana masih menjadi pusat kekuasaan. Matan pelan-pelan
telah ramai dan dihuni warga. Jika
dilihat dari kondisi geografis Matan, memang dipersipkan menjadi kota raja yang
aman dari gangguan lanun atau serangan musuh.
Di masa
pemerintahan Panembahan Dibaroh, kota raja pelan-pelan bergeser dari Sukadana
ke Mulia (Desa Harapan Mulia saat ini). Ibu kota di Mulia, berlangsung 3
periode kepimpinan. Di akhir masa jabatan Giri Mustika, yang merupakan cucu
dari Panembahan Dibaroh, dia memindahkan kota raja ke sungai Matan. Mulai saat
itu, Kesultanan Matan resmi berdaulat. Selanjutnya, Pangeran Jagadilaga sebagai
Mangkubumi bertahta di atas tanah Matan pertama kali.
Matan menurut
bahasa Arab berati “tanah yang keras dan tinggi”. Jika dilihat dari kondisi
geografisnya, Desa Matan saat ini,
merupakan bagian dari Kecamatan Simpang Hilir. Kontur Matan, terdapat banyak
gunung dan bukit, tempatnya lebih tinggi dari
kota raja sebelumnya yang berada di dekat pantai.
Walaupun di masa
Panamebahan Baroh Matan tidak menjadi pusat kekuasaan, namun memiliki peran
penting. Pada masa itu, Matan sebagai penopang ekonomi dan pertanian Kerajaan
Tanjungpura.
Pada masa anak
Panembahan Dibaroh, yaitu Panembahan Sorgie (Sultan Muhammad Tajudin),
menjadikan Matan sebagai tempat penting. Sultan Muhammad Tajudin merupakan raja sekaligus pendakwah. Dia
menjadikan Matan sebagai tempat persinggahan dan pusat kajian. Dia mengmpulkan
orang-orang pedalaman untuk belajar Islam. Saat beliau memimpin, ibu kota
kerajaan masih di Mulia.
Berikut
raja-raja yang pernah memerintah Kesultanan Matan:
1)
Pangeran Jagadilaga, alias Mangkubumi (1677 – 1649)
2)
Gusti Zakar Negara, bergelar Sultan
Muhammad Zainuddin (1649 – 1732)
3)
Pangeran Ratu, bergelar Meruhum Ratu (1732 –
1736)
4)
Pangeran Mangkurat, bergelar Sultan Aliuddin
(1736 – 1749)
5)
Gusti Kesuma Bandan, alias Girilaya, bergelar Sultan Muhammad Muazzidin (1749 –
1762)
6)
Gusti Kencuran, alias Indralaya, bergelar
Sultan Ahmad Kamaluddin (1762 – 1790)
7)
Gusti Asma, bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin (1790 – 1829).
Gusti Zakar
Negara, bergelar Sultan Muhammad Zainuddin merupakan raja Matan yang masyhur.
Sebab di masa beliau, lahir Kesultanan Mempawah dan Pontianak, juga tidak
terlepas dari juriat dan perannya.
Begitu pula di
masa anaknya, yaitu Pangeran Ratu alias Meruhum Ratu, kelak memiliki anak
bernama Pangeran Ratoe Agung Kesumaningrat, yang menjadi pendiri Kerajaan
Simpang Matan.
Sedangkan
kesultanan Matan berikutnya, jatuh ke tangan adik dari Pangeran Ratu, yaitu Pangeran
Mangkurat bergelar Sultan Aliuddin. Kemudian dilanjutkan Girilaya, dan dia
memindahkan kerajaan yang dipimpinya ke Negeri Laya (Sandai). Setelah itu,
dilanjutkan Indralaya (Sultan Ahmad Kamaluddin). Kesultanan Matan terakhir adalah
Gusti Asma bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin.
Setelah Gusti
Asma (Sultan Muhammad Jamaluddin) mangkat, Kesultanan Matan pun berakhir.
Sebab, setelah itu gelar sultan tak lagi dipakai, akibat politik pecah belah
dan hadirnya pemerintah Belanda dalam pusaran kekuasan. Setelah itu hanya gelar
Panembahan yang dipakai. Dari peristiwa ini Kerajaan Matan Kayong berdiri, yang
menjadi cikal bakal penerus Kerajaan Matan tua dan Tanjungpura tua. Kerajaan
ini memakai nama baru, yaitu Kerajaan Matan Tanjungpura yang hari ini keratonnya
berada di Mulia Kerta sekarang.
Nama Kerajaan
Matan Tanjungpura, adalah nama baru yang mengambil kebesaran Kerajaan
Tanjungpura yang pernah wujud di abad 13 – 15 M. Begitu juga penggunaan nama
Matan yang menyatu dengan “Matan Tanjungpura” di ketapang hari ini, diambil
karena dari kebesaran Kesultanan Matan yang pernah berkiprah pada abad 16 – 19 M.
Salah satu zirat makam di Matan saat ditemukan oleh TACB |
Peninggalan Bersejarah Kesultanan Matan Tua
Peninggalan
bersejarah Kesultanan Matan Tua yang kami maksud, berada di Kecamatan Simpang
Hilir, Kabupaten Kayong Utara. Di Kecamatan Simpang Hilir pernah wujud dua
kerajaan. Kali ini, kita lebih fokus pada peninggalan bersejarah dari
Kesultanan Matan. Baik berupa makam, atau benda-benda arkeologi lainnya.
Klasifikasi fase
peninggalan dari dua kerajaan ini, sudah melalui kajian khusus.
Pengklasifikasian benda atau cagar budaya, menurut kurun waktu/periodesasi dari kedua kerajaan tersebut berlangsung.
Namun demikian, hasil ini tentu tidak menutup ruang perbaikan-perbaikan di masa
mendatang. Sebab masih sangat terbuka untuk ditemukannya bukti atau data-data baru yang lebih
autentik.
Meskipun saksi
hidup sudah tidak ada, namun time line waktu dapat dibedakan berdasarkan
temuan benda arkeologi. Atau peninggalan berupa cagar budaya yang ada. Kendati
terdapat satu situs tercampur dalam satu lokasi/desa, tetapi berdasarkan
waktunya, masih dapat dibedakan.
Misalnya ada
situs bernama Makam Bunga, yang terletak di bawah kaki bukit Gunung Sepeuncak.
Makam ini tidak jauh dari makam peninggalan Kesultanan Matan tua, yang masih
berada di wilayah Desa Matan hari ini. Namun secara periode/waktu, kedua
komplek makam tersebut tidaklah sezaman, walau di tempat yang sama.
Begitu juga
makam di Simpang Keramat. Tak jauh dari Simpang Keramat, terdapat makam tua,
berada di Bukit Sekusur. Jika dilihat dan teliti, kedua kompek makam ini pun
tidak sezaman. Berikut kami sajikan peninggalan bersejarah dari Kesultanan
Matan.
1. Makam Sayyid Kubro
dan Raja-raja Kesultanan Matan Tua
Komplek makam
ini terletak di dekat pemukiman warga Desa Matan Jaya. Dahulu di sekitar tempat
ini, merupakan pusat kota raja Kesultanan Matan Tua. Didiami raja selama 4
generasi. Selanjutnya, Kesultanan Matan
berpindah ke Negeri Laya (Sandai) dan Muara Kayong.
Komplek makam
Sayyid Kubra dan raja-raja Matan ini, terletak di dataran yang lebih tinggi.
Dikelilingi pagar beton berwarna kuning. Sebelah utara terdapat situs Eks
Keraton dan menuju ke arah sungai.
Sedangkan timur dan selatan terdapat Gunung Matan dan Sepuncak. Di
bagian barat daya di belakang komplek
ini, jika ditelusuri masih
terhubung dengan bukit kecil yang terdapat makam tua bertipe Aceh.
Di komplek makam
saat ini terdapat 3 cungkup. Paling depan, cungkup makam dengan nisan tipe
gada, berbahan batu andesit. Berjarak sekitar 8 meter dari cungkup pertama,
yaitu cungkup kedua, terdapat jirat makam menggunakan bata merah yang sudah
rusak parah. Kemudian jarak 8 meter pada cungkup ketiga, teredapat nisan
bertipe Aceh yang juga sudah dalam kondisi rusak.
Selain kondisi
situs yang sebagian rusak, cara penanganan dan pemugaran terhadap situs, belum
mengacu pada standar pemugaran. Yaitu, standar yang diamanatkan dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Cara penanganan
yang tidak standar ini, bisa dilihat dari pembangunan cungkup dan proses
pengecoran yang sebagian/menutupi situs cagar budaya. Selain itu, dari sisi
kepatutan, makam Sayyid Kubra dan raja-raja Matan ini seharusnya dikhususkan,
tidak boleh bercampur dengan makam masyarakat biasa. Perlakuan-perlakuan khusus
ini, sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Selain itu adalah cara
kita hari ini untuk menghormati jasa para ulama dan raja terdahulu, yang telah
berjasa merintis dan membangun negeri ini.
Nisan dengan
tipe Aceh dipercayai masyarakat sebagai makam Sayyid Kubro. Sedangkan dua makam
di atasnya, baik yang bertipe gada maupun jirat berbata merah, diduga kuat adalah
makam Pangeran Ratu (Meruhum Ratu) dan makam Pangeran Mangkurat (Sultan
Aliuddin).
Geroge Muller,
yang pernah datang ke Simpang dan bertemu dengan Gusti Mahmud (Penmbahan Anom
Suryaningrat) tahun 1823. Dalam catatan Muller menyebutkan, bahwa Pangeran
Mangkurat dimakamkan di Matan Kuno. Muller mendeskripsikan Matan pada saat itu,
dengan sebutan Matan Kuno, dengan kondisi yang sudah bobrok dan sudah lama
ditinggalkan.
Setelah
Sultan Zainuddin wafat tahun 1732, dilanjutkan oleh Pangeran Ratu. Ia naik
tahta tahun 1732 dan meninggal tahun 1736. Pada masa raja Sultan
Zainuddin, Sayyid Kubra telah menjadi Qadhi (hakim agama tertinggi). Kemudian
masa Sultan Zainuddin, Sayyid Kubra kedatangan tamu yang juga merupakan
sahabatnya. Sahabat yang berasal dari Hadramaut, bernama Habib Husein
Alkadrie.
Kemudian, pada
masa Sultan Aliuddin (Pangeran Mangkurat) naik tahta di Kesultanan Matan
(1736), Habib Husein dan Sayyid Kubro masih menjadi pemuka agama di kerjaan.
Sayyid Kubro menjadi Qadhi, dan Habib Husein Alkadrie selaku Mufti.
Sayyid Kubro, beliau sosok ulama yang sangat hebat,
gagah dan berani. Beliau sangat berwibawa dan sangat dihormati di negeri Matan.
Sayyid Kubro
juga dikenal dengan nama Tuan Janggut Merah. Karena sosok beliau yang gagah,
mempunyai janggut yang lebat berwarna merah. Sayyid Kubro mempunyai kebiasaan
mewarnai janggutnya yang sudah memutih, dengan daun pacar (inai). Sehingga
janggut beliau berwarna merah. Melihat hal tersebut, orang-orang ketika itu
menjuluki beliau dengan nama Tuan Janggut Merah.
Sayyid Kubro
juga mempunyai kebiasaan unik. Beliau selalu membawa tongkat yang terbuat dari
besi yang sangat berat. Kemana pun beliau pergi, tongkat itu selalu dibawanya.
![]() |
Bekas umpak tiang seri Keraton Matan tua |
2. Eks Keraton Matan Tua
Tidak jauh dari
komplek makam Sayyid Kubra dan raja raja Matan, terdapat batu berbentuk semacam
lesung. Lokasinya di belakang rumah
warga bernama Saparudin. Menurut masyarakat setempat, batu tersebut adalah lesung bekas penumbuk
bedak putri raja. Hasil penelitian, didukung data berupa temuan arkologis yang ada di sekitar
lokasi, bahwa benda tersebut Umpak.
Umpak merupakan unsur bangunan, yang berfungsi
sebagai penyangga tiang pada bangunan berkonstruksi kayu. Pada umumnya, umpak
terbuat dari batu, bisa berjumlah lebih dari 1 buah dalam bangunan tertentu.
Umpak yang ditemukan disini, ialah penyangga tiang seri utama dari keraton
Matan Tua. Hal ini dikuatkan dengan adanya fragmen keramik, bata merah,
gerabah, tembaga dan sebagainya di sekitar lokasi.
Upaya penelitian
dan eksplorasi di sekitar lokasi Kesultanan Matan Tua, dilakukan sejak tahun
1963 oleh Drs. H. Gusti Muhammad Mulia (Sultan Muhammad Jamaluddin II, Raja
Simpang ke-7). Dilanjutkan pada tahun 2012 oleh Lembaga Simpang Mandiri.
Kemudian 2018, Lembaga Simpang Mandiri bersama BPCB Kalimantan Timur
melanjutkan riset tersebut, terakhir pada 9 Februari 2019.
Karena dinamika
politik dan beberapa kali peperangan, ibu kota Kesultanan Matan mengalami
berpindahan. Dari Matan, Sekusur tercatat juga pernah menjadi salah satu pusat
pemerintahan. Kemudian berpindah ke Negeri Laya (Sandai), dan terakhir di Muara
Kayong.
Diperkirakan,
hampir seratus tahun Matan digunakan sebagai pusat pemerintahan. Karena ada
tiga raja yang dimakamkan dan meninggal di Matan.
Bekas kolam yang telah menjadi kebun warga |
3. Eks Kolam Kesultanan
Matan
Eks kolam
Kesultanan Matan Tua, atau masyarakat setempat menyebutnya Kolam Laut Ketinggalan.
Letaknya di Desa Matan Jaya, Kecamatan Simpang Hilir Kabupaten Kayong Utara,
Kalimantan Barat.
Panjang dan
lebar lebih kurang 60 x 60 meter
persegi. Dengan in led ( pintu masuk air ) selebar 5 meter. Menghadap ke
timur sebagai pintu masuk air, yang mengalir dari Gunung Matan. Kemudian, di
sebelah barat terdapat outlet (pintu keluar air ) selebar 2 meter.
Sayangnya,
kondisi situs Kolam Laut Ketinggalan ini sangat memprihatinkan. Sebagian besar
sudah ditanami warga dengan dengan tanaman sawit. Serta beralih fungsi sebagai
pemukiman warga. Sehingga sebagian besar
dari struktur situs ini sudah tidak utuh lagi.
Kolam Laut
Ketinggalan tersebut tidak jauh dengan temuan umpak, tiang seri keraton.
Jaraknya hanya 70 meter saja. Jarak
kolam ke makam Sayyid Kubra dan raja-raja Matan juga tidak begitu jauh, hanya
berjarak 150 meter. Di samping kolam pun terdapat makam dengan nisan batu alam,
berbentuk bulat, yang dihubungkan dengan keberadaan Kolam Laut Ketinggalan.
Temuan serpihan
bata merah, Keramik dan tembikar disini
juga tidak dapat diabaikan. Sebab banyaknya jenis/ragam temuan lintas
peradaban. Temuan tersebut semakin memperkuat bekas pusat kota raja Matan di masa lalu.
Dalam
kepercayaan masyarakat setempat, bahwa Kolam Laut Ketinggalan berhubungan
dengan cerita legenda tentang putri raja Matan. Legenda yang mengisahkan
tentang seorang putri raja, yang diramalkan akan menemui ajalnya dimakan buaya.
Legendanya, sang
Putri berkeinginan mandi di laut. Karena khawatir dengan ramalan tentang
putrinya. Demi keselamatan buah hatinya, sang raja memerintahkan ke pegawainya
untuk membuat kolam pemandian putrinya.
Sebagai mainan si putri di kolamnya, dibuatlah buaya mainan dari kayu. Namun
naas, tangan tuan putri luka tergores gigi buaya, yang terbuat dari kayu
belian. Sebab luka itu, membawa kematian buat sang putri.
Kolam yang
dimaksud dalam cerita tersebut, di bangun pada zaman Giri Mustika, sultan Matan
abad 17. Kolom tersebut bagian dari sistem pengairan perladangan pada masa itu.
Setting cerita yang mengambil latar sejarah era Giri Mustika, tentu
membuka pemikiran kita bahwa cerita ini sudah begitu tua hadir di tengah
masyarakat. Walaupun, lagi-lagi, kita sulit mendapatkan data kapan persis
cerita ini muncul dalam budaya masyarakat setempat.
4. Makam Tipe Aceh
Temuan makam
bertipe Aceh tahun 2014 tersebut secara tidak sengaja. Ditemukan saat
perusahaan ingin membuka jalan baru. Tahun 2018, peneliti dari BPCB Kalimantan
Timur datang kesini. Hasil identifikasi para peneliti tersebut, bahwa makam
dengan nisan tipe Aceh tersebut adalah abad
ke-17.
Makam tersebut
masih berada di area, atau masih satu bukit dengan komplek makam Sayyid Kubra
dan raja-raja Matan. Makam tipe Aceh ini terletak di sebelah barat laut.
Sedangkan makam Sayyid Kubra di bagian timur.
Di makam tipe
Aceh tersebut, juga terdapat satu makam di depannya, dengan bahan batu andesit
berbentuk pipih. Hingga saat ini, warga setempat tidak mengetahui siapa yang
bersemayam di makam tersebut. Timbul dugaan, makam di bukit tersebut
berhubungan dengan seorang tokoh bernama Ratu Soraya.
Rat Soraya Merupakan
istri dari Sultan Tengah, yang berasal dari Kesultanan Brunei. Ratu Soraya
adalah bibi Sultan Zainuddin, raja Matan. Sang Ratu, merupakan anak Panembahan
Giri Kesuma, raja Tanjungpura era Sukadana.
Makam Sekusor |
5. Makam Keramat
Sekusur
Komplek Keramat
Sekusur (Sekusor), merupakan kawasan cagar budaya yang
sangat penting bagi keberlangsungan sejarah Kesultanan Matan. Kesultanan yang
pernah wujud abad 16 – 19 Masehi di Kalimantan Barat. Ini dikuatkan dari sumber-sumber dan manuskrip, bahwa Sekusur pernah
menjadi ibu kota Kesultanan Matan, pada masa Sultan Muhammad Zainuddin (Gusti
Zakar Negara). Sultan yang memerintah pada tahun 1689 – 1732.
Kawasan Keramat
Sekusur ini terletak di tengah-tengah perkebunan sawit. Selatannya, berbatasan
langsung dengan Sungai Lubuk Batu (Sungai Sidiau). Panjang
kawasan Keramat Sekusor 456 meter, dengan lebar 230 meter, atau luas 10,4 Hektare.
Daerah pemukiman kuno
ini, masyarakat lazim menyebutnya Keramat Sekusur. Kawasan yang
berada di wilayah admnistratif Desa Lubuk Batu
ini sering diziarahi. Bukan hanya masyarakat setempat, bahkan dari
daerah lain. Misalnya peziarah dari Sandai, yang berjarak +
150 Km dari lokasi. Menurut peziarah Sandai, mereka mendapat pesan orang-orang tua
terdahulu. Jika mereka berziarah ke daerah Kerajaan Simpang Matan, diwajibkan datang ke
Keramat Sekusur.
Nama Keramat
Sekusur abadi dalam kisah tutur yang turun-temurun di masyarakat
Simpang Matan. Kisah mengenai kemurkaan raja Gusti Pandji terhadap penjajah
Belanda. Belanda saat itu ingin menerapkan pajak, atau yang
dikenal masyarakat dengan Belasting. Sehingga pada 27
– 28 Februari 1915, meletuslah Perang Belangkaet. Kemurkaan raja tersebut terungkap dalam bentuk Pantun.
Bait dari pantun
Gusti Pandji berbunyi, “Sekusor bepagar
bukit, banyak keramat di daratnye, hatiku bujo dibuat sakit, adak selamat
pendapatnye.” Artinya: Sekusur di kelilingi bukit, banyak makam keramat di
atasnya, niatku benar dibuat sakit, tidak akan selamat dalam hidupnya.
Sumpah/kemurkaan Gusti Pandji tersebut,
pernah ditulis oleh Gusti Muhammad Mulia (Raja Simpang Matan VII). Beliau menulis buku
Sejarah Kerajaan Tanjungpura, Matan dan Simpang tahun 2008.
Dari pantun
Gusti Pandji itu, nama Sekusur abadi hingga saat ini. Selain itu, dari sumber
manuskrip Eropa, nama Sekusur sering
kali disebut. Misalnya Goerge Muller (1822),
beberapa kali menulis tentang Sekusur, dan tokoh yang pernah memerintah
di Kerajaan Matan. Muller menyebutnya, ibu kota kerajaan di Sekusur pada masa
itu.
Keramat Sekusor
berada di atas mungguk
atau dataran tinggi. Tempat ini sengaja ditetapkan sebagai areal pemakaman. Menurut pemerhati budaya dan sejarah asal
Simpang Hilir, Raden Jamrudin, nama Sekusur diambil dari tumbuhan liar
bernama Asam Sekuso/Sekusor, bahasa lain dari Sekusur.
Dahulunya
menurut Raden Jamrudin, asam sekusur banyak tumbuh di daerah
tersebut. Asam Sekusur sekarang lebih
dikenal dengan nama Rosella. Penggunaan nama
dari tumbuhan liar ini, juga identik dengan tempat keramat lain
yang ada di bukit Meranse, Kecamatan Sandai. Meranse juga berasal dari nama
tumbuhan Meranse.
Dari informasi
lisan, penuturan masyarakat setempat, bahwa Sekusur
dulu merupakan pemukiman yang sangat ramai. Letak kampung tersebut di aliran
Sungai Sidiau atau Sijo, saat ini dikenal Sungai Lubuk Batu. Sungai ini
tepat berdampingan dengan Makam Keramat
Sekusur.
Hasil penelitian, terdapat objek-objek cagar budaya di kawasan Keramat
Sekusur. Objek tersebut, yaitu:
1)
Makam dengan nisan tipe Gada, berada di
cungkup di zona inti, selanjutnya disebut Zona A
2)
Makam berbahan batu, berbentuk pipih, berjarak 50 meter dari
cungkup, selanjutnya disebut Zona B
3)
Lokasi temuan keramik kuno, berjarak 200
Meter dari Zona A, selanjutnya disebut Zona C
4)
Makam-makam dengan
nisan kayu, berusia tua, kondisi/bentuk sudah rusak, selanjutnya
disebut Zona D.
Menurut catatan Goerge Muller
(1822), Sekusur merupakan tempat
berdiamnya Sultan Muhammad Zainuddin (Gusti Zakar Negara). Bahkan Muller menyebutnya sebagai Sultan van Sekusur, yang artinya Sultan yang berasal dari
Sekusur.
Selain Sultan
Muhammad Zainuddin, Meruhum Ratu juga disebut sebagai sultan dari Sekusur.
Meruhum Ratu (Pangeran Ratu), merupakan
putra pertama Sultan Muhammad Zainuddin. Meruhum Ratu sempat menggantikan
tahta ayahnya selama 4 tahun, kemudian wafat dan dimakamkan di Matan.
Sultan Muhammad
Zainuddin sangat terkenal. Beliau anak dari Pangeran Putra bin Sultan
Muhammad Syafiuddien (Giri Mustika), bin Sultan Muhammad Tajudin ( Giri
Kasuma), bin Sultan Musthafa Izzudie ( Panembahan Baroh), bin Sultan Ummar
Akamuddien ( Ayer Mala ), bin Sultan Abu Bakar Jalaluddien (Bandala), bin
Sultan Hasan Kawiuddien ( Sang Ratu Agung/ Pudong Berasap), bin Sultan Ali
Aliuddien ( Karang Tanjung), bin Baparung bin Prabujaya.
Kesultanan Matan
di masa Sultan Muhammad Zainuddin, banyak
berhubungan dengan kerajaan-kerajaan lain di Kalimantan Barat. Bahkan
luar Kalimantan. Beliau juga terlibat dalam pendirian Kesultanan
Mempawah dan Pontianak.
6. Makam Bertipe Demak
dan Kolam Tua
Selain temuan
situs-situs di atas, terdapat juga makam dengan langgam Demak, tetapi
kondisinya sudah sangat rusak. Makam dengan nisan istimewa ini, berada dalam
kebun sawit, tanah milik warga setempat.
Jika dilihat
dari keletakan makam, yang berada di atas mungguk (bukit kecil), yang dimkamkan
disni bukanlah orang biasa. Diduga ini merupakan makam salah satu raja
Matan, yang masih belum teridentifikasi.
Hingga saat ini penelitian mengenai langgam nisan ini masih dilakukan.
Tidak jauh dari
lokasi makam dengan nisan tipe Demak tersebut, terdapat Danau Kotak yang saat
ini sudah dangkal. Konon Danau Kotak ini menurut warga, tersimpan harta karun
berharga. Di sekitar lokasi, warga Matan pernah menemukan gelang kronong, bahan
emas murni. Gelang tersebut ditemukan
warga ketika dia berladang. Sayangnya, barang tersebut telah di jual. Sehingga
tidak ada data, dokumentasi atau bukti outentik yang bisa ditampilkan.
Kemungkinan
masih terbuka, untuk menemukan objek atau situs penting di eks Kesultanan Matan
Tua. Kelak jika ada temuan baru, penting untuk dikonfirmnasi kepada pihak yang
berwenenang. Sehingga dapat dilakukan tindakan-tindakan penyelamatan dan
pendokumentasian. Temuan tersebut akan menjadi pijakan dasar untuk penelitian
selanjutnya. Guna untuk memperkuat kesejarahan yang ada.
C. Kerajaan Simpang Matan
Kerajaan dengan
nama Simpang, atau yang biasa disebut Simpang Matan, telah wujud sejak 1744.
Wilayahnya saat ini membentang dari Kecamatan Simpang Hilir, Teluk Batang,
Pulau Maya dan Kecamatan Seponti Kabupaten Kayong Utara. Juga mencakupi
Kecamatan Simpang Dua, Simpang Hulu, Balai Berkuak, Kecamatan Sungai Laur
Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Dilihat dari isi
surat pada 10 September 1886, menjelaskan mengenai tapal batas secara rinci,
antara Kerajaan Simpang Matan dengan Kerajaan Meliau (sekarang Tayan). Dalam
surat itu juga, diceritakan bahwa Raja Simpang - Panembahan Surya Ningrat
(Gusti Pandji) dan raja Meliau Pangeran Ratoe Moeda Pakoe, masing-masing
membawa para menteri, untuk menjadi saksi secara langsung.
Jika
membandingkan antara surat perjanjian tapal batas dan peta kerajaan yang dibuat
tahun 1893, lokasi yang disebutkan dalam surat itu sama persis. Bahkan dari
sini kita dapat melihat, seberapa luas dan berdaulatnya Kerajaan Simpang masa
itu. Surat ini bersumber dari Arsip Nasional Republik Indonesia, diinvetarisir
Yusri Darmadi. Dari Yusri Darmadi diserahkan
ke Isnadi, untuk keperluan arsip Kerajaan Simpang Matan, yang diterjemahkan
Joko Duwi Santoso.
Kerajaan Simpang
telah pula membangun corak budaya sendiri. Sehingga mereka yang berdiam di
wilayah ini sering disebut Orang Simpang. Orang Simpang adalah sebuah entitas
etnis budaya. Entitas budaya yang tumbuh dan berkembang, dengan corak budaya
yang mempunyai karakteristik sendiri. Dominasi suku Melayu, dengan imbuhan suku
Dayak, Jawa, Bugis dan Tionghua, menjadikan Orang Simpang sebagai Suku Melayu
yang sangat beragam.
Dalam
catatan Von de wall (1862), bahwa
leluhur sekaligus pendiri Kerajaan Simpang adalah Pangeran Ratoe Agung
Kesumaningrat. Beliau anak Pangeran Ratu
bin Sultan Zainuddin, raja kedua
Kerajaan Matan.
Pangeran Agung
Ratoe Kesumaningrat, menikah dengan Ratu Bunga, putri Sultan Muazzidin,
penguasa di Indralaya (Sandai). Sultan Muazzidin dikenal sebagai Marhum Negeri
Laya, sekarang dikenal dengan nama Sandai.
George
Muller pernah datang ke Borneo (1822), bersama rekannya. Mereka ditemani Raja Akil dari Sukadana,
dan Uwan Hassan utusan dari Pontianak. Muller mencatat, Pangeran
Ratoe Agung Kesumaningrat meninggal pada usia sangat tua, tahun 1814. Beliau
dimakamkan di belakang keraton Kerajaan Simpang, bertaburkan bunga, disekitarnya
terdapat marmer putih.
Di masa
Panembahan Anom Suryaningrat (Gusti Mahmud), pewaris tahta Kerajaan Simpang,
putra Pangeran Ratoe Agung Kesumaningrat, kolonial Belanda datang.
Tujuan kedatangan Belanda, ingin melakukan kontrak tanda tangan pertama,
tertanggal 23 November 1823. Dalam kontrak tersebut, Belanda meminjam
tanah di Sukadana, untuk mendirikan kantor loji, dengan dalih ingin memberantas
lanun/bajak laut.
Dinamakan
Kerajaan Simpang, karena letaknya yang berada di cabang atau di persimpangan
dua sungai. Cabang sebelah kanan menuju ke Sungai Matan. Cabang sebelah kiri,
merupakan Sungai Lubuk Batu saat ini, dulu Sungai Sidiaw.
Letak Kerajaan
Simpang tidak jauh dari Kerajaan Matan kuno. Gorge Muller menyebut, bahwa dari
Simpang menuju ke Matan hanya setengah hari perjalanan. Muller juga menyebut,
kota Matan telah lama tak berpenghuni dan bobrok. Yang tersisa hanya
puing-puing sisa peradaban, makam-makam tua, baik yang ada di Matan maupun di
Sekusur.
Pendiri
keraton dan Kerajaaan Simpang Matan pertama, yaitu Pangeran Ratoe Agung
Kesumaningrat, 1744. Dibangun kembali pada 1815, oleh Panembahan Anom
Suryaningrat (Gusti Mahmud). Tahta dilanjutkan putra mahkota, Panembahan
Kesumaningrat (Gusti Muhammad Roem) 1845 - 1874. Tahta berlanjut ke Panembahan
Suryaningrat (Gusti Pandji), 1874 - 1911.
Tahun 1911 - 1915, Kerajaan Simpang perang dengan Belanda, yang dikenal
dengan Perang Belangkaet. Kondisi ini
membuat ibu kota kerajaan berpindah, dari Simpang Keramat ke arah hilir, yaitu Teluk Melano. Kerajaan ini
dipimpin Panembahan Gusti Roem, sejak 1911 hingga 1942. Setelahnya, dilanjut putra
mahkota, yaitu Panembahan Gusti
Mesir (1942 - 1943).
Pada masa pendudukan
Jepang, Panembahan
Gusti Roem dan Panembahan Gusti Mesir, ditangkap
bersama kerabat kerajaan dan masyarakat biasa lainnya, yang ikut menjadi korban
fasisme Jepang di Mandor.
Sementara
pemerintahan kerjaan kosong, maka tahta diisi oleh mangkubumi, saat itu dijabat
Gusti Mahmud. Gusti Mahmud menjadi raja sementara (Mangkubumi) dari 1943 -
1956. Kemudian sejak 1956 hingga 2007 terjadi kekosongan tahta. Tahun 1957
Kalimantan Barat mekar menjadi provinsi sendiri. Dimungkinkan, secara otomatis
raja-raja di Kalbar demisioner dan nonaktif dari jabatannya.
Di
Kerajaan Simpang khususnya, dari 1956/1957 hingga 2008 tak ada raja yang
bertahta. Demi kepentingan menjaga kebudayaan, dan untuk eksistensi Kerajaan
Simpang yang pernah jaya di masa lampau, 2008 dilantiklah Drs. H. Gusti
Muhammad Mulia. Yaitu, sebagai penerus tahta Kerajaan Simpang, yang bergelar
Sultan Muhammad Jamaluddin II sebagai Raja Simpang Matan VII. Beliau wafat
2017. Tahun 2018, tahta Kerajaan Simpang diteruskan putra mahkota, Gusti
Muhammad Hukma, S.E.
Pada saat ibu kota berpindah ke Teluk Melano (1911), Keraton Simpang tua ditinggalkan. Hingga akhir
hayatnya, Gusti Pandji dan pengikut setianya masih menetap di Keraton Simpang
tua. Setelah Gusti Pandji wafat, keraton menjadi tidak terawat. perlahan,
warga bergeser dari pusat kota pertama Kerajaan Simpang Matan, pindah ke hilir atau ke hulu sungai.
Sehingga kota Simpang tua ditinggalkan. Yang tersisa saat ini, puing-puing
bekas keraton, bekas masjid dan makam-makam saja. Kondisi bekas keraton
dan masjid yang tersisa saat ini, yaitu 8 tongkat/tiang kayu belian (30 x 30 meter), panjang 8 - 10 meter.
Sementara, keraton
yang berada di Teluk Melano. Keraton yang menjadi bukti pusat Pemerintah
Kerajaan Simpang Matan terakhir, nasibnya tak jauh beda dengan keraton Simpang
Keramat, Matan tua dan Sukadana tua. Penyebabnya, apakah karena kekosongan
tahta sejak 1956 hingga 2007? Apakah akibat Gusti Roem dan Gusti Mesir menjadi
korban fasisme Jepang? Atau kerana meninggalnya Mangkubumi Gusti Mahmud, dan
kerajaan telah melebur ke NKRI? Atau karena faktor lain, yang membuat
keberadaan Keraton Kerajaan Simpang Matan di Teluk Melano tidak terlihat
lagi? Wallahu a’lamu.
Puncaknya,
setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953
tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan
(Lembaran-Negara Tahun 1953 No. 9), sebagai Undang-Undang. Semua swapraja/kerajaan, khususnya di
Kalimantan Barat telah lebur dan menyatu menjadi bagian
NKRI. Berdasarkan undang-undang tersebut, Kerajaan Simpang pun menyatakan bergabung dalam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kawasan eks Keraton Simpang di Teluk Melano, banyak menjadi fasilitas umum. Termasuk sekolah
SMPN 01 Simpang Hilir, SDN 01 dan pasar Melano.
Kemudian jalan menuju Jembatan Teluk Melano, dulu bagian dari aset kerajaan, namun kini sudah jadi jalan
raya.
Kedudukan keraton Simpang di Telok Melano dulu, kini telah dibangun kantor Pos. Semua wilayah kekuasaan dan sebagian aset Kerajaan Simpang Matan (tanah), secara otomatis di ambil alih Pemerinth Republik Indonesia. Tidak ada hitam
putihnya mengambil alih
aet aset kerajaan tersebut, hingga sekarang.
Saat pelantikan Raja Simpang Matan VII 2008, Drs. H. Gusti Muhammad Mulia mengemukakan, bahwa saat ini
mereka para ahli waris kerajaan sudah tidak memiliki apa-apa lagi. “Kami sekarang tidak memiliki apa-apa lagi. Jangankan keraton, tanah pun kami
tak punya,” ucapkan Gusti Muhammad Mulia, sambil berkaca-kaca, dalam sambuatan pasca acara pelantikan beliau.
Merujuk pada
sumber-sumber catatan dan literatur yang ada, berikut kami sajikan raja-raja yang
pernah memerintah di Kerajaan Simpang Matan, sebagai berikut:
1)
Pangeran Ratoe Agung
Kesumaningrat (1744 – 1814)
2)
Gusti Mahmud, bergelar Panembahan
Anom Suryaningrat (1814 – 1845)
3)
Gusti Muhammad
Roem, bergelar Panembahan Kesumaningrat (1845 – 1874)
4)
Gusti Pandji, bergelar Panembahan
Suryaningrat (1874 – 1911), wafat 1917
5)
Gusti Roem, bergelar Panembahan
Anom Suryaningrat (1911 – 1942)
6)
Gusti Mesir, bergelar Sultan
Muhammad Jamaluddin I (1942 – 1943)
7)
Gusti Mahmud, jabatan Mangkubumi (1943 -
1956)
8)
Gusti Ibrahim, Raja Sehari (2008)
9)
Gusti Muhammad Mulia, bergelar Sultan
Muhammad Jamaluddin II (2008 – 2017)
10) Gusti Muhammad Hukma, bergelar Sultan Muhammad
Jamaluddin III (2018 – sekarang).
Peninggalan Bersejarah Kerajaan Simpang
Matan
Sebenarnya, banyak peningal-peninggalan Kerajaan Simpang di Teluk Melano.
Sayangnya, hanya objek-objek tertentu saja yang masih bisa kita saksikan.
Bersyukur, objek-objek yang ada masih terjaga dan terawat. Hanya saja, perlu
memaksimalkannya sebagai objek cagara budaya,
sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Berikut ini, kami hanya membahas peninggalan bersejarah Kerajaan Simpang
Matan, khususnya yang berada di wilayah administrasi Kecamatan Simpang Hilir.
![]() |
Situs Simpang Keramat |
1. Situs Simpang
Keramat
Situs eks
(bekas) ibu kota Kerajaan Simpang Matan, terletak pada astronomis S 09 05 59.21
dan E 110 12 10.29. Berada tepat di tanjung, persimpangan Sungai Lubuk Batu(Sidiaw/sijo)
dan Sungai Matan. Wilayah ini merupakan daerah berlahan basah, pasang surut air
tawar dan payau. Sekarang daerah ini sudah menghutan. Hanya areal pemakaman dan
meriam yang sering dibersihkan para peziarah.
Berdasar tata
letaknya, kami mencoba membagi situs ini dalam beberapa zonasi, sesuai
karakteristik dan tinggalannya. Yaitu: Zona Makam, Zona Meriam Bujang Koreng,
Zona Istana dan Masjid, dan zona eks pemukiman lama.
Situs Simpang
Keramat ini menjadi kawasan cagar budaya yang memiliki nilai penting, sebagai
pondasi awal berdirinya Kerajaan Simpang Matan (1744). Penting sebagai bukti
autentik, bahwa disini pernah berdiri kerajaan besar dan jaya. Ironinya,
kondisinya sekarang sangat memprihatikan. Sudah tidak terawat, mengalami
pelapukan dan terlupakan.
Menurut catatan
Goeroge Muller, Simpang adalah ibu kota kerajaan dengan nama yang sama. Terdiri
dari beberapa kampung, yaitu Kampung Blitang, Mayang, Priyai, Raja, Dalem,
Kaum, Sampit, Bugis, Surit, Banjar dan Kampung Cina, (Muller, 1848 : 278).
Istana Pangeran
atau Dalem berdiri di tanjung, antara Sungai Sidiaw (Lubuk Batu) dan Sungai
Matan. Terdapat pagar sekitar 60 x 60 meter, setinggi 6 meter terbuat dari kayu
belian. Di dekat istana berdiri masjid, yang sering dikunjungi Panembahan dan
orang-orang pada waktu-waktu tertentu. Istana dan masjid dibangun pada tahun
1815, (Muller, 1848 : 279).
Pangeran Ratoe
Agung Kesumaningrat meninggal pada tahun
1814, dimakamkan di belakang istana kerajaan, dimana anaknya Panembahan Anom
Suryaningrat telah mendirikan tugu peringatan berupa (nisan) yang terbuat dari
batu marmer putih, (Muller, 1848 : 273).
Pintu masuk ke
ibu kota kerajaan dilindungi oleh dua benteng kiri dan kanan, sebelah kiri
dilengkapi dengan 4 meriam dan sebelah kanan 2 meriam, (Muller, 1848 : 230).
Setidaknya ada ada
4 raja simpang yang di makamkan di situs ini yaitu ; Pangeran Ratu Agung Kesuma
Ningrat, ( raja sekaligus pendiri Kerajaan Simpang pertama ), Gusti Mahmud, bergelar Panembahan
Anom Suryaningrat (Raja ke dua), Gusti Muhammad
Roem, bergelar Panembahan Kesumaningrat (Raja Ke Tiga),
dan Gusti Pandji, bergelar Panembahan Suryaningrat (Raja ke
empat).
2. Makam Gusti Mahmud
Di Teluk Melano ( Mangkubumi )
Lokasi situs ini
di Jalan Kesehatan Desa Teluk Melano, tepatnya di depan SMP 01 Simpang Hilir.
Gusti Mahmud, atau yang dikenal
panggilan Pangeran Ratu bin Gusti
Mansur, merupakan mangkubumi di Kerajaan Simpang. Beliau sempat menjabat raja
Simpang sementara, saat Panembahan Tua Gusti Room dan Gusti Mesir di tangkap,
menjadi korban fasisme Jepang di Mandor tahun 1944.
Gusti Mahmud
menjadi mangkubumi, karena putra mahkota, yaitu
Gusti Ibrahim bin Gusti
Mesir baru berusia 14 tahun dan masih
sekolah. Maka ditunjuklah Gusti Mahmud sebagai pengganti sementara
(mangkubumi), menunggu putra mahkota cukup usia. Gusti Mahmud menjalankan
pemerintahan sebagai Kepala Swapraja Simpang, sampai meninggal dunia tahun 1952.
3. Alun-alun Eks
Kerajaan Simpang di Teluk Melano
Lokasi alun-alun
Kerajaan Simpang di Teluk Melano dulu, tepat berada di lokasi pasar Teluk
Melano sekarang. Pernah beberapa kali menjadi sarana umum, mulai dari sekolah, lapangan upacara, pasar
daerah, lapangan volly dan terminal.
Saat ini, menjadi lapangan multi fungsi, tempat pedagang UMKM, sarana acara
formal dan tempat hajatan warga.
Sebelah selatan
dan timur bekas lokasi alun-alun Kerjaan
Simpang tersebut, terdapat pasar Teluk Melano dan Sungai Simpang. Sungai ini
menjadi urat nadi masyarakat Simpang, dari hilir hingga ke hulu. Mulai Desa
Teluk Melano, Rantau Panjang, Penjalaan dan Sungai Mata Mata, hingga Batu
Barat, Lubuk Batu, Matan Jaya dan seterusnya.
Sedangkan di
sebelah utara, tepatnya di seberang jalan, saat ini ada bangunan kantor Pos
Indonesia - Teluk Melano. Sebelum kantor Pos, dulu berdiri keraton Simpang,
didirikan Panembahan Gusti Roem. Menuju ke arah utara, sekitar 500 meter dari
alun-alun, terdapat makam Gusti Mahmud, Mangkubumi Kerajaan Simpang.
Di samping makam
Gusti Mahmud, dulu terdapat masjid tua bersejarah. Masjid yang dibangun pada
masa Panembahan Gusti Roem, berlanjut ke Panembahan Gusti Mesir. Namun sayang,
masjid ini sudah dirobohkan, dipindahkah ke lokasi baru, berjarak 100 meter
dari lokasi masjid semula, tepatnya di depan kantor KAU Simpang Hilir saat ini.
Kemudian,
berjarak 90 meter dari alun-alun ke arah
barat, melewati Jalan Utin Tahara, dulu berdiri rumah Panembahan Gusti Mesir.
Namun setelah Panembahan Gusti Mesir dan Panembahan Tua Gusti Roem menjadi
korban fasisme Jepang, berubah fungsi dan dibongkar. Lokasinya pernah jadi
gedung bioskop. Saat ini, bekas rumah Penembahan Gusti Mesir tersebut, menjadi
jalan penghubung ke jembatan Teluk Melano, perumahan, warung dan ruko.
Selain situs
Kerajaan Simpang di atas, masih ada peninggalan lain. Seperti makam para ulama
di masa Penembahan Gusti Roem. Misalnya makam Mufti Muhamad Zaman, terletak di
Desa Pemangkat. Makam guru Mufti Muhammad Zaman, Tuan Alim Haji Muhammad Tahir
bin Haji Muhammad Hassan di Pulau Kumbang. Tidak menutup kemungkinan, akan ada
lagi penemuan-penemuan baru di masa yang akan datang.
Penginggalan
lainnya, berupa cap kerajaan, payung, pedang, dan wayang Simpang. Wayang
Simpang masih disimpan keturunan wayang, di Desa Batu Barat. Dan masih banyak
lagi penginggalan lainnya. Sayangnya, peninggalan-peninggalan tersebut tidak
terkumpul menjadi satu. Sebab, Kerajaan Simpang sekarang belum memiliki keraton
atau museum khusus.
D. Kerajaan Sukadana Baru (New Brussel)
Tahun 1827,
terjadi perselisihan antara Sultan Matan, Gusti Asma (Sultan Muhammad
Jamaluddin) dengan Belanda. Sultan
Muhammad Jamaluddin menuntut hak atas kapal Belanda yang kandas di Pulau
Karimata. Tuntutan tersebut bukan tanpa alasan. Sebab Sultan Muhammad
Jamaluddin merasa, bahwa Karimata merupakan bagian dari vasal Kesultanan Matan.
Belanda tidak menerima tuntutan tersebut. Ketengangan pun terjadi antara sultan
dan Belanda.
Puncaknya, pemerintah Hindia Belanda mengirimkan armada perang,
yang dipimpin oleh Jenderal Du Bus bersama Mayor Akil (Raja Akil). Mayor Akil
berhasil memakzulkan Gusti Asma sebagai sultan Matan dengan kemenangan. Pemerintah
Belanda akhirnya mengangkat Raja Akil sebagai Sultan Sukadana, dengan
gelar Raja Akil Dipertuan Syah alias Sultan Abdul Jalil Syah di Brussel.
Selnajutnya, Raja Akil membangun kembali Sukadana sebagai kerajaan baru, dengan
nama ibu kotanya New Brussel. Kerajaan baru ini membawahi Kerajaan Matan dan
Simpang.
Brussel
merupakan nama kota Belgia. Pada masa itu,
Belgia bagian dari Belanda. Komisaris Jendral Du Bus melihat wilayah
Sukadana mirip seperti pelabuhan di Belgia. Maka disematkanlah nama New
Brussel, yang artinya Brussel baru. Sebab, tempatnya yang mirip dengan Brussel
di Belgia. Lidah masyarakat pribumi saat itu dan kini, lazim menyebutnya Beresol.
Tengku Akil merupakan
Sultan Sukadana baru (New Brussel/Nieuw Brussel) pertama, dengan gelar Sultan
Abdul Jalil Syah. Tengku Akil bin Tengku Musa bin Raja Buang Asmara, berasal
dari Kesultanan Siak. Pendirian
Kerajaan Sukadana baru New Brussel, merupakan satu-satunya kerajaan bercorak Melayu Riau yang ada di Kalimantan Barat. Bahkan di nusantara pada saat ini.
Gambar silsilah
tengku akil ….
Peninggalan Bersejarah Kerajaan Sukadana
Baru
Sebenarnya peninggalan bersejarah Kerajaan Sukadana Baru cukup banyak.
Ada yang belum teridentifikasi. Ada yang telah teridentifikasi, tetapi tidak
kami sajikan di dalam buku ini. Insya Allah, peninggalan lainnya akan kami
kupas dalam buku-buku selanjutnya.
Khusus terkait peninggalan Kerajaan Sukadana Baru, kami hanya menyajikan
situs-situs penting, yang telah familiar dimasyarakat. Yang lain bukan tidak
penting dan familiar. Apapun, setiap situs atau cagar budaya penting
dilestarikan. Mungkin perlu seri khusus membahas peninggalan selanjutnya.
1. Komplek
Makam Tengku Akil
Komplek makam
Tengku Akil terletak di Kampung Dalam,
Desa Sutera Kecamatan Sukadana. Tengku Akil memerintah Sukadana, bergelar Sultan Abdul Jalil Syah, bertahtah sejak
tahun 1827. Bertahtanya beliau, sekaligus menandai berdirinya kerajaan baru, yang berasal dari Siak ke Sukadana. Itu berarti beliau menggantikan trah lama, yang telah bergeser ke
Matan dan Simpang yang bergelar Gusti.
Selain Makam
Tengku Akil dan istrinya, di komplek ini
juga terdapat pemakaman kerabat raja dengan trah Tengku. Diantaranya, yaitu Tengku Yahya. Ada juga ulama
dengan trah habaib sejak abad 19 dimakamkan di sini. Trah habaib Kampung
Dalam masih ada hingga sekarang.
Di dalam cungkup makam berukuran lebar 11,10 meter panjang
13,20 dan tinggi 2,70 meter, terdapat
nisan besar makam Tengku Akil.
Ukuran
jirat makam Tengku Akil panjang 1,88 meter dan lebar 1,50 meter dan tinggi
nisan 1,40 meter. Makam istrinya jiratnya
panjang 1,90 meter, lebar 1,30 meter dan tinggi nisan 1,00 meter. Makam Tengku
Akil dan istri berbahan belian, didominasi cat warna kuning. Sampai saat ini,
komplek pemakaman ini masih aktif sebagai pemakaman kerabat kerajaan dan habaib.
Di cungkup juga terdapat makam-makam kerabat Tengku Akil
dan para ulama, dengan nisan batu andesit, kayu dan semen. Sedangkan di luar cungkup terdapat juga nisan batu andesit bertipe singapuraan, abad ke-19.
Jika di hitung nisan abad 19 ini,
terdapat 44 makam,
dan 2 makam diantaranya
memiliki inskripsi Arab Melayu.
Inskripsi
Arab Melayu yang dapat
terbaca, menerangkan seorang
perempuan yaitu: inilah menyatakan alhaj Khadijah
binti Tuan
Imam
pulang ke rahmatullah kepada bulan Syawal
tiga belas hari Jum’at
Hijri 1301. Sedangkan inskripsi
pada batu nisan laki-laki di sebelahnya sangat sulit di baca. Yang dapat terbaca hanya tahun 1321 Hijriah saja.
Di
komplek makam Tengku Akil, ditemukan banyak
fragmen keramik, genteng dan gerabah lintas peradaban yang berserakan. Hal ini
dapat dilihat dari beberapa fragmen jenis keramik, dengan corak dan gaya yang berbeda. Seperti corak Dinasti Ming,
Sung dan Eropa. Temuan
genteng, dengan corak majapahitan.
Serta fragmen bata merah, yang tinggal serpihan-serpihan kecil saja.
Jika
dilihat dari tata letaknya, komplek makam Tengku Akil
ini tidak jauh dari Sungai Macan, yaitu anak Sungai
Sukadana.
Sungai ini masuk cabang kiri Sungai Sukadana. Sekitar 40 meter ke daratan yang agak tinggi (pematang), yang saat ini
menjadi
komplek makam Tengku Akil. Dugaan, pematang
tersebut sebelum dijadikan pemakaman, merupakan pemukiman peradaban sebelumnya. Dugaan ini dikuatkan dengan ditemukannya banyak fragmen di sekitar makam.
2.
Eks Tangsi Militer Belanda
Komplek Tangsi Militer Belanda ini secara
administratif terletak di Dusun Tanah Merah, Desa Sutera Kecamatan Sukadana Kabupaten
Kayong Utara. Komplek Tangsi ini berada
di Jalan Tanah Merah, berdampingan dengan Kantor PLN Rayon
Sukadana.
Bangunan yang berada di Komplek Tangsi
Militer Belanda ini, terdiri dari rumah pimpinan, barak, penjara/rumah tahanan. Serta kelengkapan
lain, seperti dapur, kamar mandi, dan WC.
Pembangunan komplek Tangsi Militer Belanda ini, tidak terlepas
dari hadirnya kembali Pemerintah Hidia Belanda ke Sukadana, setelah 1786
bersama Pontianak melakukan serangan ke Sukadana. Namun tidak berhasil menguasai Kesultanan Matan
secara utuh. Maka upaya penaklukan Kesultanan Matan dan Kerajaan Simpang, dilakukan sejak
1822 hingga 1829.
Pemerintah Hindia Belanda menunjuk Tengku
Akil sebagai Sultan di New Brussel, sebagai pengganti nama Sukadana. Tengku Akil kemudian
diangkat sebagai Sultan, dengan gelar Abdul Jalil Yang Dipertuansyah, membawahi Matan dan Simpang. Sebelumnya sudah mendapatkan gelar Mayor, membawahi Matan dan Simpang pula.
Tanggal 10 Maret 1831, dilaksanakan pertemuan di Batavia, antara
Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Sukadana.
Pertemuan tersebut untuk membuat kontrak perjanjian, yang kemudian diratifikasi pada 12 Maret 1831.
Diantara isi perjanjian tersebut memuat, bahwa Pemerintah Hindia Belanda akan
menempatkan seorang Letnan Gubernur Sipil, sebagai seorang Asissten Residen di
Afdeling Sukadana. Serta menempatkan 1 detasemen militer, terdiri dari 1 Sersan Kepala, 2 Kopral dan
16 Anggota, dan akan dibangun Tangsi Militer dengan biaya 1.600 Gulden.
3.
Eks Gudang Garam
Bangunan eks (bekas) gudang garam ini, dibangunan pada
masa kolonial Belanda.
Bangunan ini terlihat kokoh, karena menggunakan belian dengan ukuran besar.
Pondasinya (tongkat) terbuat dari beton dan bentuknya menyerupai limas/kerucut,
dengan ketinggian 1 meter dari permukaan tanah. Ukura keliling beton, di
pangkal tanah 70 cm, sedangkan bagian atas 35 cm. Jarak tongkat, antar barisan
1,45 meter, dalam barisan 1,85 meter. Jadi jumlah tongkatnya, 5 x 9 baris yaitu
45 tongkat.
Kondisi bangunan saat ini sangat
memprihatinkan. Sebagian rasuk berat dan bantal kepnya sudah dipotong warga.
Sedangkan gelegar, kasau sudah tidak ada lagi. Posisi bangunan sudah condong,
tiggal menggu tumbang saja.
Menurut J.P.J. Barth (penulis Belanda),
Sultan Abdul Jalil Syah (Tengku Akil), pernah diijinkan Tuan Resident,
mengambil keuntungan 45 koyan dari
penjualan garam. Keuntungan tersebut untuk membayar 16 orang pegawai polisi.
Artinya, bangunan tersebut ada hubungannya dengan perdagangan garam di Kerajaan
Sukadana, era Tengku Akil.
Pelajaran yang bisa kita petik dari
peninggalan Belanda, desain dan kekuatan bangunannya luar biasa. Pemicu
rusaknya saat ini, berawal dari atap yang bocor dibiarkan. Lama-kelamaan
menyebabkan kayu kelas 1 dan 2 rusak karena hujan panas, berlanjut ke pelapukan
struktur lainnya. Ditambah lagi kerana campur tangan manusia yang tidak
bertanggung jawab. Kita menganggap bangunan tersebut tidak penting. Sehingga
dibiarkan selama puluhan tahun tanpa upaya penyelamatan.
4. Makam
Tengku Abdul Hamid
Objek yang diduga cagar
budaya ini, yaitu makam Tengku Abdul Hamid. Terletak di Dusun
Simpang Empat, Desa Pangkalan Buton Kecamatan Sukadana. Panembahan Tengku
Abdul Hamid alias Pangeran Bendahara, merupakan waris ke-5 pada pemerintahan Sukadana Baru (New Brussel). Beliau memerintah dari
tahun 1910 – 1939.
Beliau keturunan Tengku Akil, yang merupakan
pendiri kerajaan Sukadana Baru. Disebut Sukadana Baru, sebab
sebelunya merupakan trah dari kerajaan
Tanjungpura era Sukadana, sebelum berpindah ke Matan. Nasabnya, Tengku Abdul Hamid bin Tengku
Putra bin Tengku Besar Anom bin Tengku Akil bin Tengku Musa.
Panembahan
Tengku Abdul Hamid, meninggal pada tahun 1939, dengan
meninggalkan 4 istri dan 12 orang keturunan. Tampuk kepemimpinan selanjutnya
dilanjutkan oleh salah satu anaknya, yaitu Tengku Moehammad.
Makam Tengku Abdul
Hamid ini terletak di tanah lebar 16,60 meter dan panjang sisi kanan 15,60 meter dan sisi kiri 17,60 meter. Kondisi makam
ada cungkup, dengan panjang 8,34 meter dan lebar 4,60 meter. Bahan cungkup
menggunakan kayu belian, kayu
kelas 1, dan kombinasi semen. Atapnya sirap. Nisan terbuat dari kayu belian.
Di sebelah makam
Tengku Abdil Hamid, terdapat makam Tengku Moehammad, yaitu raja terakhir
setelahnya. Selain itu, terdapat makam-makam lain yang
merupakan kerabatnya.
5. Bekas
Kantor Wedana Sukadana
Bekas kantor wedana, merupakan bangunan tua yang terletak di di Dusun Tanah Merah
Desa Sutera, Kecamatan Sukadana Kabupaten Kayong Utara. Berada tidak jauh dari Tangsi Militer
Belanda, dibatasi Jalan Tanah Merah.
Bangunan bersejarah ini berhuubungan dengan
komplek Tangsi Militer Belanda. Bahwa wilayah ini dulu menjadi kawasan pemukiman petugas sipil dan militer Belanda. Sebetulnya, ada beberapa
bangunan lain yang kami duga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari komplek
pemukiman Belanda di sini, namun belum teridentifikasi.
Belum terdapat keterangan kapan tepatnya bangunan
ini didirikan. Yang pasti, bangunan ini mempunyai sejarah yang
sama dengan komplek Tangsi Militer Belanda. Pendirian bangunan ini untuk kebutuhan tempat tinggal Asisten Residen di Afdeling Sukadana.
Penempatan seorang Letnan Gubernur Sipil
sebagai Asisten Residen, adalah bagian isi perjanjian
antara Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuanshah dengan Pemerintah Hindia Belanda, di Batavia
tanggal 12 Maret 1831. Karena sulitnya mencari petugas untuk posisi ini, baru
pada tanggal 11 Mei 1834 ada petugasnya. Yaitu, Von de wall, bertugas di sini sebagai
Asisten Residen.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian memindahkan
Afdeling, dari Sukadana ke Ketapang tahun
1936. Sukadana menjadi Onder Afedling, yang membawahi Distrik Sukadana, Simpang
Hilir dan Simpang Hulu. Perubahan ini mengakibatkan kepimpinan di
Sukadana menjadi wedana.
Selanjutnya, bangunan tersebut digunakan sebagai tempat
berdiam dan berkantor wedana Sukadana. Pada tanggal 25 Oktober
1963, secara resmi kewedanaan dihapuskan oleh Pemerintah RI. Bangunan ini
berubah fungsi menjadi Kantor Penghubung Bupati Ketapang.
6. Sekolah
Dasar Zaman Belanda
Menurut riwayat/cerita orang-orang tua, SDN
ini di bangun Belanda tahun 1928. Sejak di bangun, bangunan ini memang
berfungsi untuk sekolah dasar hingga sekarang. Ini bagian dari kebijakan
politik balas budi (politik etis) Belanda ke bangsa Indonesia. SDN 01 Sukadana ini telah banyak melahirkan orang-rang penting dan ternama. Termasuk Oesman
Sapta Odang (OSO) dan Drs. Chornelis, S.H., M.H., matan Gubernur Kalbar, pernah sekolah di SD tersebut.
Bahan utama bangunannya kayu belian dan kayu kelas 1. Mulai dari tongkat, tiang, gelegar dan
lantai belian. Sedangkan bangunan bagian atas seperti kasau, ring dan lainnya
kayu kelas 1. Dulu atapnya sirap (belian), sekarang atapnya seng metal.
Lebar bangunan utama termasuk teras
keliling, yaitu panjang 33,35 meter dan lebar 9,30 meter. Ruang kelas terdiri dari 4
ruang, dengan ukuran bervariasi. Untuk memudahkan mengidentifikasi, setiap
ruang kami beri kode ruang A, B, C, D dan E. Lingkaran teras keliling (ruang A)
lebar dari sisi tepi ke bangunan utama 1,52 meter keliling. Ruang B ukuran 9,20
x 6,35 meter. Ruang C ukuran 7,78 x 6,35 meter. Ruang D ukuran 7,78 x 6,35 meter, dan ukuran ruang E 7,78 x 6,35 meter. Antara ruang B dan C ada losan atau bisa di buka. Tampaknya, ini sengaja di
desain, untuk ruang pertemuan.
Tinggi bangunan 3,31 meter. Sedangkan
tinggi tongkat sekarang sisa 1,10 meter. Tinggi tongkat dulu sekitar 1,60 – 2
meter. Menjadi rendah, karena ada penimbunan halaman. Dulu di bawah/kolong
sekolah bisa memakir sepeda dan sepeda motor, sekarang tidak bisa lagi.
Sisi bangunan lain yang berubah, yaitu
flavon. Dulu desain flavonnya langsung nempel di kasau. Desain ini dirancang
agar tidak panas, apa lagi sekeliling ruangan tersedia pentelasi yang tingginya, lebih dari 1
meter. Sehingga angin bebas keluar masuk, tak perlu kipas angin. Sekarang flavonnya di desain datar.
SDN ini di apit 2 jalan utama, jalan Kota
Karang dan jalan Kampung Laut. Jarak dari jalan Kota Karang 11,40 meter. Jarak
dari jalan Kampung Laut 10,50 meter.
7.
Rumah Tengku Moehamad
Rumah yang dimaksud, yaitu
rumah pribadi Tengku Moehammad bin
Tengku Abdul Hamid bin Tengku Putra bin Tengku Besar Anom bin Tengku Akil bin
Tengku Musa. Menurut Tengku Syarifudin, rumah tersebut dibangun pada tahun 1949. Tukang bangunan bernama Naim.
Bentuk bangunan limas Melayu. Jika dilihat
dari atas, bentuk bangunan seperti plus (+). Saat ini ada tambahan bangunan sekitar
5,50 meter di bagian belakang. Di bagian belakang tersebut, sebagai tempat
tinggal sekarang. Karena bangunan utama (depan) tidak layak dihuni lagi.
Bahan utama bangunan rumah Tengku Moehammad, kayu belian dan
kayu kelas 1. Tiang dan tongkat kayu belian. Tiang masih menggunakan
tiang langsung dari tanah. Lantai dan dinding papan kelas 1. Kondisi dinding
mulai keropos dimakan usia. Atap sirap (belian), di bagian tertentu tampak
bocor.
Peninggalan-peninggalan yang masih ada di
rumah tersebut, yaitu:
1)
Lemari 3 buah, di beli dari Jawa
tahun 1927
2)
Satu buah puadai, orname terbuat dari kayu untuk dekorasi perkawinan
3)
Satu buah lanjang (lunas) atau bakal sampan terbuat dari kayu belian,
panjang sekitar 6 meter. Ditemukan sekitar tahun 1980 di dalam parit samping
rumah Tengku Meohammad. Umurnya lanjang tersebut diperkirakan lebih dari 50 tahun.
8. Baik
Air Zaman Belanda
Situs bak air ini ada di
Jalan Tanah Merah, samping Kantor Bupati Kayong UtaraDam air ini kokoh dan
antik. Kekuatannya tak diragukan lagi. Cerita warga setempat, bangunan ini
dibangunan Belanda. Tahun pembangunannya, kemungkinan tak terlalu jauh degan
pembangunan Tangsi Militer, Gudang Garam, Kolam dan Pabrik Garam yang ada.
Ketuaan bangunannya pun nampak. Menariknya, dam ini masih berfungsi sebagai
sumber air bersih warga sekitar.
Bentuk bangunan persegi panjang, mirip
bentuk baterai jika dilihat dari atas. Bangunan ini menutupi aliran air
berbatuan, dengan panjang bangunan utama 10,30 meter, lebar 4,46 meter. Di
bagian depan bangunan menjorok sedikit, dengan ukuran 1 x 1,41 meter, yang
berfungsi sebagai pintu
dan pembuang, sekaligus di bagian bawahnya sebagai tempat paralon air.
Pada desain bangunan yang berukuran 1 x 1,41
meter tersebut, di
dalamnya terdapat pintu klip lebar 71 cm dan tinggi 59 cm. Pintu ini terbuat
darti besi plat yang masih asli, plus dengan engselnya.
Di bawah pintu klip terdapat pipa besi, masih aslinya berukuran sekitar 2,5
inc, tapi tidak berfungsi lagi. Kemudian
di bagian samping kanan bangunan ini terdapat pintu setinggi 1,25 meter dan
lebar 80 cm. Pintu ini berfungsi sebagai pintu kontrol. Sayang pintu besinya
sudah tidak ada lagi.
Keunikan lain dari bangunan dam ini, dak sengaja dilebihkan dari
dinding dam sekitar 20 cm. Di sekeliling dak di bagian bawahnya, terdapat
cekungan yang didesain rapi. Jika
dicermati, ternyata
cekungan tersebut berfungsi agar air hujan tidak mengalir ke dinding. Sehingga
tidak menyebabkan lumut pada dinding.
Dam ini sengaja ditutupi dak setebal 15 cm,
tujuannnya, agar kondisi air tetap besih dari sampah. Sehingga air yang keluar
ke paralon benar-benar bersih.
Untuk memanfaatkan air bersih dari dam ini, warga setempat membuat
bangunan baru di depan dam tersebut. Di buat seperti talang sepanjang sekitar 3
meter, untuk meletakan paralon baru ukuran 4 inc. Karena besi
paralon bangunan Belanda tersebut sudah tidak berfungsi lagi. Bangunan ini tidak merusak komponen
bangunan yang ada, hanya menyambung dari saluran pembuang dari klip air.
9.
Eks Pagbrik Garam dan Kolam
Belanda
Situs ini berada di barat daya kawasan
Pantai Pulau Datok Sukadana, tidak jauh dari pelabuhan Cik Kadir Sukadana.
Termasuk dalam wilayah Dusun Tanah Merah Desa Sutera Kecamatan Sukadana
Kabupaten Kayong Utara. Letak astronomisnya 1°15’36,11” Lintang Selatan serta
109°57’03,52” Bujur Timur.
Disitus ini terdapat beberapa objek yang
sepertinya mempunyai hubungan satu sama lain. Ada sebuah kolam berukuran 28 x 17 dan terdapat strukur susunan bata merah yang direkat
dengan semen membentuk pola-pola tertentu. Struktur susunan bata merah tersebut
sebagian besar sudah tidak utuh lagi, terbongkar dan hilang.
Pola susuanan bata merah tersebut
membentuk struktur memanjang dengan lebar rata rata 2 sampai 3 meter
dan ketinggian 1 hingga dua meter. Pada kawasan ini telah berdiri
bangunan baru dan instalasi tangki air untuk keperluan masa kini.
Hampir
tidak ditemukan catatan tentang situs ini. Baik itu tentang waktu dibangun dan
untuk apa dibangun. Kecuali dari keterangan warga yang mendapatkan cerita dari
orang tua mereka, bahwa situs tersebut adalah sebuah pabrik garam zaman
Belanda. Kemudian dari warga yang sempat menyaksikan sendiri keadaan situs ini
dimasa lalu didapat penjelasan, bahwa mereka pernah melihat tumpukan besi yang
diperkirakan mesin dan peralatan besi yang diperkirakan sebagai bagian dari
pabrik garam.
Hal yang
bisa dikaitkan dengan Pabrik Garam ini adalah bahwa pada era 1800 an, garam
adalah komoditi yang penting dan mempunyai nilai jual yang tinggi. Bahkan dalam
perjanjian antara Sultan Sukadana dengan Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal
24 April 1837 bertempat di Pontianak, isinya antara lain menyebutkan untuk
menjamin Pemerintahan Kesultanan Sukadana yang harus mempunyai kecukupan modal
sebesar 7.000 gulden pertahun, Pemerintah Hindia Belanda memasok garam seharga
5.040 gulden sebagai tambahan modal. Dengan catatan Kesultanan tidak boleh
menjual dibawah harga Pemerintah Hindia Belanda.
Melihat
pentingnya komoditi garam waktu itu untuk mencukupi kebutuhan garam diwilayah
Sukadana, Simpang dan Matan, tidak menutup kemungkinan Pemerintah Hindia
Belanda harus membangun pabrik garam di Sukadana, sehingga tidak lagi
mendatangkan garam dari Jawa.
9.
Makam Mak Timbang
Pada situs makam ini
terdapat keterangan di plang nama “Makam Ratu
Soraya”, terletak Dusun Tambak Rawang Desa Gunung Sembilan, Sukadana.
Jika dilihat dari catatan buku tamu,
para peziarah yang sering berkunjung ada yang berasal dari negara Brunei dan luar Pulau Kalimantan.
Ukuran yang merupakan bagian dari makam ini, mmeiliki panjang 1,90 meter dan lebar 80 cm. Yaitu merupakan ruang yang disisakan
sebagai tempat nisan, tidak di semen atau dipasang keramik. Lebar
cungkup 6 x 6 meter dengan tinggi 2,93
meter. Nisan berbahan batu andesit, tipe Singapura abad ke-19. Tinggi nisan 65 cm dan lebar 20 cm.
Mengenai keberadaan makam Ratu Soraya, terjadi kesalahan penamaan. Berdasarkan
beberapa kajian mengenai keberadaan makamnya, masih belum final. Belum mendapat titik
terang dimana sesungguhnya Ratu Soraya dimakamkan.
Dari sisi arkeologis pun, keberadaan makam Ratu Soraya di
Tambak Rawangini masih diragukan. Sebab, berdasarkan dari hasil pengamatan dan perabaan, pada batu
nisan yang ada di makam tersebut, merupakan nisan bertipe Singapura. Tipe singapura ini dipakai pada abad 19 M.
Sedangkan dari sisi kesejarahan, Ratu Soraya hidup pada abad ke -17 M, dimasa raja Panembahan Sorgi (Sultan Muhammad Tajudin), yang merupakan ayahandanya. Kemudian dilanjutkan oleh Ratu Mas Jaintan dan Giri Mustika (Sultan Muhammad Tsafiuddin), yang meninggal tahun 1677 M.
Menurut
tokoh pemerhati sejarah setempat, yaitu Imam Norman, dahulunya makam tersebut sering disebut sebagai
makam “Mak Timbang”. Setelah
rombongan Brunei pulang, penyebutan warga berubah jadi makam Ratu Soraya.
Padahal penelitian dari rombongan Brunei yang datang tersebut tidak menyimpulkan diamana keberadaan makam Ratu Soraya. Tetapi setelah kepulangan rombongan brunei mulai menyebar rumor, bahwa makam
di atas Bukit tersebut, adalah makam Ratu Soraya.
Hingga saat
ini, belum ada argumentasi yang kuat mengenai
makam yang diduga Ratu Soraya tersebut. Jika Dugaan kuatnya adalah makam Ratu
Soraya, paling tidak ada sumber primer yang bisa memberikan alasan.
Hingga saat ini, satu-satunya
yang bisa menjadi penanda, yaitu tradisi memakamkan
seseorang di atas bukit, pada masa itu bukanlah orang biasa. Namun jika
melihat dari batu nisan padat, yang
eranya sudah berselisih jauh, maka sangat diragukan jika nisan itu sudah ada sejak abad ke- 17 M. Berdasarakan
identifikasi Haji Syarifudin bersama
masyarakat Tambak Rawang tahun 2008, makam yang disebut Ratu Soraya saat ini, ditemukan pertama kali belum memiliki deskripsi. Dalam
keterangan foto dokumentasi pribadi Syarifudin saat itu tertulis, “makam
tanpa nama di Gunung Bukit Laut Tambak Rawang”.
E. Penguasa dan Kerajaan di Karimata
Nama Pulau
Karimata sudah ada sejak zaman dulu. Menurut tradisi tutur yang berkembang di
masyarakat, nama Karimata berasal dari
penyebutan pendatang yang mencari permata. Lama-kelamaan kata pulau “cari permata”, bergeser menjadi Karimata.
Dalam peta kuno
1596 Masehi, dibuat kartografer asal Prancis, yaitu Petrus Plancius, dengan
jelas menggambarkan peta Borneo. Dia memberi penanda nama Pulau Karimata kala
itu, dengan sebutan “Crimata”.
Sementara itu,
jejak peradaban di Pulau Karimata sudah tercatat pada masa awal Kerajaan
Tanjungpura, abad ke-13 Masehi. Sebagaimana tertulis dalam manuskrip
peninggalan Kerajaan Sukadana Baru (New Brussel). Manuskrip tersebut ditulis
Tengku Said, sebagai Juru Tulis Kerajaan. Tengku Said menuliskan tentang
sejarah Kerajaan Sukadana, Matan, Simpang dan Karimata. Tulisan beliau ditulis
ulang dan dilengkapi oleh H. Von de wall
dalam catatanya tahun 1835.
Dalam manuskrip
tersebut disebutkan tentang asal usul masyarakat Pulau Karimata. Bermula pada
masa Prabu Jaya sebagai raja Tanjungpura kedua. Prabu Jaya memiliki seorang
permaisuri dan selir.
Pernikahannya
dengan permaisuri melahirkan raja Baparung, yang menjadi penerus Kerjaan
Tanjungpura, mewariskan suku Kaum dan Priyayi. Sedangkan dari selir memiliki
dua orang anak, yaitu Baputie Soewarsa, yang melahirkan suku Mambal. Suku
Mambal berdiam di bukit, sehingga kemudian disebut suku Bukit. Sedangkan adiknya, Demang Mangarang, yang
menurunkan suku Siring dan Mengkalang. Suku Siring dan Mengkalang mendiami
wilayah pantai seperti Pulau Karimata, Penebang, Pelapis, Padang tikar, Bumbun
dan sekitarnya.
Selanjutnya,
keturunan Demang Mangarang melahirkan suku Siring dan Mengkalang tersebut,
lebih dikenal dengan panggilan orang Mayak. Karena mereka menamai pulau yang
mereka diami dengan nama Pulau Maya.
Saat ini menjadi nama Kecamatan Pulau Maya, bagian wilayah Kabupaten Kayong
Utara.
Pulau Karimata
masa lalu, merupakan tempat yang strategis. Pulau ini menjadi tempat aktivitas
dan persinggahan pelayar dan tersohor. Bahkan menjadi sarang para kelompok
Lanun, atau yang dikenal Bajak Laut. Tercatat kelompok-kelompok bajak laut
pernah bermarkas di Pulau Karimata dan sekitarnya. Bahkan diantara
kelompok-kelompok lanun tersebut, tak segan-segan mengganggu suku Siring sebagai penduduk asli
Karimata.
Sekitar 1765,
Tengku Bungsu dari Siak datang ke Pulau Karimata. Beliau datang bersama pasukan
laut yang dipimpin oleh Bathin Galang, berasal dari Lingga Kepulauan Riau. Pada
masa itu, Lingga merupakan bagian dari Kesultanan Malaka.
Rombongan Tengku
Bungsu dan pasukan laut yang dipimpin Bathin Galang, berhasil mengusir kelompok
bajak laut yang sangat menganggung di Pulau Karimata. Selanjutnya, Bathin
Galang menjadi penguasa di Karimata.
Sedangkan Tengku Bungsu, bersama para pengikutnya menaklukan Kendawangan atau
Tanjung Sambar. Kala itu, Tanjung Sambar masih teritorial Kesultanan Matan, dibawah
kepemimpinan Indralaya atau Sultan Ahmad Kamaluddin (1762 - 1790). Beliau
adalah ayah dari Gusti Asma / Sultan Muhammad Jamaluddin.
Dalam
ekpedisinya, Tengku Bungsu meninggal. Beliau kemudian diberi gelar Merhum
Mangkat Dimangkoe oleh pengikutnya. Selanjutnya, penguasaan Bathin Galang atas
Pulau Karimata, tunduk di bawah kekuasaan Sultan Ahmad Kamaluddin, penguasa
Kesultanan Matan yang beribu kota di Sukadana ketika itu.
Hubungan Bathin
Galang dengan Kesultanan Matan berlangsung baik pada masa kepemimpinan Indralaya
atau Sultan Ahmad Kamaluddin (1762 - 1790). Hal ini dibuktikan dengan
pengiriman upeti secara berkala kepada Kesultanan Matan.
Namun pada masa
Gusti Asma / Sultan Muhammad Jamaluddin, Karimata menyatakan lepas dari vasal Kesultanan Matan, dan bergabung
dengan Pemerintah Hindia Belanda, tepatnya pada tanggal 23 November 1822.
Akibat peristiwa
tersebut, hubungan Bathin Galang menjadi memburuk dengan Kesultanan Matan.
Akhirnya, pada Desember tahun 1827, sebanyak 22 perahu bersenjatan, Kesultanan
Matan menyerang Pulau Karimata. Bathin Galang
terbunuh dalam pertempuran tersebut. Melihat hal itu, Pemerintah Hindia
Belanda mengirim pasukan yang dipimpin seorang Kapten laut, Dibbetz bersama
Tengku Akil untuk menyerang Kesultanan Matan.
Setelah peperangan
yang berlangsung selama beberapa hari akhirnya pasukan Belanda yang dipimpin
oleh Kapten laut Dibbetz dan Tengku Akil berhasil memenangkannya. Atas
kemenangan tersebut, Tengku Akil kemudian menjadi raja Sukadana baru (New Brussel) sedangkan Tengku
Dja`far, adik Tengku Akil ditetapkan Pemerintah Hindia Belanda menjadi penguasa
baru di Pulau Karimata. Tengku Dja’far membangun pemukiman lama di Sungai
Palembang. Karimata sebagai tempat permukiman
ini berlanjut hingga sekarang.
Perjalanan
sejarah yang berlangsung ratusan tahun tersebut, dapat menjadi petunjuk untuk
mengidentifikasi penduduk Karimata. Penduduk yang terdari dari beberapa etnis.
Yaitu, suku Siring dan Bengkalang, merupakan keturunan Demang Mangarang, anak
kedua Prabu Jaya (raja Tanjungpura) dari istri penduduk lokal.
Selain itu,
penduduk Karimata juga berasal dari keturunan para suku Irlanun, sebagai
penguasa perairan Karimata. Irlanun berasal dari Sulu, atau Filipina saat ini.
Ada juga keturunan Bathin Galang, yang berasal Kerajaan Lingga. Keturunan
Tengku yang berasal dari kerajaan Siak. Serta pendatang lain yang berasal dari
pulau sekitar seperti: Pulau Belitung, Bugis, bahkan Cina dan sebagainya.
0 Komentar