Adat Kematian Melayu Kayong
Oleh : Miftahul Huda
Latar belakang
Adat istiadat dalam perkara kematian pada Melayu Kayong
(wilayah Kabupaten Kayong utara dan ketapang) Kalimantan barat saat ini,
merupakan bukti adanya asimilasi antara ajaran leluhur dan syari`at Islam. Melayu
Kayong sendiri adalah sebuah entitas unik yang merupakan percampuran dari
beragam suku, ras dan bangsa di nusantara. Asimilasi ini dimulai sejak zaman
kerajaan Tanjungpura pada abad ke 15 M, hingga kesultanan Matan dan Kerajaan
Simpang Matan saat ini.
Secara administratif ke tiga kerajaan tersebut kini berada di
dua wilayah Kabupaten Kayong Utara dan Ketapang. Dalam perjalanan panjang
peradaban terjadi interaksi, baik sosial, budaya maupun agama, yang kemudian
membentuk sebuah entitas unik yang dinamai dengan Suku Melayu Kayong. Walaupun
suku Melayu Kayong sendiri juga memiliki beragam adat istiadat dan perbedaan,
namun secara umum mereka memiliki kesamaan, terutama dari garis sejarah tentang
asal usul mereka.
Misalkan pada suku Melayu Kayong yang berdiam di Ketapang,
walau terdapat perbedaan namun ketika berbicara sejarah asal usul, mereka
mengakui bahwa nenek moyang mereka dalam rentang waktu tertentu, adalah sama
dengan apa yang diakui oleh suku Melayu Kayong yang terdapat di Kabupaten Kayong
Utara. Adapaun para pendatang berikutnya yang pernah berkuasa di tanah Kayong,
pada akhirnya juga menyatu dan membaur dan menjadi bagian dari entitas Melayu Kayong.
Adat Kematian, Dahulu
Dan Sekarang
Berdasarkan latar belakang diatas, masyarakat Melayu Kayong hari
ini sangatlah beragam, dan membentuk budaya yang unik. Salah satu adat dan
tradisi yang unik pada masyarakat Melayu Kayong adalah pada adat kematian. Pada
saat ini adat kematian Melayu Kayong yang ketat seperti dulu tidak lagi banyak
dikerjakan, namun dibeberapa tempat masih ada yang tetap mempertahankan.
Walaupun pada dasarnya adat dan tradisi mengenai kematian Melayu Kayong ini
sesungguhnya juga mengikuti tata cara pengurusan fardhu kifayah, namun dibeberapa
ritual terdapat adat dan tradisi yang masih mengikuti.
Salah satu alasan adat istiadat kematian ini ditinggalkan,
sebab tidak ada dalam syarat wajib dalam tata cara fardlu kifayah mengurusi
mayat, sehingga sebagian orang hanya
mengambil yang wajibnya saja. Sedangkan sebagian yang mempertahankan memiliki
beragam alasan, salah satunya adalah waris dari guru mereka terdahulu
mengajarkan demikian, sehingga takut tulah (su`ul adab) terhadap sang guru jika
meninggalkannya.
Menurut syari`at Islam, hal hal yang wajib dalam fardhu
kifayah mengurus jenazah hanyalah; memandikan, mengkafani, mensalatkan dan
menguburkan jenazah saja. Sedangkan dalam adat kematian Melayu Kayong khususnya
yang masih ada pada masyarakat Desa Batu Barat dan Penjalaan Kecamatan Simpang Hilir,
dimulai dari menjelang kematian, menunggu mayit, memandikan, menguburkan,
nyusor tanah, selamatan (beruah) 3, 7, 15, 25, 40, 100 dan seribu hari dan lain
lain memiliki tata cara tersendiri.
Nilai Penting Dari Adat
Kematian
Bagi masyarakat Melayu Kayong, proses kematian manusia tidak
sesederhana seperti pada mahluk lain yakni terpisahnya roh dari raga, akan
tetapi adalah sebuah peristiwa luar
biasa dan sakral yang menjadi penentu seseorang untuk melangkah pada alam yang berikutnya. Dalam sistem kepercayaan
nenek moyang Melayu Kayong, bahwa kematian bukanlah akhir dari perjalanan hidup
seseorang, tetapi ia adalah awal dari kehidupan yang lain. Karena kematian
adalah awal dari sebuah kehidupan yang
baru, maka sudah barang tentu jika harus disiapkan segala keperluan yang
dibutuhkan dalam kehidupan yang baru kelak. Dengan kata lain, selama hidup
bekal yang cukup, harus dipersiapkan guna menopang kehidupan baru di alam
berikutnya.
Selain melakukan amalan secara batin, masyarakat Melayu Kayong
juga mempersiapkan berbagai hal yang berkaitan dengan perlengkapan upacara
kematian. Seperti kain kafan, tanah pekuburan, biaya pelaksanaan upacara,
hingga barang-barang yang akan diberikan kepada orang-orang yang membantu
pelaksanaan upacara kematian. Persiapan ini cenderung berkaitan erat dengan
relasi sosial budaya masyarakat.
Nilai penting terhadap kematian seseorang dalam adat istiadat
kematian Melayu Kayong bukan sekedar ritual sakral belaka, namun juga peristiwa
yang memiliki nilai penting dalam kebudayaan dan sosial. Sebab kondisi ini erat berkaitan dengan posisi seseorang yang
meninggal tersebut sebagai bagian dari masyarakat, yang juga tidak terlepas
dari sebuah lingkaran sosial dan kebudayaan yang tak dapat terpisahkan.
Ketika seorang dalam anggota masyarakat meninggal dunia, maka
secara budaya dan sosial menimbulkan rasa kekhawatiran, dan tentu saja kesedihan
terutama dalam lingkup keluarga, bahkan
yang lebih besar. Atas peristiwa
kematian yang mengakibatkan keguncangan tersebut, maka mereka mengatasi dengan
ritual adat dan tradisi yang juga berfungsi untuk mengembalikan stabilitas
sosial budaya khususnya bagi keluarga yang ditinggalkan.
Bagi masyarakat Melayu Kayong, ritual adat kematian ini juga
berfungsi untuk menghormati perjalanan seseorang
yang meninggalkan dunia fana untuk kembali pulang ke alam baka. Hal ini dapat
tercermin dari seseorang ketika
melakukan takziah / melayat dengan mengunjungi keluarga dari orang yang
meninggal, hingga mengikuti acara beruah / selamatan, mendoakan, menggali
kubur, membuat keranda, mengantar jenazah, dan lain lain. Dengan demikian dari peristiwa tersebut dapat tercermin
mengenai peristiwa sakral dan sosial yang saling menguatkan dalam masyarakat Melayu
Kayong.
Menjelang kematian
Ketika seseorang yang dianggap akan meninggal dunia, biasanya
berkaitan dengan kondisi yang sudah uzur dan jumlah usia, sebagai contoh
seseorang sudah berusia sangat tua dan sakit dalam jangka waktu yang lama,
disertai kondisi fisik yang sangat lemah. Bahkan sebelumnya telah diupayakan
pengobatan dan telah dinyatakan kritis atau kemungkinan kecil untuk sembuh.
Maka dalam kondisi yang demikian, biasanya para kerabat, sanak sudara dan
tetangga akan datang silih berganti untuk menjenguk sambil berdo`a. terkhusus
untuk keluarga dekat, biasanya akan terus berjaga secara bergiliran selama dua
puluh empat jam sampai seseorang tersebut meninggal dunia.
Bagi orang yang
menjenguk si sakit, biasanya akan membawa oleh oleh atau buah tangan.
Biasanya tuan rumah sebagai keluarga
orang yang sakit juga akan menyuguhkan hidangan ala kadarnya. Orang yang menjenguk, biasanya juga membacakan surat yasin di
samping orang yang sakit. Pembacaan
surah yasin ini didasarkan akan kepercayaan dan keyakinan bahwa si orang
yang sakit mendapatkan satu di antara dua hal yakni; apakah ia segera meninggal
dunia atau lekas sembuh. Adapun versi lain ada yang meminta pembacaan surat
yasin oleh tokoh agama dari pihak keluarga. Biasanya si ahli waris melakukan
ijab kabul terlebih dahulu kepada tokoh agama (pak imam) untuk membacakan surat
yasin.
Apabila si sakit sudah mendekati sakaratul maut (ngombak),
biasanya ia dibimbing oleh seseorang yang dianggap alim ataupun kerabatnya
untuk mengucapkan dua kalimah syahadat. Sebab kunci kalimah syahadat inilah
diyakini sebagai kunci menuju syurga bagi arwah seseorang yang meninggal
tersebut.
Dalam versi yang lain ketika si sakit dalam keadaan sakaratul
maut (ngombak), apabila ia kepanasan maka ia terkena nasar api. Nasar api yang
dimaksud dalam tradisi Melayu Simpang dipercaya sebagai perwujudan dari hawa
panas yang dirasakan pada seluruh tubuh. Walaupun api biasanya dikaitkan dengan
hal yang negatif namun dalam konteks nasar api pada orang yang sakaratul maut
tidak bisa dikaitkan dengan hal-hal yang buruk. Melainkan nasar api adalah
sifat alami yang ada dalam diri setiap manusia. Dipercayai nasar api ini
terletak pada jantung manusia sebagai pemompa darah. Orang yang terkena nasar
api dalam sakaratul maut diobati dengan air ditiupkan dan diteteskan pada mulut
si sakit sambil membaca nama nasar tersebut.
“Bismillah Ini nasar
api pulanglah engkau ke jantung”.
Apabila si sakit dalam sakaratul maut terkena nasar air dan
nasar angin, juga akan diobati dengan cara yang sama. Ciri-ciri orang yang
terkena nasar air biasanya menimbulkan suara gemuruh ditenggorokan. Sedangkan
ciri-ciri orang yang terkena nasar angin biasanya tubuhnya merasa kedinginan
yang luar biasa ditandai dengan kulit yang merinding.
Menunggui si mayit
Ketika seseorang telah meninggal dunia maka pihak keluarga
biasanya akan memberikan kabar kepada seseorang tokoh agama atau masyarakat Melayu
Kayong kerap menyebutnya pak imam setempat, dan sekaligus meminta padanya untuk
melakukan kerenah (mengurus) si mayit. Selain itu pihak keluarga memberitahukan
pada pengurus masjid, dan dengan sendirinya ia mengumumkan melalui pengeras
suara terhadap kabar duka yang dialami oleh tuan rumah yang keluarganya
meninggal tersebut.
Jika dahulu sebelum ada pengeras suara, kabar orang meninggal
ini disampaikan dari mulut ke mulut secara berantai dari satu bumbung rumah
kerumah lain dalam satu komunitas masyarakat. Cara komunikasi ini saat ini
sudah sangat jarang sekali, namun terkadang informasi lisan ini juga masih dipakai
untuk menyampaikan pada kerabat yang jauh dari kampung namun melalui media baru
yakni smart phone.
Setelah semua masyarakat sekitar tahu kabar duka tersebut,
maka segala aktivitas mereka biasanya berhenti sebab akan melakukan prosesi
melayat. Tidak beberapa lama maka para pelayat berdatangan ke rumah duka,
dengan membawa buah tangan yang umumnya berupa beras, dan lazim disebut beras
pelawat. Namun ada juga yang membawa amplop berisikan uang dan biasanya tuan
rumah menyediakan toples di depan rumahnya.
Pihak keluarga yang menunggu si mayit biasanya akan melepas
segala benda yang menempel di tubuh si mati, dari mulai giwang, kalung, anting,
gelang dan lain lain. Saat awal awal
biasnya keluarga juga meluruskan tubuh
si mayit, menutup mata dan mulutnya, kemudian tubuh si mayit di seka dengan handuk
basah untuk dibersihkan (dikubal), selanjutnya meletakkan kedua tangannya di
atas dada dengan posisi sedekap menghadap kiblat. Setelahnya menutupinya dengan
kain beberapa lapis dan disediakan beberapa surah yasin di samping si mayit.
Pada saat menutup mata si mayit dilambari dengan membaca : “bismillah ala millati rasulillahi shalallahu
alai wasallam”. Pada zaman dahulu terdapat kebiasaan lain meletakkan sebuah
pisau diatas dada mayat beserta surat yasin.
Orang-orang yang datang melayat selain membawa bawaan berupa
beras dan makanan pokok lainnya. Sebagian juga yang datang langsung membaca
surah yasin, di samping mayat. Selain itu, ada juga yang datang hanya untuk
menunjukkan ikut berbela sungkawa, ada yang membantu membuat peti jenazah,
tiang nisan, menggali kubur dan khusus para ibu ibu membantu di dapur.
Para kaum ibu biasanya disibukkan dengan perkara masak
memasak. Hal yang unik ketika ada orang meninggal pada masyarakat Melayu Kayong,
maka kue yang wajib dibuat adalah kue serabi berwarna putih. Serabi dalam
bahasa Sansekerta berarti wangi ataupun harum. Kue serabi ini terbuat dari bahan
tepung beras, santan dan kelapa, makanan ini sudah ada sejak zaman kerajaan
mataram dan mendapat pengaruh dari budaya india serta eropa. Kue serabi yang
dibuat ini dihidangkan kepada para pelayat yang hadir.
Peralatan Upacara
Kematian
Sambil menunggu biasnya persiapan Peralatan yang dibutuhkan
untuk melaksanakan upacara kematian pada masyarakat Melayu Kayong juga
dipersiapkan diantaranya adalah :
a. Peralatan memandikan jenazah dan mengkafani, secara garis
besar peralatan yang digunakan terdiri dari balai-balai, air, tempat air,
gayung, tikar pandan polos, sabun, nampan (ceper),kain kafan, pelepah pisang,
ceret, payung, bambu yang dibelah sepanjang mayat, dan bedak langir (dari kulit
kayu bidara), serta wewangian dan lain lain .
b. Alat Mengusung jenazah, untuk membawa jenazah ini
menggunakan Tandu atau keranda jenazah dari rumah duka menuju tempat pekuburan.
c. Kuburan. Kuburan merupakan bagian penting dalam ritual
kematian masyarakat Melayu. Ukuran lubang kubur dibuat sesuai dengan ukuran si mayit. Sebelum menggali kubur
biasanya ada petugas penggali kubur yang memahami tata cara menggali lubang kubur.
Mula mula ia melakukannya dengan cara menggores tanah dengan huruf lam jalalah.
d. Peti jenazah. Peti jenazah digunakan jika lubang untuk
menguburkan berada di daerah rendah atau rawa-rawa.
e. nisan atau tiang mesan. Pembuatan tiang mesan ini apabila
saat ini yang meninggal adalah perempuan maka berbentuk pipih, namun yang
meninggal adalah laki-laki maka berbentuk bulat. Jika pada zaman dahulu nisan
berbentuk pipih atau pun bulat tidak mutlak mencirikan jenis kelamin, khususnya
ini berlaku pada abad 18 ke bawah. Melainkan ornamen tertentu yang mencirikan
status sosial ataupun jenis kelamin. Kembali pada tradisi perlakuan nisan saat
ini, sebelum pergi ke kuburan biasanya tiang mesan tersebut diberi bedak langer
dan di ikat dengan kain putih.
f. Perabah (peralatan) upacara berupa; daun pandan wangi, sirih pocong, tasbih buah pinang, kembang tabor, perapen /
pebarak, Pengganjal mayat terbuat dari
tanah dan lain lain .
Biasanya, acara penguburan akan dilaksanakan setelah tengah
hari, yaitu antara pukul 14.00 sampai 16.00. jika seseorang meninggal setelah jam 12 siang, maka upacara
penguburan biasanya dilaksanakan pada keesokan harinya. Hal lain yang bisa
menjadi pertimbangan untuk menunda penguburan mayat adalah keharusan menunggu
kedatangan para sanak saudara.
Jika keluarga si mayat memutuskan untuk menguburkan jenazah
keesokan harinya, maka sanak keluarga harus menunggui si mayit sepanjang malam.
Pada saat menunggu itu harus ada yang menjaga agar si mayat tidak dilompati kucing. Sebab menurut
kepercayaan masyarakat Melayu Kayong, apabila mayat dilompati kucing bisa bangkit (hidup kembali).
Ketika menunggui mayat ini, biasanya diadakan pembacaan surat
yasin dan tahlil sampai menjelang tengah malam. Tujuannya adalah untuk
melengkapi amalan si mayat ketika masih hidup. Selain itu, ada juga yang
sepanjang malam membacakan surat-surat dalam Al-Quran selain dari surah yasin.
Dalam proses menunggu prosesi upacara pemakaman, kaum kerabat
biasanya juga membicarakan hal hal mendasar, diantaranya lokasi untuk pemakaman, siapa yang ikut memandikan, dan apakah ada wasiat almarhum
sebelum meninggal dunia. Biasanya orang Melayu
Kayong secara berkelompok telah mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan untuk melancarkan
pelaksanaan upacara kematian melalui kelompok yasinan ataupun lembaga
tradisional lainnya.
Bahan yang
dipersipakan biasanya seperti kain putih, papan, tanah untuk kuburan, dan biaya yang
diperlukan. Bahkan terkadang persiapan tersebut juga sudah disiapkan oleh keluarga
secara pribadi ataupun si almarhum saat yang bersangkutan masih hidupnya. Hal
ini dibeberapa tempat masih ada kebiasaan mempersiapkan peralatan kematian
untuk dirinya sendiri, terutama yang ia siapkan seperti nisan dan kain kafan
serta papan untuk peti mati. Persiapan tersebut biasanya satu pasang antara
suami istri dan telah di wasiatkan. Maka terkait hal tersebut, musyawarah
biasanya bertujuan untuk mengetahui dan memenuhi wasiat ataupun pesan pesan almarhum
terkait pada masa hidupnya dahulu.
Memandikan jenazah
Sebelum disalatkan dan dimakamkan, jenazah terlebih dahulu
harus dimandikan kemudian dibungkus dengan kain kafan. Jenazah laki-laki
dimandikan oleh laki-laki, dan jenazah perempuan dimandikan oleh kaum wanita.
Sedangkan untuk jenazah anak-anak, biasanya dilaksanakan oleh para kaum wanita tanpa
mempertimbangkan jenis kelaminnya. Jumlah orang yang memandikan biasanya ganjil
yakni 3, 5, hingga 7 orang. Khusus untuk
keluarga dekat si jenazah, baik anak atau orang tuanya biasa melakukan tugas
untuk membersihkan bagian kemaluan dan pembuang kotoran (anus). Adapun tata
cara secara rinci dalam memandikan jenazah dalam masyarakat Melayu Kayong
adalah sebagai berikut:
1. Mula mula jenazah letakkan di atas balai-balai dengan
diberi bantal dari batang pohon pisang yang bagian tengahnya telah ditarah, untuk
kepala menghadap ke arah utara sedangkan kaki ke arah selatan. Seiring
perkembangan zaman, untuk dibeberapa tempat alat-alat tradisonal yang
digunakan, seperti balai-balai dan batang pohon pisang yang ditarah, telah
ditinggalkan dan diganti dengan peralatan khusus untuk memandikan jenazah. Namun demikian hingga saat ini masih banyak
masyarakat yang masih menggunakan cara tradisional tersebut.
Di desa Batu Barat dan Penjalaan serta lainnya, jenazah
dimandikkan diatas pangkuan para kaum kerabat, yang lebih utama adalah anak dan
cucunya (muhrim), sejumlah 5 orang dengan posisi satu di kepala, satu dibawah
bahu, satu ditulang belakang, satu dibagian paha, satu bagian kaki. Khusus
untuk bagian kepala, posisi duduk seperti orang tahyat awal (iftiras/
bersimpuh), sedangkan empat yang lain dalam keadaan berselonjor.
2. Selanjutnya jenazah akan ditutupi dengan kain putih, atau
kain lainnya yang penting bukan kain yang bermotif emas. Jenazah diguyur menggunakan
air pembuka dengan bacaan niat mandi hadast besar.
“Nawaitul ghusla lirof il hadastil akbari min jamiil badani
fardallillahi taala”.
Menurut versi yang lain membaca sholawat awal:
nur awali shifatullah, nur insani dzatullah, nur muhammad rasulullah
shallahualaihi wasallam. Dengan mencurahkan air 3 kali ke kanan 3 kali ke kiri
3 kali ke tengah.
3. Selanjutnya, pembersihan mayat dengan teliti, dari mulai
selat sela gigi, kuku, hidung, telinga bahkan hingga bagian pelepasan kotoran (anus) dan kemaluan
jenazah, yang dibersihkan dengan sangat
teliti. Untuk bagian anus ini harus benar benar teliti sebab jika tidak terlalu
bersih dikhawatirkan akan keluar setelah dimandikan. Maka biasanya perut mayat
ditekan sedikit sambil mayat setengah didudukkan, dan anusnya diraba dengan
menggunakan tangan kiri yang telah dibalut dengan kain putih, selayaknya orang
beristinja ( orang Simpang menyebutnya meredu).
Dalam beristinja apabila masih terdapat kotoran maka
pembersihan dilakukan dari mulai tiga, lima, hingga tujuh kali. Setelah kotoran pada anus dan kemaluan diyakini bersih,
jenazah kemudian disiram dengan air, sambil disabun dan digosok sebagaimana
orang mandi. Proses ini dilakukan secara berulang-ulang sampai tubuh si jenazah
dianggap bersih.
4. setelah bersih mayat kemudian diberi air bedak langir yang
terbuat dari tepung beras yang dioleskan ke seluruh tubuh si mayit.
5. proses berikutnya Jenazah dimandikan dengan air 9 mati dengan bacaan sebagai berikut:
Bagian kanan membaca “yaa
rahman rabbana wa ilakal masir”, 3 x
Bagian kiri “yaa rahim
rabbana wa ilakal masir 3 x
bagian tengah “ghufranaka yaa Allah rabbana wa ilakal masir”
3 x
6. Yang berikutnya barulah penutup mandi dengan do`a “mundzuri
bi fadhlillahi fa ‘ta biru kullu bil abshar”.
8. Dan yang terakhir
adalah mayat disucikan dengan air wudhu`, sebagaimana orang yang hendak salat.
Pada saat me-wudu`i tersebut, orang yang memandikan atau tokoh agama yang
bertugas harus disertai dengan membaca niat sebagaimana membaca niat untuk
berwudu pada orang yang hendak salat. Niat wudhu yang pertama adalah; “nawaitul wudhua lirofil hadatsil ashghori
fardha lillahi taala”. Niat wudhu yang kedua adalah ; “nawaitu liraf`il
hadatsil li istibahati sholati fardha lillahi taala”.
9. Setelah selesai dimandikan, mayat dikeringkan dengan
handuk dan dibungkus dengan kain kafan. Khusus perempuan rambut disisir dengan
rapi. peralatan lain yang dibutuhkan adalah minyak kayu cendana, kapas dan
tempat tidur untuk membaringkan mayat.
10. Selanjutnya wajah mayat di bedaki, dan bagian-bagian
tertentu tubuh mayat (antara lain hidung dan telinga) ditutup dengan kapas yang
telah dibubuhi bubuk kayu cendana.
11. Yang berikutnya mayat dibungkus dengan kain kafan dengan
rapat, sehingga seluruh tubuh mayat tertutup. Mayat pria biasanya dibungkus sebanyak tiga
lapis sebagai penutup seluruh tubuhnya, dan ditambah penutup aurat dan bagian
kepalanya (serban), baju yang terbuat dari kain putih tidak boleh berjahit,dan
kain untuk celana yang tidak boleh berjahit. Sedangkan mayat wanita dibungkus
dua lapis, dan ditambah pembungkus bagian tubuh sebelah atas (kerudung), baju,
kain yang tidak boleh berjahit.
Kain kafan untuk membungkus jenazah dipersiapkan terlebih
dahulu, disobek dengan memanjang bagian tepi sambil membaca surah al qadr ayat
1 dan 2, kemudian sobekan tersebut dijadikan kain pengikat sebanyak lima utas (tali
pocong).
12. Setelah dibungkus, jenazah kemudian diikat dengan tali
pocong sebanyak 5 ikat, selanjutnya jenazah siap untuk segera disalatkan oleh
pihak kerabat dan para pelayat yang hadir.
Menyembahyangkan
Jenazah
Setelah prosesi memandikan dan membungkus jenazah selesai,
maka selanjutnya jenazah dibawa ke ruangan atau Masjid ataupun langgar
(surau) untuk di salatkan. Posisi jenazah menghadap ke utara untuk disalatkan.
Berikut
tata cara mensalatkan jenazah, diantaranya adalah:
1. Posisi jenazah terlentang
dengan kepala menghadap ke arah utara . Pada masyarakat Melayu Kayong, salat jenazah
minimal diikuti oleh 40 orang jamaah laki-laki.
Setelah selesai salat jenazah, biasanya
sebagian mereka para makmum diberi hadiah berupa uang yang dibungkus amplop
oleh tuan rumah. Dalam versi yang lain amplop ditujukan kepada para pelayat
untuk meminta mereka melakukan salat hadiah dengan amplop ditulis nama si mayit.
2. Imam yang mememimpin salat jenazah mengambil posisi di bagian
depan, Posisi imam untuk mayat perempuan
dan mayat laki-laki berbeda. Jika mayat yang disalati adalah laki-laki, maka posisi imam searah dengan
kepala mayat, dan jika mayat adalah perempuan, maka posisi imam searah dengan
pinggang si mayat.
3. Selanjutnya imam memimpin salat jenazah. Perbedaan salat
jenazah dengan salat yang lain adalah; Jika salat yang lain terdiri dari raka`at-raka`at,
maka salat jenazah hanya terdiri dari takbir, yaitu empat takbir dan hanya
dengan berdiri tanpa rukuk dan sujud. Dalam setiap takbir ada bacaan tertentu
yang dibaca: setelah takbir pertama membaca Surat al-Fatihah; setelah takbir
kedua membaca shalawat; setelah takbir ketiga membaca doa untuk si jenazah; dan
setelah takbir keempat membaca doa untuk keluarga yang ditinggalkan. Salat ini
kemudian diakhiri dengan membaca salam, dengan posisi tetap berdiri.
4. Setelah usai disalatkan, maka jenazah telah siap untuk
dibawa ke tempat pemakaman.
Menguburkan Jenazah
Setelah jenazah selesai disalatkan, maka tahapan selanjutnya
adalah menguburkannya. Adapun tata cara dalam adat Melayu Kayong adalah sebagai
berikut:
1. Mula mula jenazah dimasukkan ke dalam keranda kemudian diangkat
kedepan rumah. Lalu dari salah satu sanak keluarga menyampaikan sambutan yang
berisi permohonan doa`a serta permohonan maaf, jika selama almarhum dalam
hidupnya terdapat kesalahan, dan jika terdapat utang piutang maka dimohon untuk
dapat disampaikan pada keluarga.
2. Selanjutnya para pengusung bersiap untuk menuju kuburan,
namun sebelum bergerak menuju kuburan, para pengusung keranda jenazah akan
berhenti sebentar di depan rumah. Pada
saat berhenti, Jika si mati mempunyai
anak yang belum dewasa, maka si anak disuruh untuk mencurok dibawah kerende
(keranda), yakni melintas di bawah keranda sebanyak tiga kali. Cara ini
dilakukan agar si anak dapat mengihlaskan dan tidak teringat ingat yang
berlebihan dengan si mayit.
3. Selanjutnya keranda berisi jenazahpun kemudian diangkat
beramai-ramai untuk segera diberangkatkan ke pekuburan dengan posisi kepala diberi
payung. Jika jenazah merupakan seorang tokoh masyarakat, maka para pelayat
biasanya berebut untuk mengusung keranda jenazah. Pada saat jenazah turun
biasanya penganan (kue) serabi yang di belah empat dibagiakn kepada para
pelayat dengan tujuan untuk bersedekah. Namun ada keyakinan bahwa pembagian penganan
(kue) serabi ini untuk memberikan tameng
mayit di dalam kubur.
4. Selanjutnya Kemudian keranda diarak menuju tempat
pemakaman secara bergantian. Selama dalam perjalanan terdapat tradisi kembang
tabur dari mulai rumah hingga ke tempat pemakaman. Kembang tabur ini adalah
beras putih yang dicampur dengan pandan wangi dan uang perak, kemudian ditaburkan
sedikit demi sedikit sepanjang perjalanan dari mulai rumah si mayit hingga
kuburan.
5. Setelah sampai di tempat penguburan yang telah
dipersiapkan jenazah langsung dimasukkan ke liang lahat. Jika perempuan maka ia
di qamati, sedangkan jika laki laki akan diadzankan. Dan juga ketika liang
lahat sebelum digali, ada tradisi yang bernama “penggores tanah”, yang
dilakukan khusus oleh penggali kubur. Adat menggores tanah ini bertujuan untuk
memohon izin pada tuhan dan semesta agar menerima jenazah yang nanti akan ditanam.
6. Selanjutnya didalam liang lahat, tali pengikat dan wajah
dibuka, kemudian hidung mayat dioleskan dengan tanah, mayat dibaringkan dengan
posisi miring ke kanan dan muka menghadap ke kiblat dengan bagian belakang di ganjal
dengan tanah bulat sebanyak 3 biji dibagian kepala, pinggang dan kaki. Selama
proses memasukkan mayat ke liang lahat dan menimbun tanah, di atas lubang kubur
dibentangkan kain dan biasanya adalah kain penutup keranda.
7. Selanjutnya lubang
kubur ditimbun dengan tanah, dan ditancapkan
dua potong nisan ( bisa dari batu atau kayu)
dengan jarak sekitar 1 hingga 1 meter setengah. Nisan pertama ditancapkan
pada bagian kepala, nisan ke dua ditancapkan bagian pusar. Dalam versi lain
nisan yang ke dua ditancapkan pada ujung kaki dengan diikat kain putih.
8. Kemudian prosesi berikutnya adalah pembacaan Talqin, yang
dipimpin oleh pak imam atau ulama yang mengambil tempat duduk didekat bagian
kepala jenazah menghadap ke arah matahari mati (barat). pak imam atau ulama
tersebut kemudian membaca talqin, yang
berisi ajaran ajaran bagi si mati
bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat di alam kubur.
Talqin diakhiri dengan doa yang berisi permohonan agar si
mati diampuni segala dosanya dan mendapat tempat terhormat di sisi Allah, serta
keluarga yang ditinggalkan senantiasa tabah dan mendapat limpahan
kesejahteraan. Bacaan talqin dan doa penutupnya pada umumnya menggunakan bahasa
Arab.
9. Selesai pembacaan talqin dan doa, kerabat si mati mencurahkan
air yang berisi pandan yang telah dibacakan surat yasin di atas kuburan.
10. Setelah semua pelayat pulang ke rumah masing-masing, sebagian
ahli waris mempersilahkan untuk kerumahnya dengan mempersiapkan jamuan makan. Khusus
pak imam yang membacakan talqin mendapatkan hadiah berupa kopiah, tikar, dan ceret
dalam kondisi yang masih bungas (baru). Penyerahan pada pak imam dilakukan
dengan ijab kabul oleh ahli waris.
Dalam rentang waktu tertentu biasanya orang-orang yang
terlibat secara aktif dalam upacara kematian, seperti ikut memandikan,
menyalati, menggali kubur, dan membaca talqin, ketika pulang akan diberi hadiah
berupa uang ataupun barang-barang peninggalan si mayat, seperti baju, sarung,
dan lain sebagainya.
Beruah
Setelah selesainya upacara penguburan tidak serta merta
prosesi upacara kematian berakhir. Sebab akan ada rangkaian berikutnya untuk
mengirim do`a pada si mayat yang disebut oleh masyarakat Melayu Kayong dengan
nama beruah. Beruah sendiri berasal dari kata berarwah yang berati mengirim
do`a untuk arwah yang meninggal.
Acara beruah ini dilaksankan pada hari pertama, kedua, ketiga
(penige), ke tujuh (penujuh), ke 14, ke 25 (neyelawe), ke 40 (ngempat puloh),
ke 100, (nyeratus), setahun (naun) dan hari ke seribu (nyeribu). Untuk malam
pertama hingga hari ke 7 biasanya setiap keluarga atau jamaah diwajibkan untuk
bersedekah bacaan surah al ihklas, dengan hitungan menggunakan biji kopi atau
yang lazim disebut dengan qulhu kopi.
Hadiah qulhu kopi ini ditujukan pada si mati dan tidak
dibatasi, semakin banyak semakin bagus. Pada saat hari ke 7, biji kopi yang
dijadikan hitungan tersebut akan dimasak lalu disuguhkan kepada para jamaah
untuk dinikamti bersama.
Beruah ini orang Melayu Kayong mengatakan “ biarpun setalam
nasi “ harus dilaksanakan, sebab bertujuan untun mendo`akan si mayit serta
bersedekah.
Nilai Budaya
Ritual kematian dalam masyarakat
Melayu Kayong adalah bentuk ekspresi
dari nilai-nilai yang diyakini berakar dari adat dan tradisi serta agama. Namun
lebih dari itu, Nilai-nilai penting lain
yang dapat digali dan direfleksikan adalah :
1. Nilai keagamaan.
Kematian bagi masyarakat Melayu Kayong bukan lah akhir dari
kehidupan, tapi ia merupakan gerbang menuju kehidupan yang abadi. Oleh karennya,
setiap orang perlu mempersiapkan bekal yang berguna untuk menopang kehidupannya
yang baru. Adanya amalan-amalan yang harus dilakukan, seperti ibadah keda Allah swt dan memperbanyak amal
jariyah, merupakan perwujudan dari nilai agama yang di serap oleh seseorang.
Selain itu, pelaksanaan ritual-ritual tersebut juga bagian dari penghayatan dan
persepsi seseorang terhadap yang mereka yakini sebagai Yang Maha Kuasa.
Nilai religius seseorang ini akan berdampak pada kehidupan
sosial, bahwa semakin baik hubunganya dengan
yang maha kuasa, maka demikian pula kebaikan akan tercermin dalam
kehidupan sehari hari terhada sesamamahluk dan smesta alam saat ia hidup.
2. Nilai Sosial Budaya
.
Pelaksanaan upacara kematian merupakan manifestasi dari
kehidupan yang memiliki solidaritas sosial tinggi. Daman seseorang hidup dan
berkembang di dalam lingkungan masyarakat. Misalkan saja ketika salah seorang
anggota masyarakat sakit parah, maka anggota masyarakat akan datang menjenguk
seolah-olah ikut merasakan sakitnya. Dan Ketika orang tersebut meninggal dunia,
maka segenap masyarakat datang melayat, dan rela menunda pekerjaan yang sedang mereka dilakukan.
Selain itu bukan hanya berbela sungkawa saja namun juga rela ikut membantu.
Nilai solidaritas ini juga dapat dilihat pada setiap bagian
dalam upacara kematian, mulai dari memandikan, menyediakan air untuk memandikan
jenazah, mengkafani, menyembahyangkan, menggali kubur, menyiapkan kayu bakar
untuk memasak, dan lain sebagainya. Maka dalam hal ini kematian dapat menjadi
media untuk menciptakan solidaritas sosial yang meringankan beban bagi keluarga
yang ditinggalkan dan memulihkan keguncangan sosial karena adanya kematian.
3. Penghormatan atas rasa kemanusiaan.
Upacara kematian dalam
adat Melayu Kayong juga manifestasi dari penghormatan terhadap manusia dan
kemanusiaan. Rasa rasanya dari semua rangkaian prosesi ritual yang dilakukan
adalah salah satu bentuk penghormataan dan pemuliaan dan sekaligus menjadi pembeda status, antara perlakukan
terhadap manusia dengan mahluk Tuhan
yang lain.
Penulis : Miftahul Huda
Nara Sumber : Imam Arba`in, Endek Edy, Gusti Bujang Mas
Artikel ini telah menjadi salah satu isi
buku “ADAT ISTIADAT SIMPANG MATAN”. Jika ingin menyalin artikel ini silahkan
sertakan sumber dari kami atau Konfirmasi ke 085246595000 untuk mengetahui
perkembangan penelitian kami terima kasih salam budaya.
0 Komentar