MANDI SAFAR MELAYU SIMPANG MATAN

 

MANDI SAFAR MELAYU SIMPANG MATAN

Penulis: Miftahul Huda  


Mandi Safar di masyarakat Melayu Simpang Matan adalah suatu upaya atau laku spiritual untuk memohon kepada Allah SWT, sebagai Tuhan sang pencipta alam agar dijauhkan dari balak dan bencana, sekaligus memperingati peristiwa sejarah kepergian Oppu Daeng Manambon dan Putri Kesumba dari kerjaan Matan ke kerajaan Mempawah pada abad ke 17 silam.

Ritual rutin yang diselenggarakan setiap hari rabu terakhir bulan Shafar tersebut dihadiri dan diikuti oleh ratusan bahkan ribuan warga masyarakat ; laki-laki maupun perempuan, orang tua maupun orang muda yang datang dari berbagai daerah yang ada di wilayah Kecamatan Simpang Hilir Kabupaten Kayong Utara Kalimantan Barat.

Tradisi Mandi Safar yang sudah turun temurun sejak ratusan tahun silam. bagi masyarakat tanah simpang, ritual ini memiliki sebuah arti penting, selain sebagai ritual memohon keselamatan dan terhindar dari balak dan bencana, atau dengan kata lain membuang sial, juga sebagai upaya mengenang peristiwa sejarah dimasa lampau.

Sejarah Mandi Safar

Secara historis tidak begitu jelas kapan tanggal dan tahun mulainya Mandi Safar ini dimulai pertama kali. Namun berdasarkan beberapa pendekatan budaya dan tradisi turun temurun di masyarakat, dapat diperoleh informasi mengenai ritual Mandi Safar ini, erat kaitannya dengan kepergian Oppu Daeng Manambun, dari kerajaan Matan ke Kerajaan Mempawah di masa Sultan Muhammad Zainuddin, yang pernah memerintah Kerjaan Matan dari Tahun 1677 hingga 1728 Masehi.

Kerajaan atau Kesultanan Matan tua yang dimaksud disini, adalah kerajaan yang pernah wujud pada abad ke 16 - hingga 18 masehi, dengan pusat ibu kota yang berpindah pindah, dari mulai di Sungai Matan, kemudian Indra laya (Sandai) lalu terakhir di desa Tanjungpura pada tahun 1829 Masehi. (G Muller 1823)

Kesultanan Matan sendiri merupakan induk dari beberapa kerajaan di Kalimantan Barat termasuk Kerajaan Simpang Matan yang merupakan turunan dari Kesultanan Matan, dimana cucu dari Sultan Zainuddin yakni Pangeran Ratu Agung Kesuma Ningrat dihadiahi sebuah daerah baru di sebelah utara ibu kota Matan saat itu. Tepatnya di percabangan sungai, antara sungai Matan yang mengarah ke Selatan, kemudian Sungai Sidiau (saat ini sungai lubuk batu) yang mengarah ke timur dan sungai Simpang yang mengarah ke Barat. Di percabangan inilah pangeran Ratu Agung Kesumaningrat mendirikan kerjaan dengan nama Simpang Matan (G Muller 1823 ).

Dengan demikian budaya masyarakat di Kesultanan Matan dengan Kerajaan Simpang Matan pada masa itu adalah sama. Sebab mereka merupakan satu garis keturunan yang berakar dari induk yang sama. Maka beberapa kebiasaan, adat dan budaya tetap dibawa oleh Pangeran Ratu Agung Kesumaningrat, meskipun ia telah mendirikan sebuah kerajaan baru.

Seperti yang dikisahkan dalam sebuah manuskrip kuno yang ditulis oleh Raja Ali Haji pada tahun 1862 masehi yang berjudul Silsilah Raja Raja Melayu Dan Bugis. dalam kitab tersebut Raja Ali Haji mengisahkan tentang perselisihan di kerajaan Matan, yang  berujung dengan peperangan antara Sultan Zainudin dan saudaranya yang diasaskan pada perebutan tahta.

Pada masa itu Oppu Daeng Manambon bersama empat bersaudara membantu memulihkan tahta Kesultanan matan dan berhasil dengan kemenangan yang gemilang. Maka atas jasa Oppu Daeng Manambon diberilah ia penghargaan dan gelar dengan nama Raden Mas Surya negara, serta dinikahkan dengan Putri Kesumba yang merupakan Anak dari pasangan Sultan Muhammad Zainuddin dengan Utin indrawati. Sementara Utin Indrawati sendiri adalah putri dari Ratu Senggaok raja dari kerajaan Mempawah yang masih bercorak Hindu.

Setelah pernikahan Oppu Daeng Manambun dan Putri Kesumba menetaplah mereka di Matan. karena kebijaksanaan dan keluasan ilmunya, Oppu Daeng Manambon sering dimintai pendapat oleh raja dalam suatu perkara, baik yang berurusan dengan pemerintah maupun masyarakat.

Selain itu ia juga dekat dengan Sayyid Qubra atau Tuanku Janggut Merah, yakni ulama yang saat itu menjadi kadi/ qadhi, yaitu hakim agama tertinggi di kesultanan Matan. Setelah Sayyid Qubra meninggal maka posisinya sebagai Kadi kerajaan, digantikan oleh sahabatnya yang datang dari Hadramaut, yakni Habib Husein Al Qadri yang kelak menikah dengan Utin Kabanat cucu dari Sultan Zainuddin, dan kelak memliki putra bernama Syarif Abdul Rahman dan menjadi pendiri kesultanan pontianak.

Oppu Daeng manambun juga sangat dekat dengan ulama pengganti Syarif Hasyim bin yahya, yakni Habib Husein Alqadrie. maka wajar saat Oppu Daeng Manambon menjadi penguasa di Mempawah kemudian juga memboyong Habib Husein Alqadrie ketika terjadi perselisihan di dalam istana Matan.


Setelah sekian lama Oppu Daeng Manambon dan Putri Kesumba berdiam di Matan, tiba tiba tersiar kabar jika kakek dari istrinya, yakni Ratu Senggaok kerajaan Mempawah meninggal dunia. Setelah hari berkabung usai maka berundinglah keluarga kerjaan antara Matan dan Mempawah. karena Ratu senggaok semasa hidupnya sangat menyayangi Putri Kesumba, dan kebetulan ia tidak memiliki pewaris laki laki, maka tahta diwariskan pada Putri Kesumba yang saat itu sudah menjadi suami dari Oppu Daeng Manambon.

Karena hasil kesepakatan telah tercapai, maka Putri Kesumba mau tidak mau bersama Oppu Daeng Manambon harus memboyong keluarganya ke negeri Mempawah. Karena jasa yang dikenang baik oleh masyarakat negeri, rasanya cukup berat melepas kepergian Oppu Daeng Manambon dan Putri Kesumba. Maka berdasarkan perundingan majelis adat kerajaan Matan, sepakatlah mereka akan menggelar acara besar besaran guna melepas kepergian Oppu Daeng Manambon ke kerajaan Mempawah, bertepatan dengan momentum bulan safar yang pada masa itu sudah dilakukan ritual do`a tolak balak pada setiap tahunnya.

Namun mulai saat itu bulan safar bukan hanya momentum do`a tolak balak biasa, namun sekaligus mengenang kepergian Oppu Daeng Manambon yang pernah berjasa atas eksistensi kerajaan Matan di masa Sultan Muhamamd Zainuddin. Maka singkat cerita dibuatlah acara Mandi Safar dengan sangat meriah guna mengiringi kepergian Oppu Daeng Manambon bersama Ratu Kesumba untuk memimpin kerjaan baru di Mempawah.

Maka sejak sejak itu tradisi Mandi Safar memiliki dua makna yakni sebagai bentuk do`a serta mengenang kembali peristiwa bersejarah di kerajaan Matan, yang kemudian terus dibawakan hingga saat ini.

Di Mempawah sendiri, tradisi di hari dan bulan yang sama ini disebut sebagai tradisi Mandi Robok Robok,  yang juga memiliki arti penting bagi mereka sebagai wujud doa tolak balak, sekaligus kegembiraan menyambut kedatangan Oppu Daeng Manambon serta Putri Kesumba dari kerajaan matan saat itu.

Melewati pendekatan budaya, dapat diambil kesimpulan bahwa antara kerajaan Mempawah dan Kerajaan simpang matan memiliki hubungan yang erat. Leluhur kerjaan simpang saat itu mengantar dengan dimeriahkan acara Mandi Safar, serta di Mempawah disambut dengan kemeriahan acara mandi robok robok.

 


Perkawinan anatar Budaya dan Agama dalam Acara Mandi Safar

Jika ditelisik secara seksama dan mempelajari bagaimana asal usulnya, Mandi Safar di Masyarakat simpang ini,  lahir dari sebuah praktik praktik ritual adat yang dikolaborasikan dengan ajaran Agama Islam. hal ini nyata tercermin dari beberapa aspek diantaranya; pemimpin ritual yang terdiri dari dari beberapa orang tokoh adat yang kerap disebut sebagai Dukun Kampung yang berkolaborasi dengan pemuka agama, yang kerap disebut ustad ataupun kiai atau pak imam.

Dari aspek ini terlihat bagaimana pemimpin agama dan pemimpin adat saling bekerja sama dan saling mengisi, hal ini disebabkan karena sebuah prinsip yang saling meneguhkan yakni adat bersendikan syariat dan syariat bersendikan kitabullah. selain itu dari sisi sejarah tentang perkembangan Islam di Kesultanan Matan juga tidak dapat kita nafikkan, bagaimana para ulama seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa mereka memiliki peran yang penting dalam menjaga tatanan di kerajaan.

Dua tokoh ulama kesultanan Matan abad ke 17 yakni Syarif Hasyim Bin Yahya atau Sayyid Kubro dan sahabatnya yakni Habib Husein Alqadri tentu juga memiliki peran yang penting dalam mewarnai pentas dakwah, di masyarakat akar rumput kerajaan Matan, yang pada masa itu masih sangat awam tentang ajaran Islam. ke dua tokoh ini berdasarkan tradisi tutur yang berkembang di masyarakat kerap di gambarkan memiliki karakter yang berbeda, terutama dalam soal metode dakwah.

Jika Syarif Hasyim bin Yahya, karena beliau sebagai kadi /qadhi yakni hakim agama tertinggi dalam kerajaan, maka cenderung memiliki sikap yang tegas terhadap keputusan sebuah perkara. berbeda dengan Habib Husein al Qadrie yang memang berlatar belakang sufi dengan aliran Tarekat Qadiriyah, dan memiliki cara yang lebih dinamis.
Dikisahkan pada suatu saat seseorang datang kepada Habib Husein Alqadrie dengan membawa kacip (alat untuk membelah buah pinang) yang sudah patah pada bagian kepalanya. Seseorang tersebut bercerita kepada Habib husein mengenai keadaanya yang beberapa hari ini merasa dihantui rasa bersalah, sebab ia sudah terlanjur mematahkan Kacip peninggalan turun temurun dari nenek moyangnya. Menurutnya ia melakukan itu atas pendapat dari Syarif hasyim bin Yahya, yang menganggap benda tersebut bisa membawa pada kemusyrikan, sebab di kepala kacip tersebut terdapat semacam ukiran menyerupai patung.

Menanggapi hal tersebut Habib Husein Alqadrie tersenyum sambil meminta kacip yang sudah patah tersebut, lalu ia mengusapnya dan berkata; '' ini hanya barang mati, jika kamu menghakekatkan patung yang ada disini adalah tuhanmu, maka jatuhlah syirik kepadamu, tapi jika kamu hanya semata mata menjadikan kacip ini sebagai penghormatan terhadap leluhurmu, silahkan dipakai''. Ungkap Habib Husein sambil memberikan kembali kacip yang tadinya rusak kini kembali utuh setelah diusapnya.

Dari cerita tutur yang turun temurun dan masyhur dikalangan masyarakat simpang tersebut, dapat menjadi petunjuk bagaimna Islamisasi yang dilakukan oleh para ulama dimasa itu dilakukan dengan beberapa cara di antaranya cara penegakan hukum syari`ah dan pendekatan budaya. Dakwah yang membumi dikalangan akar rumput ini dapat terlihat jejaknya pada tradisi Mandi Safar.

Do`a Islami serta mantra atau masyarakat simpang menyebutnya bemamang adalah satu paket permohonan kepada sang maha kuasa manakala prosesi Mandi Safar digelar. Kemudian pada pemaknaan simbolik jumlah Sesajian atau perabahan yang juga kerap di hubungkan dengan rukun Islam serta rukun Iman, misalnya saja pada jumlah ancak (tempat sesajian) dan perahu, yang  kerap mengacu pada angka lima dan enam, yang merupakan representasi dari Rukun Islam dan Rukun Iman. Belum lagi pemaknaan dalam membuat ancak yang terdapat simpul simpul yang di ikat dengan tali juga memiliki pemaknaan tersendiri yang berhubungan dengan ketauhidan kepada sang khalik serta lain sebagainya, yang nanti akan dibahas khusus dalam pengupasan makna makan simbolik dari setiap prosesi ritual Mandi Safar.

 


Kepercayaan Tentang Mandi Safar

Mandi Safar sendiri sebenarnya adalah acara yang umum dilakukan pada beberapa tempat di indonesia, khususnya bagian pesisir, namun diantara masyarakat pelaku ritual ini, meskipun antara satu tempat dengan tempat yang lain pasti ada perbedaan, baik dalam proses pelaksanaannya maupun historisnya. namun secara umum kesamaanya ada pada kepercayaan bahwa dengan adanya mengikuti  ritual mandi shafar dapat mencegah atau bahkan menghilangkan segala macam kesialan, wabah penyakit menular, bencana atau musibah yang akan atau telah datang, khususnya pada bulan Shafar.

Mengenai kepercayaan ini tentunya dimotivasi oleh sebuah kepercayaan di kalangan masyarakat islam khususnya, bahwa Allah akan menurunkan dua belas ribu macam ujian atau cobaan kepada umat manusia pada bulan Shafar, tepatnya pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar.

Bagi sebagian besar kepercayaan masyarakat melayu Simpang Matan, Mandi Safar adalah ritual pendekatan diri kepada Allah Swt sebagai Tuhan maha kuasa, agar terhindar dari balak dan bencana, serta upaya untuk membuang sial bagi seseorang yang merasa sering dirundung sial atau kemalangan.

Contoh upaya buang sial bagi seseorang dalam acara rutin tahunan Mandi Safar ini misalnya, apabila seseorang  belum atau sering gagal mendapatkan jodoh, ataupun sering mendapatkan kebuntuan dalam melakukan usaha yang berhubungan dengan pekerjaan. Biasanya orang orang tersebut ikut sebagai peserta ritual Mandi Safar dan berharap agar kesialan kesialan yang menimpa dirinya akan hilang.

Dengan demikian tujuan dari Mandi Safar secara hakikat adalah untuk memberishkan diri dari dari segala keburukan hati serta sifat dan memohon keselamatan serta meminta jauhkan bala` atau bencana yang akan menimpa diri ataupun sebuah kampung atau negeri.

 


Para Pemimpin Spiritual Dalam Acara Mandi Safar

Dalam Upacara Mandi Safar terdapat beberapa pemimpin ritual yang di bagi menjadi tiga, diantaranya ; kelompok pertama adalah pengampu ritual yang lazim disebut Dukun Kampung dan bertugas untuk melakukan ritual di darat, kemudian kelompok yang kedua adalah Dukun Kampung yang mengampu ritual di laut, kemudian yang terakhir adalah seorang tokoh agama bergelar Ustadz, pak imam, atau kiai yang bertugas membaca doa selamat dan tolak balak saat acara Mandi Safar secara bersama sama akan dimulai.

Adapun para pengampu ritual pembantu atau asisten dukun biasanya disebut dengan pebayu, ia bertugas melayani keperluan, seperti mempersiapkan dan mencari  serta menggenapi peralatan ritual yang disebut dengan Perabahan.

Dukun Kampung yang biasa mengampu ritual Mandi Safar biasanya diambil dari beberapa perwakilan Dukun Kampung yang ada di Desa Desa Kecamatan Simpang Hilir, yang memang rata rata masih memiliki Dukun Kampung. Pada dasarnya para Dukun Kampung ini selain bisa memimpin acara ritual Mandi Safar namun juga memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan sehari hari di masyarakat Simpang Matan.

Segala bentuk permasalahan terutama yang berkaitan dengan perkara sakit yang berhubungan dengan mahluk ghaib (tekenak) ataupun teluh, guna guna dan sejenisnya tidak bisa jauh dengan peran para Dukun Kampung untuk memberikan solusi kepada mereka yang membutuhkan.

Selain perkara sakit, para Dukun Kampung juga kerap menjadi sandaran bagi masyarakat simpang ntuk tempat bertanya, berkeluh kesah seputar kehidupan,  seperti ; aral, maut, jodoh dan rezeki. Maka tak jarang selain kemampuan spiritual yang dipunyai para Dukun Kampung, mereka juga memiliki kemampuan melihat seseorang berdasarkan ilmu nujum yang mereka miliki. Kemampuan seperti ini hingga kini rata rata masih dimiliki oleh para Dukun Kampung bahkan orang biasa, dikalangan masyarakat melayu simpang matan.

Untuk menjadi Dukun Kampung wajib memiliki syarat khusus yakni sifat ; ikhlas,  tidak boleh memiliki niat jahat, mengerti dengan berbagai proses ritual, bijaksana dan berwawasan budaya serta agama yang luas. dengan syarat tersebut secara otomatis masyarakat akan mengakuinya sebagai tokoh yang memang layak menjadi Dukun Kampung.

Syarat tersebut tampaknya memang sederhana, namun sangatlah sulit, sebab tantangan menjadi Dukun Kampung selain tidak ada keuntungan secara material, juga terkadang cobaanya cukup berat, maka orang yang menjadi Dukun Kampung harus benar benar memiliki niat yang lurus serta berhati bersih.

Syarat yang demikian diatas memang sangat berat sebab tidak dapat dibuat buat, menjadi Dukun Kampung benar benar panggilan hati, sebab mau melayani masyarakat dengan sepenuh hati tanpa ada pamrih dan puja serta puji. namun apabila memang berhasil memenuhi dan menjalani syarat tersebut seseorang dukun kampung biasanya akan di segani.

 


PROSESI RITUAL MANDI SAFAR

Saat ini Upacara Mandi Safar di masyarakat Simpang masih rutin digelar setiap tahun, tepatnya pada setiap hari Rabu terakhir di bulan Safar. biasanya Rangkaian acara Mandi Safar memakan waktu satu minggu karena banyak beberapa sesi acara yang ditampilkan, dari mulai pertunjukan rakyat hingga berbagai lomba, namun untuk acara inti dari Mandi Safar sendiri hanya dilaksanakan selama tiga hari yang puncaknya adalah pada hari rabu terakhir di bulan Safar.

Upacara Mandi Safar saat ini dilaksanakaan oleh Yayasan Sultan Muhammad Jamaluddin Kerajaan Simpang Matan yang bekerja sama dengan berabgai elemen masyarakat sehingga acara menjadi lebih meriah, tentunya tanpa menghilangkan esensi dari acara Mandi Safar itu sendiri, yakni melakukan ritual do`a tolak balak serta mengenang kepergian Oppu Daeng Manambon  dan Putri Kesumba menuju Mempawah pada abad ke 17 masehi. 

Dalam persiapan Mandi Safar ini biasanya beberapa Dukun Kampung sebagai pengampu jalannya ritual berkumpul terlebih dahulu untuk merembukkan sesuatu guna membagi tugas dalam prosesi menjalani ritual selama 3 hari kedepan. Setelah sepakat membagi tugas, biasanya mereka akan bekerja sesuai dengan tugasnya masing masing. adapun persiapan Mandi Safar adalah sebagai berikut :

1. Membuat Ancak ; Nilai, Fungsi dan Makna Simboliknya

Ancak adalah wadah semacam talam yang dibuat dari anyaman bambu, pelepah sagu, daun, dan talinya memakai rotan. Ancak ini digunakan untuk menempatkan sesajian atau yang disebut perabahan guna persembahan kepada para mahluk halus .

Ukuran panjang dan lebar ancak yang dibuat adalah satu hasta (sete). satuan hasta dipakai biasanya mengikuti standard panjang siku hingga jari tangan, maka kira kira lebar dan panjang ancak yang dibuat adalah 45 cm.

Untuk membuat ancak awal mula bambu dibelah sebanyak empat keping, yang digunakan untuk penjepit bilah yang terbaut dari sagu sebanyak empat belas keping. lalu dianyam sedemikian rupa hingga berbentuk persegi empat, kemudian rotan digunakan sebagai tali yang ditambatkan pada empat penjuru ancak.

Untuk ukuran tali ancak sendiri setinggi pinggang atau pusat orang dewasa, tidak boleh kurang dan tidak boleh melebihi. hal ini dimaknai sebagai titik keseimbangan dan keadilan antara penghuni laut dan darat serta mahluk nyata dengan yang ghaib.

Setelah tali rotan diukur tepat, maka yang berikutnya adalah roses membuat simpul tali ancak dengan menyerupai simpul huruf lam jalalah dengan membaca dua kalimah syahadat, lalu menghakikatkan dan berdoa serta memohon kepada Allah SWT agar masyarakat kampung yang ada dapat hidup rukun dan saling bersatu. Setelah itu simpul tali kemudian ditarik menyerupai lam jalalah lalu di kunci dengan shlawat nabi.

Dengan prosesi yang demikian, maka ancak ancak yang dibuat sebagai wadah  sesajian atau perabahan, siap untuk diisi dan digunakan dalam prosesi ritual. Makna nilai dari Ancak adalah sebagai media untuk melakukan sedekah kepada bumi dan makna dari Ancak yang berbentuk lancip ke atas berisikan berbagai macam isi didalamnya adalah melambangkan segala jenis perbuatan dan segala yang dibuat dalam acara tersebut pada akhirnya diserahkan pada allah sebagai penguasa alam.

2. Membuat Miniatur Perahu;  Nilai, Fungsi dan Makna Simboliknya

Bahan bahan membuat membuat miniatur perahu dalam acara Mandi Safar melayu simpang matan adalah menggunakan Pohon nipah, bambu, dan rotan. Namun Untuk saat ini  pohon nipah sebagai bahan utama membuat miniatur perahu terkadang digantikan dengan Kayu pelaik yang agak tahan.

cara pembuatannya, punggung batang nipah atau kayu pelaik dipotong dengan ukuran satu meter, lalu di tarah dengan halus dan dibentuk semacam perahu. yang unik walaupun ini miniatur, namun pengerjaanya cukup detil, sebab mirip dengan aslinya dari mulai menimbau perahu, membuat linggi, patung, sekat ruang seperti; geladak, dapur, layar, serta aksesories lainnya.

Di dalam Miniatur perahu ini terdapat patung yang menyerupai manusia yang dibuat dengan bahan gabus. Patung ini menurut kepercayaan dapat merepresentasikan serta menjadi media komunikasi antara alam nyata ke alam ghaib. dengan kata lain, patung patung ini merupakan bentuk lain dari mahluk ghaib yang diutus oleh pengampu ritual, agar dapat menyambung dengan mahluk lain yang sejenis agar tidak mengganggu manusia.

Fungsi perahu dalam acara ritual Mandi Safar ini adalah untuk diisi dengan berbagai macam sesajian atau perabah yang dipersembahkan bagi para mahluk ghaib yang ada di laut sebagai bentuk penghormatan dari manusia kepada mahluk lain.

Karena kearifan dan kebijaksanan para pendahulu, dapat kita lihat bagaimana para orang orang tua dahulu sudah mengenal konsep penghormatan terhadap sesama mahluk, bahkan terhadap mahluk yang kasat mata sekalipun. Penghormatan itu tulus, tanpa pilih kasih dan pandang bulu, sebab mereka tahu semua mahluk memliki hak yang sama untuk saling dihargai. Makna dari Perahu / jung adalah sebagai media untuk menyampaikan sedekah pada penguasa atau penghuni alam semesta yang berada di air.

 

3.  Tepung Tawar;  Bahan, Nilai Fungsi Dan Makna Simboliknya

Tepung tawar adalah bagian dari kegiatan sakral dalam budaya melayu, tak terkecuali pada upacara Mandi Safar di masyarakat Melayu Simpang Matan. adapun bahan bahan yang diperlukan dalam persiapan tepung tawar  adalah ; bertih ( beras disangrai), beras kuning, tepung tawar (tepung yang diberi air/ diolah dari beras yang di rendam dan tumbuk tidak terlalu halus), dan lima jenis daun diantaranya ; daun memali, tetepung, daun gende ruse, daun andung, dan daun reribu, sebagai penguncinya.

Beras kuning melambangkan kejayaan dan kemurahan rezeki, bertih  melambangkan kesucian, Makna dari daun Memali adalah untuk menolak bala`, daun Tetepung untuk mengepung segala marabahaya, daun gende ruse bermakna bahwa melakukan segala sesuatu harus dengan “rasa”, makna daun Andung sebagai simbol perlindungan yang nantinya ditulis kalimah tauhid, makna dari daun reribu adalah sebagai simbol beribu ribu perlindungan yang diberikan allah kepada manusia. Sedangkan arti keseluruhan dari makna tepung tawar dari acara Mandi Safar adalah permohonan perlindungan dari Allah dan menolak dari segala balak dan bencana.

 

Selanjutnya daun andung itu akan dituliskan doa` yang disebut dengan do`a salamun tujuh.

adapun ayat atau doa salamun tujuh yang biasa dituliskan diatas daun andung yang nantinya dipakai dalam prosesi Mandi Safar itu adalah ;

1. SALAMUN QAULAM MIRROBBIR ROHIM

(semoga) keselamatan/kesejahteraan (tercurah/terlimpah) atas kalian dari rabb yg maha penyayang (QS Yasin: 58)

2. SALAMUN ALA IBRAHIM

(semoga) keselamatan/kesejahteraan (tercurah/terlimpah) atas nabi Ibrahim as (QS As Saaffaat: 109)

3. SALAMUN ALA NUHIN FIL ALAMIN

(semoga) keselamatan/kesejahteraan (tercurah/terlimpah) atas nabi Nuh as bagi seluruh alam (QS As Saaffaat: 79)

4. SALAMUN ALA MUSA WA HARUN

(semoga) keselamatan/kesejahteraan (terlimpah/tercurah) atas nabi Musa as dan Harun as (QS As Saaffaat: 120)

5. SALAMUN ALAIKUM THIBTUM FADHKHULUHA KHALIDIN

(semoga) keselamatan/kesejahteraan (tercurah/ terlimpah) atas-Mu (atas kalian) berbahagialah kalian, maka masuklah (kedalam surga) dan kekalah di dalamnya (QS Az Zumar: 73)

6. SALAMUN ALA ILYASIN

(semoga) keselamatan/kesejahteraan (tercurah/terlimpah) atas nabi Ilyas as (QS As Saaffaat: 130)

7. SALAMUN HIYA HATTA MAT LA'IL FAJR

(semoga) keselamatan/kesejahteraan (terlimpah/tercurah) atas kalian (dari malam itu) hingga terbitnya fajar (QS Al Qadr: 5)

Setelah semua bahan bahan tepung tawar ini siap, sebagian akan digunakan untuk mengiringi proses memasukkan sesajen atau perabahan ke dalam Ancak ataupun perahu dengan cara dipercikkan oleh si pengampu ritual.

4.  Membuat Sesajen ; Jenis, Bahan, Nilai Fungsi Dan Makna Simboliknya

Sajian atau perabahan yang nantinya untuk mengisi ancak dan perahu dalam ritual Mandi Safar diantaranya adalah; Nasi berbentuk tumpeng mini yang disebut nasi cuncung, dan lempeng sebanyak 7 warna yaitu ; Merah, hitam, putih, kuning, coklat, biru dan hijau, kemudian telur sebanyak dua biji, ayam sudah dimasak dan ayam masih hidup, sirih mentah dan masak, bertih (beras disangrai), beras kuning, kombek, keminting, paku, beliung, rokok dengan daun nipah, pinang dan ketupat.

Makna dari warna dalam nasi cuncung menggambarkan unsur di dalam raga manusia seperti warna merah adalah darah, hijau adalah empedu, putih adalah tulang, kuning adalah sumsum, hitam adalah jenis jenis bulu, Telur dua biji melambangkan mata, ayam sudah masak melambangkan kematian,  ayam yang hidup masak melambangkan kehidupan, sirih mentah dan masak  artinya ; mengingatkan kita untuk mengatur kehidupan yang hemat, bertih melambangkan kesucian, hidup  apa adanya berbuat sesuai takaran, beras kuning maknanya adalah kemuliaan, kombek / keminting maknanya adalah bahwa kehidupan penuh tantangan, paku  maknanya; doa yang dipanjatkan supaya makbul, beliung maknanya; memperkuat semangat, rokok terbuat dengan daun nipah melambangkan; pesan untuk segera dilaksanakan, buah pinang bermakna; ketulusan hati, sedangkan ketupat melambangkan kesejahteraan.

 

Sedangkan makna keseluruhan adalah Nasi kuning berbentuk tumpeng dan lempeng sebanyak tujuh warna merupakan persembahan untuk tujuh macam penguasa mahluk ghaib. Selain itu juga merupakan simbolisasi dari jumlah hari selama satu minggu dan tujuh lapis bumi serta tujuh lapis langit, serta 7 elemen.

Untuk mewarnai nasi tumpeng dan lempeng, tidak boleh memakai pewarna kimia seperti kesumba, melainkan masih memakai bahan bahan alami. misalnya dari jenis dedaunan, buah ataupun kulit kayu yang di olah sedemikian rupa menjadi pewarna yang alami. 


5. Ritual Memasukkan Sesajian (perabah) kedalam Perahu dan Ancak

Setelah semua telah siap, maka prosesi selanjutnya adalah mengisi ancak dan miniatur perahu dengan sesajian atau perabahan yang telah disiapkan. pertama kali yang diletakkan adalah nasi tumpang yang berwarna putih lalu disusul merah dengan letak yang berdekatan. warna putih di maknai untuk penguasa ghaib yang ada disebelah matahari hidup (timur), sedangkan warna merah untuk penguasa ghaib yang ada di sebelah matahari mati (barat).

Menurut kepercayaan penguasa yang ada disebelah timur dan barat ini adalah yang paling berkuasa dari jin yang berada diarah lain. setelah itu baru meletakkan nasi tumpang berwarna hitam, kuning, ungu , hijau, coklat dan biru. dalam prosesi meletakkan nasi tumpeng dalam ancak ini pengampu ritual menyebutkan di dalam hati nama nama penguasa gahib sesuai dengan warnanya.

''jin putih jembelang putih, jin merah jembelang merah, jin hitam jembelang hitam, jin kuning jembelang kuning, jin ungu jembelang ungu, jin hijau jembelang hijau, jin coklat jembelang coklat dan jin biru jembelang biru, inilah kitak kuberi makan, bagikan ke 44 macam jin lainnye''.

Demikianlah para pengampu ritual menyebutnya walau hanya sekedar di dalam hati. Setelah itu kemudian memberi tembang tabur berupa bertih dan beras kuning, dan dua butir telur serta sesajian lainnya dengan porsi yang sama guna melengkapi syarat.

Setelah semua perabahan dimasukkan ke dalam miniatur perahu dan ancak, maka proses selanjutnya adalah memberikan tepung tawar pada ancak dan perahu tersebut. mula mula lima jenis daun seperti, daun ribu ribu, daun andong, daun ati ati, daun daun bemali, dan daun tepung tawar diikat jadi satu dengan simpul lam Jalalah. dalam menyimpul ini dilakukan dengan satu nafas sambil menghakikatkan dan berdo`a di dalam hati memohon pada sang pencipta agar acara Mandi Safar berjalan dengan lancar serta bermanfaat bagi masyarakat secara luas.

Selanjutnya pengampu ritual atau pak dukun mencelupkan ke lima daun yang sudah disatukan ke dalam baskom yang berisi air tepung tawar, sambil membaca doa khusus yang dimulai dengan fatihah dan shalawat kepada nabi lalu memberi salam pada beberapa nabi penjaga laut dan darat.

'' assalamualaikum nabi khaidir nabi aik, assalamualaikum nabi ilyas nabi kayu''. lalu pengampu ritual diam sejenak untuk kembali meneguhkan niat demi keselamatan kampung, lalau pelan pelan kelima daun yang ia pegang itu bergerak berputar di dalam baskom searah jarum jam sebanyak 7 kali sambil membaya kalimat syahadat.

Kemudian pak dukun selanjutnya mengambil tali ancak dan disatukan dengan 5 daun tepung tawar, lalu diaduk kembali sambil membaca syahadat, ia mengasapi tiap ancak dengan kemenyan, dan diakhiri dengan menyimpul tali ancak menggunakan simpula lam jalalah, sambil digesekan (lurut) antara 5 daun dan tali ancak secara bersamaan. begitulah lima buah ancak dilakukan dengan prosesi yang sama.

6. Tata Cara Melarung Perahu Dan Meletakkan Ancak Di Darat Dan Air

Setelah miniatur perahu dan ancak telah terisi dengan berbagai macam sesajian (perabahan), maka proses selanjutnya adalah mengantarkan ancak dan perahu pada tempat masing masing.

Untuk ancak yang diletakkan di darat, terlebih dahulu harus memperhatikan arah matahari, sebab ancak harus menghadap ke arah matahari hidup (terbit). sebelum ancak ditambat diawali dengan mengucapkan salam. : ''Assalamualaikum hai nabi hai bun ''. lalu ditancapkanlah ancak tersebut untuk digantung di darat.

Selanjutnya prosesi menurunkan perahu di laut diawali dengan memberikan tepuk tepung tawar pada miniatur perahu lalu diasapi atau pak dukun menyebutnya berabun dengan asap kemenyan. Sebelum turun ke laut salah seroang Dukun Kampung memimpin doa selamat dan di akhiri dengan shalawat atas nabi muhammad SAW. setelah itu miniatur perahupun dipikul menuju ke laut bersama peserta ritual yang lainnya.

Sesampainya di laut Dukun Kampung dibantu dengan beberapa dukun lainnya melakukan serangkaian prosesi pelarungan. mula mula dukun yang lain memegang miniatur perahu, sementara kepala dukun sebagai pemimpin ritual membakar kembali kemenyan untuk kembali mengasapi (merabun) perahu sambil memberikan salam pada penguasa laut.

'' Assalamualaikum nabi khaidir wahai nabi aik''. sejenak sang dukun terdiam seakan akan berkomunikasi, lalu kemudian ia memberikan kode pada dukun lain untuk meletakkan miniatur perahu ke laut. Pada saat itu sang pemimpin dukun pengampu ritual Mandi Safar berpesan atau dalam istilah masyarakat lazim di sebut bemamang. Mamang adalah sebuah pesan berupa harapan yang ditujukan pada mahluk ghaib sebagai bentuk ungkapan kedekatan antara manusia dengan mahluk ghaib yang sudah terjalin pada masa masa sebelumnya. Adapun isi mamang sang dukun adalah ;  

'' Selamat jalanlah kepada nenek datuk, sekaligus saye titip pesan mintak supaye yang tajam mintak tumpolkan, yang mane bise mintak tawarkan, yang mane garang minta tahankan nafsunye, dan minta jagekanlah anak cucu kami baik yang didarat maupun diaik , selamat jalanlah nenek datuk''. ungkap sang dukun pengampu ritual sambil memperhatikan miniatur jung pergi menjauh.

Selanjutnya mereka kembali mengantarkan beberapa ancak ke beberapa tempat yang dianggap keramat, setelah itu baru ketempat acara, titik kumpul biasanya berada di dermaga desa Teluk melano sebagai tempat bagi masyarakat untuk melakukan acara sakral ritual Mandi Safar secara bersama sama.


7. Ritual Puncak Mandi Safar

Sambil menunggu prosesi Dukun Kampung melakukan ritual laut dan darat para peserta Mandi Safar sudah memenuhi dermaga Teluk melano. rata rata mereka sudah siap untuk menceburkan diri ke laut untuk melakukan ritual puncak Mandi Safar secara bersama sama, yang dipercaya dapat membuang kesialan.

Masyarakat yang datang biasanya sambil membawa ketupat yang disebut dengan ketupat Lauk. Dimana ketupat lauk ini dibelah tengah dan diisi dengan kelapa disangrai dan diselipkan udang. Menurut penuturan Raden Jamrudin sebagai salah seroang budayawan Kerajaan Simpang menyatakan apabila tradisi ini telah ada sejak zaman Sultan Zainuddin ketiak menggelar acara Mandi Safar ini.

Setelah para Dukun Kampung selesai melakukan ritual, acara Mandi Safar  dimulai dengan diawali membaca do`a selamat yang dipimpin oleh salah seorang tokoh agama, lalu memakan ketupat lauk yang telah dibawa masing masing kemudian di akhiri dengan mandi bersama.

Para peserta mandi biasanya sudah membawa daun andung yang sudah ditulis dengan do`a salamun tujuh. biasanya beberapa helai daun itu ada dalam satu tangkai sehingga mudah untuk ditancapkan ditepi air dimana ia nanti akan mandi, dengan harapan dari do`a salamun tujuh itulah ia mendapatkan berkah keselamatan serta sial dari dirinya agar dapat hilang.

8. Ibadah yang dilakukan menjelang puncak mandi safar

Pada malam hari dilakukan sholat sunnah berjama`ah sebanyak 4 rakaat yakni sholat dengan niat menolak bala`.

“ ushalli arb`a rakatin lidah`il bala`I sunnatan lillahi t`aala”

“ sengaja aku sholat empat rakaat untuk menolak balak, sunnah karana allah ta`ala.

Sebelum sholat dilakukan mandi dengan niat

Nawalitul gusla an syahri safara waan yamdiyya alfitnatiddazzali sunnatan lillahita`ala

“niat aku mandi dari bulan safar untuk menolak dan minta untuk dipelihara dari fitnah dari dazzal, sunnah karena allah ta`ala”

Pantangan dan larang dalam acara Mandi Safar ini dibagi menjadi dua, bagi para pemangku ritual yakni para dukun berlaku selama 3 hari sedangkan bagi masyarakat biasa berlaku hanya satu hari saja.

Adapun pantangannya adalah ; tidak boleh belayu layu (memetik dedaunan, memotong kayu), pergi ke laut, berladang serta berburu. khusus untuk pengampu ritual ada puasa yang di jalankan khusus selama satu 3 hari dalam acara Mandi Safar. hal tersebut bertujuan untuk mensucikan jiwa dan meluruskan niat agar ritual yang mereka pimpin bisa berjalan dengan lancar.

9.  Upaya Pelestarian Mandi Safar

Upaya pelestarian Mandi Safar ini terus dilakukan terutama di motori oleh Yayasan sultan Muhammad Jamaluddin kerajaan Simpang Matan yang bekerja sama dengan berbagai fihak, baik swasta maupun pemerintah. yang menjadi perhatian serius saat ini adalah para pelaku ritual Mandi Safar.

sebab Para pelaku tradisi ritual ini  sangat berperan penting dalam upacara Mandi Safar. Mereka berasal dari beberapa Kampung yang masuk dalam wilayah adat Kerajaan Simpang. Namun sayangnya pada saat ini para pelaku tradisi ini  pelan pelan sudah berkurang karena sebagian telah meninggal. 

Dengan langkah merangkul serta memberikan pemberdayaan khusus kepada para tokoh adat adalah langkah yang bagus untuk memberikan rasa perhatian kepada mereka untuk lebih giat lagi menjaga tradisinya. Langkah langkah lain bisa dengan seminar atau worskhop budaya, dimana pesertanya adalah para anak anak muda.  Dalam hal ini Yayasan kerajaan simpang matan serta pemerintah berperan aktif menggandeng mereka agar para generasi milenial dapat mencintai budayanya khususnya Mandi Safar.

Saat ini ada beberapa permasalahan yang serius mengenai keberlangsungan Upacara Adat Istiadat Mandi Safar ini, terutama untuk keberlangsungan adat dan tradisi ini ke depannya. Berikut beberapa permasalahan yang di temukan saat penulis melalukan tanya jawab dan obeservasi di lapangan, di antaranya adalah sebagai berikut :

a. Banyaknya Generasi Tua yang sudah mangkat (meninggal),

Orang tua yang sudah meninggal ini khususnya yang biasa memegang upacara adat ritual Mandi Safar, misalnya saja pada Tahun 2019 lalu, yakni Tok Aini (67 Tahun), yakni  salah seorang tetua atau yang biasa disebut sebagai Dukun Kampung telah meninggal.

Datok Aini adalah salah seorang Dukun Kampung yang memimpin ritual upacara adat Mandi Safar tersebut. Namun karena beliau sudah meninggal, maka berkuranglah jumlah porsenil dalam ritual upacara adat Mandi Safar tersebut.

Meski acara ritual tetap berjalan, namun ke depan dikhawatirkan bila para tetua seperti Datok Aini juga sudah meninggal, sedangkan generasi milenial belum ada yang mewarisi, maka ritual upacara adat Mandi Safar terancam punah.

Permasalahan seperti ini juga terjadi di beberapa tempat, salah satu contohnya di Desa penulis tinggal sendiri yakni di Desa Rantau Panjang, menurut cerita orang tua dulu kalau musim mau berladang ada Ritual yang dinamakan Rimba Komang ( yakni ritual adat membuka lahan). Namun sekarang ritual itu tidak pernah ada lagi semenjak Dukun Kampung yang biasa melalukan ritual tersebut sudah meninggal. Hal inilah yang dikhawatirkan dengan ritual upacara adat Mandi Safar apabila tidak ada penerusnya. 

 b. Pemahaman Yang Salah

Ada hal lain yang juga mengkhawatirkan yakni tentang pemahaman seseorang dalam menjalankan agama tertentu mengenai ritual upacara adat Mandi Safar yang di katakan sebagai Bid`ah atau Syirik atau menyekutukan Tuhan.

Ini merupakan pemahaman yang keliru, sebab jika menurut pandangan beberapa orang tua, dan para ahli Agama bahwa Upacara Adat Mandi Safar tersebut sama sekali bukan bertujuan untuk hal yang negatif, termasuk berbuat Syirik. Bahkan ulama ulama terdahulu membawa ajaran Agama justru dengan pendekatan  budaya salah satunya dengan memasukkan unsur dakwah dalam ritus tersebut, maka dengan demikian pelan pelan orang akan kagum dan mengikuti ajaran yang dibawa oleh sang ulama tersebut.

Namun kenyataan saat ini ada beberapa orang yang mempermasalahkan ritual ini, khususnya upacara Adat Mandi Safar yang sudah ratusan tahun di laksakanan oleh masyarakat Simpang.

 c. Kurang Pedulinya Generasi Muda

Generasi muda pada abad ini cukup memprihatinkan, semakin berkembangnya zaman maka mereka terlihat semakin hanyut didalamnya. Perkembangan zaman mengubah segalanya, baik budaya, sosial, dan lain lain.

Perubahan-perubahan tersebut sangat berpengaruh bagi keberlangsungan serta eksistensi Adat Istiadat Mandi Safar ini untuk kedepannya, sebab banyak diantara para generasi milenial ini, menganggap bahwa ritual tersebut terkesan Jadul dan tidak masuk akal. Walaupun tidak semua yang beranggapan begitu namun pemuda yang masih ikut ikutan juga agaknya enggan untuk mempelajari tentang ritual upacara Mandi Safar itu.

 d. Pemahaman yang salah Dan solusinya

Seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya pada Bab pendahuluan tentang permasalahan pemahaman yang salah memandang sebuah ritus, khususnya Mandi Safar di dalam tradisi masyarakat melayu simpang harusnya bisa diselesaikan, dengan cara duduk satu meja antar tokoh guna mencari jalan tengah.

Permasalahan utamanya adalah memandang ritus Mandi Safar dengan sudut pandang yang kaku dan konservatif, sehingga dengan hal tersebut terjadi benturan pemahaman dan pembatasan yang nantinya dapat membuat sekat sekat sosial. Tentunya ini berbahaya, walaupun disisi lain manusia tidak harus sama dalam sebuah pandangan dan pemahaman, namun jika perbedaan pemahaman itu tidak dikelola dengan baik justru akan menjadi bencana salah satunya perpecahan.

Maka solusi yang ditawarkan atas hal ini adalah para tokoh Agama, Adat, dan masyarakat bisa duduk satu meja. Pemerintah dalam hal ini hadir sebagai wasit dan mencarikan solusi atas pemahaman yang ada, misalnya saja dengan menghadirkan para ahli yang sesuai bidang dalam soal pemahaman.

Namun jika kita merujuk pada metode dakwah wali pada masa lalu sudah jelas bahwa mereka berdakwah dengan menggunakan beberapa metode salah satunya pendekatan sosial budaya. artinya hal itu sudah final bahwa budaya dan tradisi di masyarakat justru tidak boleh dibenturkan dengan pemahaman agama, maka apabila dibenturkan justru bukan meraih simpati malah membuat orang tidak senang, maka jika demikian misi dakwah tersebut telah gagal.

Berdasarkan dari pemaparan tentang upacara adat Mandi Safar di atas, maka dapat di simpulkan beberapa hal penting di antaranya adalah sebagai berikut :

Upacara Adat Mandi Safar di masyarakat melayu Simpang memiliki nilai historis dan sudah menjadi tradisi selama beratus tahun lamanya, dengan demikian Mandi Safar adalah salah satu identitas adat dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat melayu Simpang.

Melalui Upacara adat Mandi Safar ini terlihat jelas hubungan antar kerajaan di Kalimantan Barat pada masa lalu, dimana Mandi Safar mengisahkan hubungan antara kerajaan, yakni kerajaan Matan tua sebelum simpang dengan  kerajaan Mempawah.

Inti dari acara Mandi Safar ini adalah meminta kepada Tuhan Yang maha esa keberkahan dan kebaikan untuk semua mahluk yang hidup di alam ini serta minta jauhkan dari balak dan bencana.

Dalam rangkaian Upacara adat Mandi Safar ini hikmah yang dapat dipetik adalah bagaimana rasa kekeluargaan dan gotong royong saling bahu membahu guna mensukseskan sebuah acara dengan niat yang sama yakni sebuah kebaikan untuk sesama.

 Marwah Melayu di wilayah adat Kerajaan Simpang dengan adanya kegiatan ini bisa menjadi hidup sepanjang masa, sebab dalam rangakian acara tersebut juga terdapat hiburan rakyat tradisional seperti Jepin, rodad, mendu, pawai budaya , lomba sampan hias, dan yang lainnya.

Adat bersendikan syara` dan syar’ bersendikan Kitabullah, itulah prinsip yang dipegang dalam menjalankan ritual upacar adat Mandi Safar ini. Tokoh adat dan Tokoh Agama bersatu padu serta saling mengisi dalam acara Mandi Safar ini, walau ada sedikit percikan masalah pemahaman namun hal itu bagi sedikit golongan yang exclusive saja, karena pada prinsipnya upacara adat Mandi Safar juga tidaklah bertentangan dengan Agama.

 

Penulis           : Miftahul Huda

 

Nara Sumber : 

1. Alm. Datok Aini, ( Dukun Kampung / Pengampu ritual Mandi Safar )

2. Mustafa, ( Budayawan Simpang )

3. Alm. Tok alang Bungkan, ( Dukun Kampung / Pengampu ritual Mandi Safar )

4. M Jusup (Dukun Kampung simpang )

5. Raden Jamrudin ( Budayawan Simpang )

6. Japaruddin ( Dukun Kampung / Pengampu ritual Mandi Safar )

 

Daftar pustaka:

1. Manuskrip George Muller 1823 M

2. Manuskrip Raja Ali Haji 1862 M

 

Artikel ini telah menjadi salah satu isi buku “ADAT ISTIADAT SIMPANG MATAN”. Jika ingin menyalin artikel ini silahkan sertakan sumber dari kami atau Konfirmasi ke 085246595000 untuk mengetahui perkembangan penelitian kami terima kasih salam budaya.

 

 

Posting Komentar

0 Komentar