MANDI SAFAR MELAYU SIMPANG MATAN
Mandi Safar di masyarakat Melayu Simpang Matan adalah
suatu upaya atau laku spiritual untuk memohon kepada Allah SWT, sebagai Tuhan
sang pencipta alam agar dijauhkan dari balak dan bencana, sekaligus
memperingati peristiwa sejarah kepergian Oppu Daeng Manambon dan Putri Kesumba
dari kerjaan Matan ke kerajaan Mempawah pada abad ke 17 silam.
Ritual rutin yang diselenggarakan setiap hari rabu
terakhir bulan Shafar tersebut dihadiri dan diikuti oleh ratusan bahkan ribuan
warga masyarakat ; laki-laki maupun perempuan, orang tua maupun orang muda yang
datang dari berbagai daerah yang ada di wilayah Kecamatan Simpang Hilir
Kabupaten Kayong Utara Kalimantan Barat.
Tradisi Mandi
Safar yang sudah turun temurun sejak ratusan tahun silam. bagi masyarakat tanah
simpang, ritual ini memiliki sebuah arti penting, selain sebagai ritual memohon
keselamatan dan terhindar dari balak dan bencana, atau dengan kata lain
membuang sial, juga sebagai upaya mengenang peristiwa sejarah dimasa lampau.
Sejarah Mandi Safar
Secara
historis tidak begitu jelas kapan tanggal dan tahun mulainya Mandi Safar ini
dimulai pertama kali. Namun berdasarkan beberapa pendekatan budaya dan tradisi
turun temurun di masyarakat, dapat diperoleh informasi mengenai ritual Mandi
Safar ini, erat kaitannya dengan kepergian Oppu Daeng Manambun, dari kerajaan
Matan ke Kerajaan Mempawah di masa Sultan Muhammad Zainuddin, yang pernah
memerintah Kerjaan Matan dari Tahun 1677 hingga 1728 Masehi.
Kerajaan
atau Kesultanan Matan tua yang dimaksud disini, adalah kerajaan yang pernah
wujud pada abad ke 16 - hingga 18 masehi, dengan pusat ibu kota yang berpindah
pindah, dari mulai di Sungai Matan, kemudian Indra laya (Sandai) lalu terakhir
di desa Tanjungpura pada tahun 1829 Masehi. (G
Muller 1823)
Kesultanan
Matan sendiri merupakan induk dari beberapa kerajaan di Kalimantan Barat
termasuk Kerajaan Simpang Matan yang merupakan turunan dari Kesultanan Matan,
dimana cucu dari Sultan Zainuddin yakni Pangeran Ratu Agung Kesuma Ningrat
dihadiahi sebuah daerah baru di sebelah utara ibu kota Matan saat itu. Tepatnya
di percabangan sungai, antara sungai Matan yang mengarah ke Selatan, kemudian
Sungai Sidiau (saat ini sungai lubuk batu) yang mengarah ke timur dan sungai
Simpang yang mengarah ke Barat. Di percabangan inilah pangeran Ratu Agung
Kesumaningrat mendirikan kerjaan dengan nama Simpang Matan (G Muller 1823 ).
Dengan
demikian budaya masyarakat di Kesultanan Matan dengan Kerajaan Simpang Matan pada
masa itu adalah sama. Sebab mereka merupakan satu garis keturunan yang berakar
dari induk yang sama. Maka beberapa kebiasaan, adat dan budaya tetap dibawa
oleh Pangeran Ratu Agung Kesumaningrat, meskipun ia telah mendirikan sebuah
kerajaan baru.
Seperti
yang dikisahkan dalam sebuah manuskrip kuno yang ditulis oleh Raja Ali Haji pada
tahun 1862 masehi yang berjudul Silsilah Raja Raja Melayu Dan Bugis. dalam
kitab tersebut Raja Ali Haji mengisahkan tentang perselisihan di kerajaan
Matan, yang berujung dengan peperangan
antara Sultan Zainudin dan saudaranya yang diasaskan pada perebutan tahta.
Pada masa
itu Oppu Daeng Manambon bersama empat bersaudara membantu memulihkan tahta
Kesultanan matan dan berhasil dengan kemenangan yang gemilang. Maka atas jasa Oppu
Daeng Manambon diberilah ia penghargaan dan gelar dengan nama Raden Mas Surya
negara, serta dinikahkan dengan Putri Kesumba yang merupakan Anak dari pasangan
Sultan Muhammad Zainuddin dengan Utin indrawati. Sementara Utin Indrawati
sendiri adalah putri dari Ratu Senggaok raja dari kerajaan Mempawah yang masih
bercorak Hindu.
Setelah
pernikahan Oppu Daeng Manambun dan Putri Kesumba menetaplah mereka di Matan.
karena kebijaksanaan dan keluasan ilmunya, Oppu Daeng Manambon sering dimintai
pendapat oleh raja dalam suatu perkara, baik yang berurusan dengan pemerintah
maupun masyarakat.
Selain itu
ia juga dekat dengan Sayyid Qubra atau Tuanku Janggut Merah, yakni ulama yang
saat itu menjadi kadi/ qadhi, yaitu hakim agama tertinggi di kesultanan Matan. Setelah
Sayyid Qubra meninggal maka posisinya sebagai Kadi kerajaan, digantikan oleh
sahabatnya yang datang dari Hadramaut, yakni Habib Husein Al Qadri yang kelak
menikah dengan Utin Kabanat cucu dari Sultan Zainuddin, dan kelak memliki putra
bernama Syarif Abdul Rahman dan menjadi pendiri kesultanan pontianak.
Oppu Daeng
manambun juga sangat dekat dengan ulama pengganti Syarif Hasyim bin yahya,
yakni Habib Husein Alqadrie. maka wajar saat Oppu Daeng Manambon menjadi
penguasa di Mempawah kemudian juga memboyong Habib Husein Alqadrie ketika
terjadi perselisihan di dalam istana Matan.
Setelah
sekian lama Oppu Daeng Manambon dan Putri Kesumba berdiam di Matan, tiba tiba
tersiar kabar jika kakek dari istrinya, yakni Ratu Senggaok kerajaan Mempawah
meninggal dunia. Setelah hari berkabung usai maka berundinglah keluarga kerjaan
antara Matan dan Mempawah. karena Ratu senggaok semasa hidupnya sangat
menyayangi Putri Kesumba, dan kebetulan ia tidak memiliki pewaris laki laki,
maka tahta diwariskan pada Putri Kesumba yang saat itu sudah menjadi suami dari
Oppu Daeng Manambon.
Karena
hasil kesepakatan telah tercapai, maka Putri Kesumba mau tidak mau bersama Oppu
Daeng Manambon harus memboyong keluarganya ke negeri Mempawah. Karena jasa yang
dikenang baik oleh masyarakat negeri, rasanya cukup berat melepas kepergian Oppu
Daeng Manambon dan Putri Kesumba. Maka berdasarkan perundingan majelis adat
kerajaan Matan, sepakatlah mereka akan menggelar acara besar besaran guna
melepas kepergian Oppu Daeng Manambon ke kerajaan Mempawah, bertepatan dengan
momentum bulan safar yang pada masa itu sudah dilakukan ritual do`a tolak balak
pada setiap tahunnya.
Namun mulai saat itu bulan safar bukan hanya momentum do`a tolak
balak biasa, namun sekaligus mengenang kepergian Oppu Daeng Manambon yang
pernah berjasa atas eksistensi kerajaan Matan di masa Sultan Muhamamd Zainuddin.
Maka singkat cerita dibuatlah acara Mandi Safar dengan sangat meriah guna
mengiringi kepergian Oppu Daeng Manambon bersama Ratu Kesumba untuk memimpin kerjaan
baru di Mempawah.
Maka sejak sejak itu tradisi Mandi Safar memiliki
dua makna yakni sebagai bentuk do`a serta mengenang kembali peristiwa
bersejarah di kerajaan Matan, yang kemudian terus dibawakan hingga saat ini.
Di Mempawah
sendiri, tradisi di hari dan bulan yang sama ini disebut sebagai tradisi Mandi
Robok Robok, yang juga memiliki arti
penting bagi mereka sebagai wujud doa tolak balak, sekaligus kegembiraan
menyambut kedatangan Oppu Daeng Manambon serta Putri Kesumba dari kerajaan
matan saat itu.
Melewati
pendekatan budaya, dapat diambil kesimpulan bahwa antara kerajaan Mempawah dan
Kerajaan simpang matan memiliki hubungan yang erat. Leluhur kerjaan simpang
saat itu mengantar dengan dimeriahkan acara Mandi Safar, serta di Mempawah disambut
dengan kemeriahan acara mandi robok robok.
Perkawinan anatar Budaya dan Agama dalam Acara Mandi
Safar
Jika ditelisik
secara seksama dan mempelajari bagaimana asal usulnya, Mandi Safar di
Masyarakat simpang ini, lahir dari
sebuah praktik praktik ritual adat yang dikolaborasikan dengan ajaran Agama
Islam. hal ini nyata tercermin dari beberapa aspek diantaranya; pemimpin ritual
yang terdiri dari dari beberapa orang tokoh adat yang kerap disebut sebagai Dukun
Kampung yang berkolaborasi dengan pemuka agama, yang kerap disebut ustad
ataupun kiai atau pak imam.
Dari aspek
ini terlihat bagaimana pemimpin agama dan pemimpin adat saling bekerja sama dan
saling mengisi, hal ini disebabkan karena sebuah prinsip yang saling meneguhkan
yakni adat bersendikan syariat dan syariat bersendikan kitabullah. selain itu dari
sisi sejarah tentang perkembangan Islam di Kesultanan Matan juga tidak dapat
kita nafikkan, bagaimana para ulama seperti yang sudah dibahas sebelumnya,
bahwa mereka memiliki peran yang penting dalam menjaga tatanan di kerajaan.
Dua tokoh
ulama kesultanan Matan abad ke 17 yakni Syarif Hasyim Bin Yahya atau Sayyid
Kubro dan sahabatnya yakni Habib Husein Alqadri tentu juga memiliki peran yang
penting dalam mewarnai pentas dakwah, di masyarakat akar rumput kerajaan Matan,
yang pada masa itu masih sangat awam tentang ajaran Islam. ke dua tokoh ini
berdasarkan tradisi tutur yang berkembang di masyarakat kerap di gambarkan
memiliki karakter yang berbeda, terutama dalam soal metode dakwah.
Jika Syarif Hasyim bin Yahya, karena
beliau sebagai kadi /qadhi yakni hakim agama tertinggi dalam kerajaan, maka
cenderung memiliki sikap yang tegas terhadap keputusan sebuah perkara. berbeda
dengan Habib Husein al Qadrie yang memang berlatar belakang sufi dengan aliran
Tarekat Qadiriyah, dan memiliki cara yang lebih dinamis.
Dikisahkan pada suatu saat seseorang datang kepada Habib Husein Alqadrie dengan
membawa kacip (alat untuk membelah buah pinang) yang sudah patah pada bagian
kepalanya. Seseorang tersebut bercerita kepada Habib husein mengenai keadaanya
yang beberapa hari ini merasa dihantui rasa bersalah, sebab ia sudah terlanjur
mematahkan Kacip peninggalan turun temurun dari nenek moyangnya. Menurutnya ia
melakukan itu atas pendapat dari Syarif hasyim bin Yahya, yang menganggap benda
tersebut bisa membawa pada kemusyrikan, sebab di kepala kacip tersebut terdapat
semacam ukiran menyerupai patung.
Menanggapi
hal tersebut Habib Husein Alqadrie tersenyum sambil meminta kacip yang sudah
patah tersebut, lalu ia mengusapnya dan berkata; '' ini hanya barang mati, jika
kamu menghakekatkan patung yang ada disini adalah tuhanmu, maka jatuhlah syirik
kepadamu, tapi jika kamu hanya semata mata menjadikan kacip ini sebagai
penghormatan terhadap leluhurmu, silahkan dipakai''. Ungkap Habib Husein sambil
memberikan kembali kacip yang tadinya rusak kini kembali utuh setelah diusapnya.
Dari cerita
tutur yang turun temurun dan masyhur dikalangan masyarakat simpang tersebut,
dapat menjadi petunjuk bagaimna Islamisasi yang dilakukan oleh para ulama dimasa
itu dilakukan dengan beberapa cara di antaranya cara penegakan hukum syari`ah
dan pendekatan budaya. Dakwah yang membumi dikalangan akar rumput ini dapat
terlihat jejaknya pada tradisi Mandi Safar.
Do`a Islami
serta mantra atau masyarakat simpang menyebutnya bemamang adalah satu paket permohonan kepada sang maha kuasa
manakala prosesi Mandi Safar digelar. Kemudian pada pemaknaan simbolik jumlah
Sesajian atau perabahan yang juga kerap di hubungkan dengan rukun Islam serta
rukun Iman, misalnya saja pada jumlah ancak (tempat sesajian) dan perahu, yang kerap mengacu pada angka lima dan enam, yang
merupakan representasi dari Rukun Islam dan Rukun Iman. Belum lagi pemaknaan
dalam membuat ancak yang terdapat simpul simpul yang di ikat dengan tali juga
memiliki pemaknaan tersendiri yang berhubungan dengan ketauhidan kepada sang
khalik serta lain sebagainya, yang nanti akan dibahas khusus dalam pengupasan
makna makan simbolik dari setiap prosesi ritual Mandi Safar.
Kepercayaan Tentang Mandi Safar
Mandi Safar
sendiri sebenarnya adalah acara yang umum dilakukan pada beberapa tempat di
indonesia, khususnya bagian pesisir, namun diantara masyarakat pelaku ritual ini, meskipun antara satu tempat
dengan tempat yang lain pasti ada perbedaan, baik dalam proses pelaksanaannya
maupun historisnya. namun secara umum kesamaanya ada pada kepercayaan bahwa
dengan adanya mengikuti ritual mandi
shafar dapat mencegah atau bahkan menghilangkan segala macam kesialan, wabah penyakit
menular, bencana atau musibah yang akan atau telah datang, khususnya pada bulan
Shafar.
Mengenai kepercayaan ini tentunya dimotivasi oleh
sebuah kepercayaan di kalangan masyarakat islam khususnya, bahwa Allah akan
menurunkan dua belas ribu macam ujian atau cobaan kepada umat manusia pada
bulan Shafar, tepatnya pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar.
Bagi
sebagian besar kepercayaan masyarakat melayu Simpang Matan, Mandi Safar adalah
ritual pendekatan diri kepada Allah Swt sebagai Tuhan maha kuasa, agar
terhindar dari balak dan bencana, serta upaya untuk membuang sial bagi
seseorang yang merasa sering dirundung sial atau kemalangan.
Contoh
upaya buang sial bagi seseorang dalam acara rutin tahunan Mandi Safar ini
misalnya, apabila seseorang belum atau
sering gagal mendapatkan jodoh, ataupun sering mendapatkan kebuntuan dalam
melakukan usaha yang berhubungan dengan pekerjaan. Biasanya orang orang
tersebut ikut sebagai peserta ritual Mandi Safar dan berharap agar kesialan
kesialan yang menimpa dirinya akan hilang.
Dengan
demikian tujuan dari Mandi Safar secara hakikat adalah untuk memberishkan diri
dari dari segala keburukan hati serta sifat dan memohon keselamatan serta
meminta jauhkan bala` atau bencana yang akan menimpa diri ataupun sebuah
kampung atau negeri.
Para Pemimpin Spiritual Dalam Acara Mandi Safar
Dalam
Upacara Mandi Safar terdapat beberapa pemimpin ritual yang di bagi menjadi
tiga, diantaranya ; kelompok pertama adalah pengampu ritual yang lazim disebut Dukun
Kampung dan bertugas untuk melakukan ritual di darat, kemudian kelompok yang
kedua adalah Dukun Kampung yang mengampu ritual di laut, kemudian yang terakhir
adalah seorang tokoh agama bergelar Ustadz, pak imam, atau kiai yang bertugas
membaca doa selamat dan tolak balak saat acara Mandi Safar secara bersama sama
akan dimulai.
Adapun para
pengampu ritual pembantu atau asisten dukun biasanya disebut dengan pebayu, ia bertugas melayani keperluan,
seperti mempersiapkan dan mencari serta
menggenapi peralatan ritual yang disebut dengan Perabahan.
Dukun
Kampung yang biasa mengampu ritual Mandi Safar biasanya diambil dari beberapa
perwakilan Dukun Kampung yang ada di Desa Desa Kecamatan Simpang Hilir, yang
memang rata rata masih memiliki Dukun Kampung. Pada dasarnya para Dukun Kampung
ini selain bisa memimpin acara ritual Mandi Safar namun juga memiliki fungsi
yang penting dalam kehidupan sehari hari di masyarakat Simpang Matan.
Segala
bentuk permasalahan terutama yang berkaitan dengan perkara sakit yang
berhubungan dengan mahluk ghaib (tekenak) ataupun teluh, guna guna dan
sejenisnya tidak bisa jauh dengan peran para Dukun Kampung untuk memberikan
solusi kepada mereka yang membutuhkan.
Selain
perkara sakit, para Dukun Kampung juga kerap menjadi sandaran bagi masyarakat
simpang ntuk tempat bertanya, berkeluh kesah seputar kehidupan, seperti ; aral, maut, jodoh dan rezeki. Maka
tak jarang selain kemampuan spiritual yang dipunyai para Dukun Kampung, mereka
juga memiliki kemampuan melihat seseorang berdasarkan ilmu nujum yang mereka
miliki. Kemampuan seperti ini hingga kini rata rata masih dimiliki oleh para Dukun
Kampung bahkan orang biasa, dikalangan masyarakat melayu simpang matan.
Untuk
menjadi Dukun Kampung wajib memiliki syarat khusus yakni sifat ; ikhlas, tidak boleh memiliki niat jahat, mengerti
dengan berbagai proses ritual, bijaksana dan berwawasan budaya serta agama yang
luas. dengan syarat tersebut secara otomatis masyarakat akan mengakuinya
sebagai tokoh yang memang layak menjadi Dukun Kampung.
Syarat
tersebut tampaknya memang sederhana, namun sangatlah sulit, sebab tantangan
menjadi Dukun Kampung selain tidak ada keuntungan secara material, juga
terkadang cobaanya cukup berat, maka orang yang menjadi Dukun Kampung harus
benar benar memiliki niat yang lurus serta berhati bersih.
Syarat yang
demikian diatas memang sangat berat sebab tidak dapat dibuat buat, menjadi Dukun
Kampung benar benar panggilan hati, sebab mau melayani masyarakat dengan
sepenuh hati tanpa ada pamrih dan puja serta puji. namun apabila memang berhasil
memenuhi dan menjalani syarat tersebut seseorang dukun kampung biasanya akan di
segani.
PROSESI RITUAL MANDI SAFAR
Saat ini
Upacara Mandi Safar di masyarakat Simpang masih rutin digelar setiap tahun,
tepatnya pada setiap hari Rabu terakhir di bulan Safar. biasanya Rangkaian
acara Mandi Safar memakan waktu satu minggu karena banyak beberapa sesi acara
yang ditampilkan, dari mulai pertunjukan rakyat hingga berbagai lomba, namun
untuk acara inti dari Mandi Safar sendiri hanya dilaksanakan selama tiga hari
yang puncaknya adalah pada hari rabu terakhir di bulan Safar.
Upacara Mandi
Safar saat ini dilaksanakaan oleh Yayasan Sultan Muhammad Jamaluddin Kerajaan
Simpang Matan yang bekerja sama dengan berabgai elemen masyarakat sehingga
acara menjadi lebih meriah, tentunya tanpa menghilangkan esensi dari acara Mandi
Safar itu sendiri, yakni melakukan ritual do`a tolak balak serta mengenang
kepergian Oppu Daeng Manambon dan Putri
Kesumba menuju Mempawah pada abad ke 17 masehi.
Dalam
persiapan Mandi Safar ini biasanya beberapa Dukun Kampung sebagai pengampu
jalannya ritual berkumpul terlebih dahulu untuk merembukkan sesuatu guna
membagi tugas dalam prosesi menjalani ritual selama 3 hari kedepan. Setelah
sepakat membagi tugas, biasanya mereka akan bekerja sesuai dengan tugasnya
masing masing. adapun persiapan Mandi Safar adalah sebagai berikut :
1. Membuat
Ancak ; Nilai, Fungsi dan Makna Simboliknya
Ancak
adalah wadah semacam talam yang dibuat dari anyaman bambu, pelepah sagu, daun,
dan talinya memakai rotan. Ancak ini digunakan untuk menempatkan sesajian atau
yang disebut perabahan guna
persembahan kepada para mahluk halus .
Ukuran panjang
dan lebar ancak yang dibuat adalah satu hasta (sete). satuan hasta dipakai biasanya mengikuti standard panjang
siku hingga jari tangan, maka kira kira lebar dan panjang ancak yang dibuat
adalah 45 cm.
Untuk
membuat ancak awal mula bambu dibelah sebanyak empat keping, yang digunakan
untuk penjepit bilah yang terbaut dari sagu sebanyak empat belas keping. lalu
dianyam sedemikian rupa hingga berbentuk persegi empat, kemudian rotan
digunakan sebagai tali yang ditambatkan pada empat penjuru ancak.
Untuk
ukuran tali ancak sendiri setinggi pinggang atau pusat orang dewasa, tidak
boleh kurang dan tidak boleh melebihi. hal ini dimaknai sebagai titik
keseimbangan dan keadilan antara penghuni laut dan darat serta mahluk nyata
dengan yang ghaib.
Setelah
tali rotan diukur tepat, maka yang berikutnya adalah roses membuat simpul tali
ancak dengan menyerupai simpul huruf lam jalalah dengan membaca dua kalimah
syahadat, lalu menghakikatkan dan berdoa serta memohon kepada Allah SWT agar
masyarakat kampung yang ada dapat hidup rukun dan saling bersatu. Setelah itu
simpul tali kemudian ditarik menyerupai lam jalalah lalu di kunci dengan shlawat
nabi.
Dengan
prosesi yang demikian, maka ancak ancak yang dibuat sebagai wadah sesajian atau perabahan, siap untuk diisi dan
digunakan dalam prosesi ritual. Makna nilai dari Ancak adalah sebagai media
untuk melakukan sedekah kepada bumi dan makna dari Ancak yang berbentuk lancip
ke atas berisikan berbagai macam isi didalamnya adalah melambangkan segala
jenis perbuatan dan segala yang dibuat dalam acara tersebut pada akhirnya
diserahkan pada allah sebagai penguasa alam.
2. Membuat
Miniatur Perahu; Nilai, Fungsi dan Makna
Simboliknya
Bahan bahan
membuat membuat miniatur perahu dalam acara Mandi Safar melayu simpang matan
adalah menggunakan Pohon nipah, bambu, dan rotan. Namun Untuk saat ini pohon nipah sebagai bahan utama membuat
miniatur perahu terkadang digantikan dengan Kayu pelaik yang agak tahan.
cara
pembuatannya, punggung batang nipah atau kayu pelaik dipotong dengan ukuran
satu meter, lalu di tarah dengan halus dan dibentuk semacam perahu. yang unik
walaupun ini miniatur, namun pengerjaanya cukup detil, sebab mirip dengan
aslinya dari mulai menimbau perahu, membuat linggi, patung, sekat ruang seperti;
geladak, dapur, layar, serta aksesories lainnya.
Di dalam
Miniatur perahu ini terdapat patung yang menyerupai manusia yang dibuat dengan
bahan gabus. Patung ini menurut kepercayaan dapat merepresentasikan serta
menjadi media komunikasi antara alam nyata ke alam ghaib. dengan kata lain,
patung patung ini merupakan bentuk lain dari mahluk ghaib yang diutus oleh
pengampu ritual, agar dapat menyambung dengan mahluk lain yang sejenis agar
tidak mengganggu manusia.
Fungsi
perahu dalam acara ritual Mandi Safar ini adalah untuk diisi dengan berbagai macam
sesajian atau perabah yang dipersembahkan bagi para mahluk ghaib yang ada di
laut sebagai bentuk penghormatan dari manusia kepada mahluk lain.
Karena kearifan dan kebijaksanan para
pendahulu, dapat kita lihat bagaimana para orang orang tua dahulu sudah
mengenal konsep penghormatan terhadap sesama mahluk, bahkan terhadap mahluk
yang kasat mata sekalipun. Penghormatan itu tulus, tanpa pilih kasih dan
pandang bulu, sebab mereka tahu semua mahluk memliki hak yang sama untuk saling
dihargai. Makna dari Perahu / jung adalah sebagai media untuk menyampaikan
sedekah pada penguasa atau penghuni alam semesta yang berada di air.
3. Tepung Tawar;
Bahan, Nilai Fungsi Dan Makna Simboliknya
Tepung
tawar adalah bagian dari kegiatan sakral dalam budaya melayu, tak terkecuali
pada upacara Mandi Safar di masyarakat Melayu Simpang Matan. adapun bahan bahan
yang diperlukan dalam persiapan tepung tawar
adalah ; bertih ( beras disangrai), beras kuning, tepung tawar (tepung yang diberi air/
diolah dari beras yang di rendam dan tumbuk tidak terlalu halus), dan lima
jenis daun diantaranya ; daun memali, tetepung,
daun gende ruse, daun andung, dan daun reribu, sebagai penguncinya.
Beras kuning melambangkan kejayaan
dan kemurahan rezeki, bertih
melambangkan kesucian, Makna dari daun Memali adalah untuk menolak
bala`, daun Tetepung untuk mengepung segala marabahaya, daun gende ruse
bermakna bahwa melakukan segala sesuatu harus dengan “rasa”, makna daun Andung
sebagai simbol perlindungan yang nantinya ditulis kalimah tauhid, makna dari
daun reribu adalah sebagai simbol beribu ribu perlindungan yang diberikan allah
kepada manusia. Sedangkan arti keseluruhan dari makna tepung tawar dari acara Mandi
Safar adalah permohonan perlindungan dari Allah dan menolak dari segala balak
dan bencana.
Selanjutnya
daun andung itu akan dituliskan doa` yang disebut dengan do`a salamun tujuh.
adapun ayat
atau doa salamun tujuh yang biasa dituliskan diatas daun andung yang nantinya
dipakai dalam prosesi Mandi Safar itu adalah ;
1. SALAMUN QAULAM MIRROBBIR
ROHIM
(semoga) keselamatan/kesejahteraan (tercurah/terlimpah) atas
kalian dari rabb yg maha penyayang (QS Yasin: 58)
2. SALAMUN ALA IBRAHIM
(semoga) keselamatan/kesejahteraan (tercurah/terlimpah) atas
nabi Ibrahim as (QS As Saaffaat: 109)
3. SALAMUN ALA NUHIN FIL
ALAMIN
(semoga) keselamatan/kesejahteraan (tercurah/terlimpah) atas
nabi Nuh as bagi seluruh alam (QS As Saaffaat: 79)
4. SALAMUN ALA MUSA WA HARUN
(semoga) keselamatan/kesejahteraan (terlimpah/tercurah) atas
nabi Musa as dan Harun as (QS As Saaffaat: 120)
5. SALAMUN ALAIKUM THIBTUM
FADHKHULUHA KHALIDIN
(semoga) keselamatan/kesejahteraan (tercurah/ terlimpah)
atas-Mu (atas kalian) berbahagialah kalian, maka masuklah (kedalam surga) dan
kekalah di dalamnya (QS Az Zumar: 73)
6. SALAMUN ALA ILYASIN
(semoga) keselamatan/kesejahteraan (tercurah/terlimpah) atas
nabi Ilyas as (QS As Saaffaat: 130)
7. SALAMUN HIYA HATTA MAT
LA'IL FAJR
(semoga) keselamatan/kesejahteraan (terlimpah/tercurah) atas
kalian (dari malam itu) hingga terbitnya fajar (QS Al Qadr: 5)
Setelah
semua bahan bahan tepung tawar ini siap, sebagian akan digunakan untuk
mengiringi proses memasukkan sesajen atau perabahan ke dalam Ancak ataupun
perahu dengan cara dipercikkan oleh si pengampu ritual.
4. Membuat Sesajen ; Jenis, Bahan, Nilai Fungsi
Dan Makna Simboliknya
Sajian atau
perabahan yang nantinya untuk mengisi ancak dan perahu dalam ritual Mandi Safar
diantaranya adalah; Nasi berbentuk
tumpeng mini yang disebut nasi cuncung, dan lempeng sebanyak 7 warna yaitu ;
Merah, hitam, putih, kuning, coklat, biru dan hijau, kemudian telur sebanyak
dua biji, ayam sudah dimasak dan ayam masih hidup, sirih mentah dan masak,
bertih (beras disangrai), beras kuning, kombek, keminting, paku, beliung, rokok
dengan daun nipah, pinang dan ketupat.
Makna dari warna dalam nasi cuncung
menggambarkan unsur di dalam raga manusia seperti warna merah adalah darah,
hijau adalah empedu, putih adalah tulang, kuning adalah sumsum, hitam adalah
jenis jenis bulu, Telur dua biji melambangkan mata, ayam sudah masak
melambangkan kematian, ayam yang hidup
masak melambangkan kehidupan, sirih mentah dan masak artinya ; mengingatkan kita untuk mengatur
kehidupan yang hemat, bertih melambangkan kesucian, hidup apa adanya berbuat sesuai takaran, beras
kuning maknanya adalah kemuliaan, kombek / keminting maknanya adalah bahwa
kehidupan penuh tantangan, paku
maknanya; doa yang dipanjatkan supaya makbul, beliung maknanya;
memperkuat semangat, rokok terbuat dengan daun nipah melambangkan; pesan untuk
segera dilaksanakan, buah pinang bermakna; ketulusan hati, sedangkan ketupat
melambangkan kesejahteraan.
Sedangkan
makna keseluruhan adalah Nasi kuning berbentuk tumpeng dan lempeng sebanyak
tujuh warna merupakan persembahan untuk tujuh macam penguasa mahluk ghaib. Selain
itu juga merupakan simbolisasi dari jumlah hari selama satu minggu dan tujuh
lapis bumi serta tujuh lapis langit, serta 7 elemen.
Untuk
mewarnai nasi tumpeng dan lempeng, tidak boleh memakai pewarna kimia seperti
kesumba, melainkan masih memakai bahan bahan alami. misalnya dari jenis
dedaunan, buah ataupun kulit kayu yang di olah sedemikian rupa menjadi pewarna
yang alami.
5. Ritual
Memasukkan Sesajian (perabah) kedalam Perahu dan Ancak
Setelah
semua telah siap, maka prosesi selanjutnya adalah mengisi ancak dan miniatur
perahu dengan sesajian atau perabahan yang telah disiapkan. pertama kali yang
diletakkan adalah nasi tumpang yang berwarna putih lalu disusul merah dengan
letak yang berdekatan. warna putih di maknai untuk penguasa ghaib yang ada disebelah
matahari hidup (timur), sedangkan warna merah untuk penguasa ghaib yang ada di
sebelah matahari mati (barat).
Menurut
kepercayaan penguasa yang ada disebelah timur dan barat ini adalah yang paling
berkuasa dari jin yang berada diarah lain. setelah itu baru meletakkan nasi
tumpang berwarna hitam, kuning, ungu , hijau, coklat dan biru. dalam prosesi
meletakkan nasi tumpeng dalam ancak ini pengampu ritual menyebutkan di dalam
hati nama nama penguasa gahib sesuai dengan warnanya.
''jin putih
jembelang putih, jin merah jembelang merah, jin hitam jembelang hitam, jin
kuning jembelang kuning, jin ungu jembelang ungu, jin hijau jembelang hijau,
jin coklat jembelang coklat dan jin biru jembelang biru, inilah kitak kuberi
makan, bagikan ke 44 macam jin lainnye''.
Demikianlah
para pengampu ritual menyebutnya walau hanya sekedar di dalam hati. Setelah itu
kemudian memberi tembang tabur berupa bertih dan beras kuning, dan dua
butir telur serta sesajian lainnya dengan porsi yang sama guna melengkapi
syarat.
Setelah
semua perabahan dimasukkan ke dalam miniatur perahu dan ancak, maka proses
selanjutnya adalah memberikan tepung tawar pada ancak dan perahu tersebut. mula
mula lima jenis daun seperti, daun ribu ribu, daun andong, daun ati ati, daun
daun bemali, dan daun tepung tawar diikat jadi satu dengan simpul lam Jalalah.
dalam menyimpul ini dilakukan dengan satu nafas sambil menghakikatkan dan
berdo`a di dalam hati memohon pada sang pencipta agar acara Mandi Safar berjalan
dengan lancar serta bermanfaat bagi masyarakat secara luas.
Selanjutnya
pengampu ritual atau pak dukun mencelupkan ke lima daun yang sudah disatukan ke
dalam baskom yang berisi air tepung tawar, sambil membaca doa khusus yang dimulai
dengan fatihah dan shalawat kepada nabi lalu memberi salam pada beberapa nabi
penjaga laut dan darat.
'' assalamualaikum nabi khaidir nabi aik,
assalamualaikum nabi ilyas nabi kayu''. lalu pengampu ritual diam sejenak
untuk kembali meneguhkan niat demi keselamatan kampung, lalau pelan pelan
kelima daun yang ia pegang itu bergerak berputar di dalam baskom searah jarum
jam sebanyak 7 kali sambil membaya kalimat syahadat.
Kemudian
pak dukun selanjutnya mengambil tali ancak dan disatukan dengan 5 daun tepung
tawar, lalu diaduk kembali sambil membaca syahadat, ia mengasapi tiap ancak
dengan kemenyan, dan diakhiri dengan menyimpul tali ancak menggunakan simpula
lam jalalah, sambil digesekan (lurut)
antara 5 daun dan tali ancak secara bersamaan. begitulah lima buah ancak dilakukan
dengan prosesi yang sama.
6. Tata
Cara Melarung Perahu Dan Meletakkan Ancak Di Darat Dan Air
Setelah
miniatur perahu dan ancak telah terisi dengan berbagai macam sesajian
(perabahan), maka proses selanjutnya adalah mengantarkan ancak dan perahu pada
tempat masing masing.
Untuk ancak
yang diletakkan di darat, terlebih dahulu harus memperhatikan arah matahari,
sebab ancak harus menghadap ke arah matahari hidup (terbit). sebelum ancak
ditambat diawali dengan mengucapkan salam. : ''Assalamualaikum hai nabi hai bun ''. lalu ditancapkanlah ancak
tersebut untuk digantung di darat.
Selanjutnya
prosesi menurunkan perahu di laut diawali dengan memberikan tepuk tepung tawar
pada miniatur perahu lalu diasapi atau pak dukun menyebutnya berabun dengan
asap kemenyan. Sebelum turun ke laut salah seroang Dukun Kampung memimpin doa
selamat dan di akhiri dengan shalawat atas nabi muhammad SAW. setelah itu
miniatur perahupun dipikul menuju ke laut bersama peserta ritual yang lainnya.
Sesampainya
di laut Dukun Kampung dibantu dengan beberapa dukun lainnya melakukan
serangkaian prosesi pelarungan. mula mula dukun yang lain memegang miniatur
perahu, sementara kepala dukun sebagai pemimpin ritual membakar kembali
kemenyan untuk kembali mengasapi (merabun) perahu sambil memberikan salam pada
penguasa laut.
'' Assalamualaikum nabi khaidir wahai nabi aik''. sejenak
sang dukun terdiam seakan akan berkomunikasi, lalu kemudian ia memberikan kode
pada dukun lain untuk meletakkan miniatur perahu ke laut. Pada saat itu sang
pemimpin dukun pengampu ritual Mandi Safar berpesan atau dalam istilah masyarakat
lazim di sebut bemamang. Mamang
adalah sebuah pesan berupa harapan yang ditujukan pada mahluk ghaib sebagai
bentuk ungkapan kedekatan antara manusia dengan mahluk ghaib yang sudah
terjalin pada masa masa sebelumnya. Adapun isi mamang sang dukun adalah ;
'' Selamat jalanlah kepada nenek datuk, sekaligus saye
titip pesan mintak supaye yang tajam mintak tumpolkan, yang mane bise mintak
tawarkan, yang mane garang minta tahankan nafsunye, dan minta jagekanlah anak
cucu kami baik yang didarat maupun diaik , selamat jalanlah nenek datuk''. ungkap
sang dukun pengampu ritual sambil memperhatikan miniatur jung pergi menjauh.
Selanjutnya
mereka kembali mengantarkan beberapa ancak ke beberapa tempat yang dianggap
keramat, setelah itu baru ketempat acara, titik kumpul biasanya berada di
dermaga desa Teluk melano sebagai tempat bagi masyarakat untuk melakukan acara
sakral ritual Mandi Safar secara bersama sama.
7. Ritual
Puncak Mandi Safar
Sambil
menunggu prosesi Dukun Kampung melakukan ritual laut dan darat para peserta Mandi
Safar sudah memenuhi dermaga Teluk melano. rata rata mereka sudah siap untuk
menceburkan diri ke laut untuk melakukan ritual puncak Mandi Safar secara
bersama sama, yang dipercaya dapat membuang kesialan.
Masyarakat
yang datang biasanya sambil membawa ketupat yang disebut dengan ketupat Lauk. Dimana
ketupat lauk ini dibelah tengah dan diisi dengan kelapa disangrai dan
diselipkan udang. Menurut penuturan Raden Jamrudin sebagai salah seroang
budayawan Kerajaan Simpang menyatakan apabila tradisi ini telah ada sejak zaman
Sultan Zainuddin ketiak menggelar acara Mandi Safar ini.
Setelah
para Dukun Kampung selesai melakukan ritual, acara Mandi Safar dimulai dengan diawali membaca do`a selamat
yang dipimpin oleh salah seorang tokoh agama, lalu memakan ketupat lauk yang
telah dibawa masing masing kemudian di akhiri dengan mandi bersama.
Para
peserta mandi biasanya sudah membawa daun andung yang sudah ditulis dengan do`a
salamun tujuh. biasanya beberapa helai daun itu ada dalam satu tangkai sehingga
mudah untuk ditancapkan ditepi air dimana ia nanti akan mandi, dengan harapan
dari do`a salamun tujuh itulah ia mendapatkan berkah keselamatan serta sial
dari dirinya agar dapat hilang.
8. Ibadah
yang dilakukan menjelang puncak mandi safar
Pada malam
hari dilakukan sholat sunnah berjama`ah sebanyak 4 rakaat yakni sholat dengan
niat menolak bala`.
“ ushalli
arb`a rakatin lidah`il bala`I sunnatan lillahi t`aala”
“ sengaja
aku sholat empat rakaat untuk menolak balak, sunnah karana allah ta`ala.
Sebelum
sholat dilakukan mandi dengan niat
Nawalitul gusla
an syahri safara waan yamdiyya alfitnatiddazzali sunnatan lillahita`ala
“niat aku
mandi dari bulan safar untuk menolak dan minta untuk dipelihara dari fitnah
dari dazzal, sunnah karena allah ta`ala”
Pantangan
dan larang dalam acara Mandi Safar ini dibagi menjadi dua, bagi para pemangku
ritual yakni para dukun berlaku selama 3 hari sedangkan bagi masyarakat biasa
berlaku hanya satu hari saja.
Adapun
pantangannya adalah ; tidak boleh belayu
layu (memetik dedaunan, memotong kayu), pergi ke laut, berladang serta
berburu. khusus untuk pengampu ritual ada puasa yang di jalankan khusus selama
satu 3 hari dalam acara Mandi Safar. hal tersebut bertujuan untuk mensucikan
jiwa dan meluruskan niat agar ritual yang mereka pimpin bisa berjalan dengan
lancar.
9. Upaya Pelestarian Mandi Safar
Upaya
pelestarian Mandi Safar ini terus dilakukan terutama di motori oleh Yayasan
sultan Muhammad Jamaluddin kerajaan Simpang Matan yang bekerja sama dengan
berbagai fihak, baik swasta maupun pemerintah. yang menjadi perhatian serius
saat ini adalah para pelaku ritual Mandi Safar.
sebab Para
pelaku tradisi ritual ini sangat
berperan penting dalam upacara Mandi Safar. Mereka berasal dari beberapa
Kampung yang masuk dalam wilayah adat Kerajaan Simpang. Namun sayangnya pada
saat ini para pelaku tradisi ini pelan
pelan sudah berkurang karena sebagian telah meninggal.
Dengan
langkah merangkul serta memberikan pemberdayaan khusus kepada para tokoh adat
adalah langkah yang bagus untuk memberikan rasa perhatian kepada mereka untuk
lebih giat lagi menjaga tradisinya. Langkah langkah lain bisa dengan seminar
atau worskhop budaya, dimana pesertanya adalah para anak anak muda. Dalam hal ini Yayasan kerajaan simpang matan
serta pemerintah berperan aktif menggandeng mereka agar para generasi milenial
dapat mencintai budayanya khususnya Mandi Safar.
Saat ini
ada beberapa permasalahan yang serius mengenai keberlangsungan Upacara Adat
Istiadat Mandi Safar ini, terutama untuk keberlangsungan adat dan tradisi ini
ke depannya. Berikut beberapa permasalahan yang di temukan saat penulis
melalukan tanya jawab dan obeservasi di lapangan, di antaranya adalah sebagai
berikut :
a.
Banyaknya Generasi Tua yang sudah mangkat (meninggal),
Orang tua
yang sudah meninggal ini khususnya yang biasa memegang upacara adat ritual Mandi
Safar, misalnya saja pada Tahun 2019 lalu, yakni Tok Aini (67 Tahun),
yakni salah seorang tetua atau yang
biasa disebut sebagai Dukun Kampung telah meninggal.
Datok Aini
adalah salah seorang Dukun Kampung yang memimpin ritual upacara adat Mandi
Safar tersebut. Namun karena beliau sudah meninggal, maka berkuranglah jumlah
porsenil dalam ritual upacara adat Mandi Safar tersebut.
Meski acara
ritual tetap berjalan, namun ke depan dikhawatirkan bila para tetua seperti
Datok Aini juga sudah meninggal, sedangkan generasi milenial belum ada yang
mewarisi, maka ritual upacara adat Mandi Safar terancam punah.
Permasalahan
seperti ini juga terjadi di beberapa tempat, salah satu contohnya di Desa
penulis tinggal sendiri yakni di Desa Rantau Panjang, menurut cerita orang tua
dulu kalau musim mau berladang ada Ritual yang dinamakan Rimba Komang (
yakni ritual adat membuka lahan). Namun sekarang ritual itu tidak pernah ada
lagi semenjak Dukun Kampung yang biasa melalukan ritual tersebut sudah
meninggal. Hal inilah yang dikhawatirkan dengan ritual upacara adat Mandi Safar
apabila tidak ada penerusnya.
b. Pemahaman Yang Salah
Ada hal
lain yang juga mengkhawatirkan yakni tentang pemahaman seseorang dalam
menjalankan agama tertentu mengenai ritual upacara adat Mandi Safar yang di
katakan sebagai Bid`ah atau Syirik atau menyekutukan Tuhan.
Ini
merupakan pemahaman yang keliru, sebab jika menurut pandangan beberapa orang
tua, dan para ahli Agama bahwa Upacara Adat Mandi Safar tersebut sama sekali
bukan bertujuan untuk hal yang negatif, termasuk berbuat Syirik. Bahkan ulama
ulama terdahulu membawa ajaran Agama justru dengan pendekatan budaya salah satunya dengan memasukkan unsur
dakwah dalam ritus tersebut, maka dengan demikian pelan pelan orang akan kagum
dan mengikuti ajaran yang dibawa oleh sang ulama tersebut.
Namun
kenyataan saat ini ada beberapa orang yang mempermasalahkan ritual ini,
khususnya upacara Adat Mandi Safar yang sudah ratusan tahun di laksakanan oleh
masyarakat Simpang.
c. Kurang Pedulinya Generasi Muda
Generasi
muda pada abad ini cukup memprihatinkan, semakin berkembangnya zaman maka
mereka terlihat semakin hanyut didalamnya. Perkembangan zaman mengubah
segalanya, baik budaya, sosial, dan lain lain.
Perubahan-perubahan
tersebut sangat berpengaruh bagi keberlangsungan serta eksistensi Adat Istiadat
Mandi Safar ini untuk kedepannya, sebab banyak diantara para generasi milenial
ini, menganggap bahwa ritual tersebut terkesan Jadul dan tidak masuk akal.
Walaupun tidak semua yang beranggapan begitu namun pemuda yang masih ikut
ikutan juga agaknya enggan untuk mempelajari tentang ritual upacara Mandi Safar
itu.
d. Pemahaman yang salah Dan solusinya
Seperti
yang telah penulis paparkan sebelumnya pada Bab pendahuluan tentang
permasalahan pemahaman yang salah memandang sebuah ritus, khususnya Mandi Safar
di dalam tradisi masyarakat melayu simpang harusnya bisa diselesaikan, dengan
cara duduk satu meja antar tokoh guna mencari jalan tengah.
Permasalahan
utamanya adalah memandang ritus Mandi Safar dengan sudut pandang yang kaku dan
konservatif, sehingga dengan hal tersebut terjadi benturan pemahaman dan
pembatasan yang nantinya dapat membuat sekat sekat sosial. Tentunya ini
berbahaya, walaupun disisi lain manusia tidak harus sama dalam sebuah pandangan
dan pemahaman, namun jika perbedaan pemahaman itu tidak dikelola dengan baik
justru akan menjadi bencana salah satunya perpecahan.
Maka solusi
yang ditawarkan atas hal ini adalah para tokoh Agama, Adat, dan masyarakat bisa
duduk satu meja. Pemerintah dalam hal ini hadir sebagai wasit dan mencarikan
solusi atas pemahaman yang ada, misalnya saja dengan menghadirkan para ahli
yang sesuai bidang dalam soal pemahaman.
Namun jika
kita merujuk pada metode dakwah wali pada masa lalu sudah jelas bahwa mereka
berdakwah dengan menggunakan beberapa metode salah satunya pendekatan sosial budaya.
artinya hal itu sudah final bahwa budaya dan tradisi di masyarakat justru tidak
boleh dibenturkan dengan pemahaman agama, maka apabila dibenturkan justru bukan
meraih simpati malah membuat orang tidak senang, maka jika demikian misi dakwah
tersebut telah gagal.
Berdasarkan
dari pemaparan tentang upacara adat Mandi Safar di atas, maka dapat di
simpulkan beberapa hal penting di antaranya adalah sebagai berikut :
Upacara
Adat Mandi Safar di masyarakat melayu Simpang memiliki nilai historis dan sudah
menjadi tradisi selama beratus tahun lamanya, dengan demikian Mandi Safar
adalah salah satu identitas adat dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat
melayu Simpang.
Melalui
Upacara adat Mandi Safar ini terlihat jelas hubungan antar kerajaan di
Kalimantan Barat pada masa lalu, dimana Mandi Safar mengisahkan hubungan antara
kerajaan, yakni kerajaan Matan tua sebelum simpang dengan kerajaan Mempawah.
Inti dari
acara Mandi Safar ini adalah meminta kepada Tuhan Yang maha esa keberkahan dan
kebaikan untuk semua mahluk yang hidup di alam ini serta minta jauhkan dari
balak dan bencana.
Dalam
rangkaian Upacara adat Mandi Safar ini hikmah yang dapat dipetik adalah
bagaimana rasa kekeluargaan dan gotong royong saling bahu membahu guna
mensukseskan sebuah acara dengan niat yang sama yakni sebuah kebaikan untuk
sesama.
Marwah Melayu di wilayah adat Kerajaan Simpang
dengan adanya kegiatan ini bisa menjadi hidup sepanjang masa, sebab dalam
rangakian acara tersebut juga terdapat hiburan rakyat tradisional seperti
Jepin, rodad, mendu, pawai budaya , lomba sampan hias, dan yang lainnya.
Adat
bersendikan syara` dan syar’ bersendikan Kitabullah, itulah
prinsip yang dipegang dalam menjalankan ritual upacar adat Mandi Safar ini.
Tokoh adat dan Tokoh Agama bersatu padu serta saling mengisi dalam acara Mandi
Safar ini, walau ada sedikit percikan masalah pemahaman namun hal itu bagi
sedikit golongan yang exclusive saja, karena pada prinsipnya upacara adat Mandi
Safar juga tidaklah bertentangan dengan Agama.
Penulis : Miftahul Huda
Nara Sumber :
1. Alm.
Datok Aini, ( Dukun Kampung / Pengampu ritual Mandi Safar )
2. Mustafa,
( Budayawan Simpang )
3. Alm. Tok
alang Bungkan, ( Dukun Kampung / Pengampu ritual Mandi Safar )
4. M Jusup
(Dukun Kampung simpang )
5. Raden
Jamrudin ( Budayawan Simpang )
6.
Japaruddin ( Dukun Kampung / Pengampu ritual Mandi Safar )
Daftar
pustaka:
1.
Manuskrip George Muller 1823 M
2.
Manuskrip Raja Ali Haji 1862 M
Artikel ini telah menjadi
salah satu isi buku “ADAT ISTIADAT SIMPANG MATAN”. Jika ingin menyalin artikel
ini silahkan sertakan sumber dari kami atau Konfirmasi ke 085246595000 untuk
mengetahui perkembangan penelitian kami terima kasih salam budaya.
0 Komentar