Adat Belamin ( Bepekap) Kerajaan Simpang Matan


 

“Belamin” atau “lamin” adalah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Kayong  (Ketapang dan Kayong Utara), khususnya untuk anak perempuan keturunan bangsawan saat datang bulan pertama kali. Selain disebut Belamin, sebagian juga ada yang menyebutnya “bepekap” dan “bekurong”.  Bepekap atau bekurong arti secara bahasa adalah “bersembunyi”.

Dalam tradisi belamin ini, si anak perempuan ditempatkan pada satu ruangan (tempat lamin), yang tertutup rapat, tidak boleh sama sekali terkena sinar matahari hingga beberapa saat lamanya. Waktu lamin sendiri saat ini adalah 3 - 7 hari. Namun jika dahulu ada yang 1 – 7 tahun, bahkan ada yang sejak datang haid pertama sudah dilamin, hingga ia dilamar baru keluar dari lamin.

Tradisi belamin ini erat kaitannya dengan legenda yang masih berhubungkait dengan asal mula berdirinya kerajaan Tanjungpura pada abad ke 15. Menurut cerita yang dituturkan secara lisan oleh sebagian besar masyarakat kayong; Prabu Jaya merupakan pangeran dari Majapahit menikah dengan Dayang Kutong(kudong)/Dayang Potong, atau yang juga dikenal dengan nama Putri Junjung Buih.

Nama Dayang Kutong terdiri dari dua kata; Dayang yang berarti gadis, sedangkan Kutong (kudong) dalam bahasa melayu Kayong berati tidak memiliki fisik yang sempurna, seperti halnya kaki dan tangannya yang tidak genap.

Berdasarkan tradisi lisan yang dituturkan, Dayang Kutong memiliki 6 saudara kembar, sedangkan ia adalah yang paling bungsu. Dikisahkan ketika semua saudara Dayang Kutong keluar dari bilah bambu dengan tubuh yang sempurna, sementara Dayang Kutong merasa enggan untuk keluar, sebab ia malu tubuhnya tak sempurna seperti saudaranya yang lain. Namun atas bisikan dari Tuhan, diperintahkan kepada Dayang Kutong agar ia melakukan ritual Belamin.

Setelah ia melakukan ritual belamin, secara ajaib genaplah anggota tubuh Dayang Kutong. Maka sejak itu, tradisi belamin dilakukan oleh keturunan dari Dayang Kutong yang menikah dengan Prabu Jaya dan menurunkan trah Raja raja Kerajaan Tanjungpura, Matan dan simpang Matan, serta raja raja di kerajaan yang tersebar di Kalimantan bagian Barat.  

Dalam versi yang lain dikisahkan asal mula tradisi Belamin ini bermula dari Prabu Jaya yang sedang menjala ikan, namun saat itu ia justru menemukan mundam (mangkok tertutup) yang berisi sehelai rambut. Karena rasa penasarannya, Prabu Jaya kemudian terus mudik menuju ke hulu. Kemudian ia berjumpa dengan seorang gadis yang berada diantara buih air yang sedang berada di dalam tetawak (gong). Gadis tersebut tak memiliki tangan dan kaki, ia sengaja menghanyutkan diri bersama gong untuk mencari mundam yang berisi sehelai rambutnya.

Walaupun dengan kondisi fisik yang demikian, Prabu Jaya merasa tertarik dengan gadis tersebut, kemudian ia pergi bersama menghadap sang ayah si gadis bernama Siak Bahulun. Kemudian dengan izin ayah Dayang Kutong, ia dibawa ke tanah Jawa untuk di lamin sebanyak 3 kali, selama 7 hari berturut turut. Atas kehendak yang maha kuasa, maka genaplah anggota tubuh dari Dayang Kutong, maka sejak saat itu, ia disebut sebagai Putri Junjung Buih dan menikah dengan Prabu Jaya.

Setelah pernikahan, Prabujaya bersama Dayang Kutong atau Putri Junjung Buih kembali ke Kalimantan. Prabu Jaya kemudian membangun kerajaan Tanjungpura di Benua Lama ( saat ini Desa Negeri Baru Ketapang). Tak lama setelahnya ia memboyong Putri Junjung Buih ke Sukadana sebagai ibu kota baru yang kelak menjadi bandar besar dan terkenal di pulau borneo pada abad ke 15 - 17 M.

Tradisi belamin/ bepekap merupakan hasil asimilasi adopsi dari berbagai campuran kebudayaan, namun yang dominan mewarnainya adalah budaya hindu, animisme, serta saat ini kental dengan nilai nilai Islam. Pengaruh Islam mulai mewarnai dalam budaya masyarakat kerajaan Tanjungpura pada awal abad ke 15. Salah satu bukti arkeologi yang tak terbantahkan adalah nisan dengan angka tahun 1417 M di komplek keramat 7 dan keramat 9 Desa Negeri Baru Ketapang. Kemudian beberapa Nisan bertype Demak Tralaya yang ada di Sukadana, sudah ada sejak abad ke 15 – 16 M. Ditambah lagi saat itu kerajaan Tanjungpura kemudian berubah menjadi Kesultanan Matan, maka nafas Islam semakin kental. Wajar apabila dalam adat istiadat Belamin sebagian besar ritual tetap menggunakan doa selamat, tolak bala`, serta do`a Islami lainnya.


Hingga saat ini, tradisi belamin masih dilakukan oleh keturunan kerajaan (bangsawan dari jalur dayang potong/ putri junjung buih) yang mempunyai anak perempuan, terkhusus bagi mereka anak gadis yang  mengalami haid pertama. Apabila tradisi belamin ini tidak dikerjakan oleh keturunan bangsawan,dipercaya oleh mereka bahwa keturunnya akan terkena sial ataupun penyakit. Namun begitu juga sebaliknya, apabila tidak ada waris atau trah bangsawan, baik karena tidak adanya nasab bangsawan maupun putusnya nasab, maka tradisi belamin juga tidak boleh dilakukan, apabila dilanggar juga akan terkena sial ataupun balak.

Putusnya trah bangsawan dapat disebabkan karena pernikahan anak perempuan yang memiliki trah bangsawan menikah dengan orang biasa, maka keturunannya kelak jika beranak perempuan, tidak berhak menyelenggarakan tradisi belamin. Namun jika pernikahan anak laki laki yang memiliki trah bangsawan dengan orang biasa, maka kelak keturunan mereka berkewajiban menyelenggarakan tradisi belamin.

Tradisi belamin yang dilakukan dengan cara mengurung anak perempuan di dalam kamar dalam waktu tertentu ini memiliki makna dan nilai penting. Selama dalam lamin mereka tidak hanya diam saja, akan tetapi, juga melakukan aktivitas seperti ; belajar mengaji, menyulam, bersuci dan lain sebagainya. Selama dalam lamin / bepekap pantangannya tidak boleh berkata kata kasar, mengumpat, marah, keluar walau hanya sejenak. Apabila melanggar pantang tersebut mereka akan mengalami berbagai macam gangguan, dari mulai sakit hingga kesialan. Bahkan jika dahulu masih menggunakan lilin ataupun pelita yang digunakan sebagai penerangan, maka pelita ataupun lilin tersebut tidak boleh padam sama sekali. 



Tahapan pertama Tradisi Belamin

Tahapan persiapan, adalah proses awal untuk memulai tradisi belamin yang umum dilakukan oleh masyarakat Kayong khususnya Desa Penjalaan Kabupaten Kayong Utara. Hal pertama yang dilakukan biasanya adalah yang memiliki hajat mendatangi pengampu ritual tradisi belamin yang ada di kampung. Pada saat itu sang pemilik hajat akan menerangkan bahwa anak perempuannya telah sampai pada waktu akil baligh, dan siap melakukan tradisi belamin. Pada kesempatan itu sekalian ia berkonsultasi masalah wayah (waktu), serta meminta kesediaan si pengampu ritual untuk dapat melakukan prosesi ritual dari awal hingga akhir.

Setelah waktu disepakati maka yang berikutnya tuan rumah akan mempersiapkan segala sesuatunya, yang pertama adalah tempat lamin yang akan di tempati oleh seorang gadis yang akan masuk di kamar (Lamin). Syarat tempat yang disiapkan yakni ; harus tertutup rapat sampai sinar matahari tidak boleh ada celah sinar sedikitpun untuk masuk. Di dalam tempat lamin terdapat kain 7 lapis, kamar mandi,  WC (kekojong), kelambu serta perabahan (peralatan/perlengkapan) lainnya.

Setelah persiapan tempat selesai, tahapan berikutnya adalah proses ritual bebuang ke aik ( ritual berdo`a ke air). Dengan tujuan untuk memberitahukan kepada leluhur yang berada di dalam air. Adapun bahan bahan yang digunakan dalam proses bebuang adalah ; telur, paku keminting, beretih (Padi disangrai), beras kuning, kain kuning, dan sirih serta kapur.

Di beberapa tempat lain ada juga cara ritual untuk mengawali tradisi belamin ini cukup mengelilingi rumah, kemudian pengampu ritual berhenti dibawah kolong tempat lamin dengan membawa perabah ritualnya. Disana ia memanjatkan do`a dan bepadah (memberi kabar) kepada mahluk halus agar tidak mengganggu selama pelaksanaan tradisi belamin.

 


Tahapan Masuk Lamin

Pada tahap masuk lamin ini biasanya diawali dengan menyiapkan segala perabahan seperti yang digunakan pada proses awal diatas, namun biasanya ditambahkan dengan tepung tawar, pisang satu sisir, dan padi. Mula mula pengampu ritual melakukan tepung tawar pada si anak perempuan, dan tempat lamin sambil memberikan padah (kabar) kepada mahluk ghaib yang ada di dalam tempat lamin agar tidak mengganggu dan ikut menjaga si anak saat nanti melakukan proses Belamin.

Selanjutnya pengampu melakukan ritual ke WC (kekojong) yang ada di tanah dengan memberikan sesajian berupa berteh (padi disangrai), beras kuning, sirih dan kapur, rokok satu batang terbuat dari daun nipah (daun pucok) dan nasi sekepal serta telur satu butir. Perlengkapan tersebut kemudian dipersembahkan dengan membaca mantra (toto), yang isinya adalah memberi tahu kepada mahluk penunggu yang ada di dalam WC (kekojong).

assalamualaikum ya nabi adam

“hai penunggu kekojong aku mintak jagekan ...( disebukan namanya ) ketike ade hal hal yang mengganggu .....( disebutkan namanya )...tolong kami minta jagekan... sampai wayah keluar ayang akan ditentukan”.

Setelah siap, si anak gadis kemudian dipondong ( gendong) oleh ayah atau muhrimnya untuk masuk ke dalam kamar dibimbing oleh pengampu ritual. Di dalam tempat lamin tersebut si anak gadis diberikan bedak langer ( terbuat dari kulit kayu cendana), guna mencerahkan kulit dan memberishkan diri. Selian itu di dalam lamin ia juga belajar mengaji, menyulam dan ilmu pengetahuan lainnya.

Saat di dalam lamin pengampu ritual juga memberikan aik penawar (air doa/jampi) dengan tujuan supaya si anak yang belamin tidak diganggu. Aik penawar ditaruh di dalam peteko (tempat air) khusus untuk diminum selama di dalam lamin. dan ketika dalam proses belamin tiba tiba si anak sakit, maka sang pengampu ritual akan memberikan tepung tawar dan memberi air penawar.

Selama di dalam lamin sang gadis selalu dilayani, dari mulai makan, pakaian ganti selalu diantarkan. Diperbolehkan bagi kaum keluarga jika mau menjenguk si anak gadis untuk masuk ke dalam lamin, namun tidak boleh menggangu aktivitas utamanya termasuk pantang penti dalam lamin .

Biasanya sambil menunggu keluar dari lamin, pada malam harinya tuan rumah bersama warga sekitar berkumpul dan mengadakan seni hadrah tradisi atau dikenal dengan nama betar. Sedangkan para ibu ibu biasnya mempersiapkan perabah (peralatan) untuk nanti si gadis keluar dari lamin dan melaksanakan tradisi mandi lamin. Adapun persiapan dalam mandi lamin yang dibuat oleh para ibu ibu adalah ; janur yang dibuat dengan beragam anyaman, ada yang menyerupai burung, pedang, mahkota , dan lain lain.

 

Tahapan Turun lamin

Tahapan turun lamin ini terdiri dari beberapa rangkaian kegiatan, yang pertama adalah mengeluarkan si anak gadis dari kamar lamin kemudian dibawa ke depan kamar dengan duduk menenangkan diri. Selanjutnya adalah ritual naikkan pajang, dengan maksud untuk pengamanan acara selanjutnya. Ritual pepajang ini dilakukan oleh pengampu ritual khusus yang disebut sebagai "dukun pajang" .

Pada malam harinya dilakukan acara “santuk batu, berinai, atau malam pacar”. perlengkapan ritual santuk batu adalah ; gula, kelapa dan batu. Kemudian batu, telur dan gula disantukkan ke gigi depan yang dilakukan oleh 5 orang laki laki dan 5 orang perempuan dari tokoh masyarakat setempat.

Dalam proses berinai perlengkapannya adalah ; daun inai (daun pacar) yang di tumbuk, lilin 14 buah. dalam proses berinai lilin sebanyak 14 buah diletakkan pada rotan yang melingkar (payung api). Sedangkan inainya disimpan dibawah payung api, selanjutnya lilin tersebut dihidupkan. Sebanyak 7 orang laki laki dan 7 orang perempuan dari tokoh masyarakat secara bergiliran mengambil inai kemudian dikelilingkan diatas api lilin sebanyak satu putaran, lalu diambil 1 buah lilin dan dimatikan.  Kemudian inai tersebut diletakkan pada tangan si gadis, lalu giliran yang lain melakukan hal serupa hingga selesai. Pada saat malam tersebut, juga disemarakkan dengan seni hadrah tradisi (betar), hingga menjelang subuh.

 

Keesokan paginya kemudian dilanjutkan dengan pembacaan al berjanji oleh para kaum laki laki. Setelah usai pembacaan, maka si anak gadis digendong untuk dibawa menuju satu timbangan, yang disebut sebagai “timbang raje”. Dalam versi yang lain sebelum dibawa menuju timbangan raje si anak gadis didudukkan untuk istirahat, (ini berlaku untuk lamin selama 40 hari hingga tahun).

Timbang raje ini bukanlah timbangan yang sesungguhnya, namun timbangan ini adalah makna simbolik untuk penegasan bahwa ia masih keturunan dari bangsawan kerajaan Tanjungpura. Di beberapa tempat, dalam tradisi belamin ini tidak memakai timbang raje ini.

Biasanya timbangan ini terbuat dari kayu ulin panjang, sisi kanan ditempatkan kelapa, beras dan perabah lain, sedangkan sisi sebelah kiri dimuatkan sang gadis dengan beralaskan kain kuning. Biasanya saat si gadis betimbang, beberapa keluarga atau kerabat lain juga ada yang ikut betimbang, hal ini untuk memastikan bahwa ia juga masih trah dari keluarga bangsawan. Maka timbang raje ini dianggap sakral, menurut kepercayaan apabila yang bukan keturunan melakukan tradisi betimbang maka akan sangat fatal akibatnya. Badan bisa buruk buruk bahkan tertimpa sial atau orang simpang menyebutnya “kenak sakat”.

Setelah selesai tradisi “betimbang”, si gadis akan dipondong (digendong) menuju tempat mandi mandi yang dipimpin oleh satu orang pengampu ritual perempuan. Dalam proses mandi-mandi ini, si gadis menggunakan kain kemban berwarna kuning sebab warna kuning merupakan lambang dari keturunan Raja. Dalam proses mandi dilakukan di pelantaran (papan) yang tertutup, dan disaksikan oleh beberapa orang dari pihak keluarga. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam mandi - mandi ini adalah ; tepung tawar, paku keminting, cincin emas, benang tujuh warna, telur, beliung (sebagai pengkeras), belangir, daun reribu, andung, dan puring kecil serta kaca dan lilin.

Pada saat si anak gadis menuju pelantaran akan mandi, maka para undangan khusus laki laki yang ada di dalam rumah membaca “srakal” ( shlawat nabi ) dengan langgam yang khas, dan diiringi penaburan beras kuning yang dicampur dengan uang perak serta pandan wangi.

Si anak gadis yang melakukan mandi mandi akan diguyur dengan air secara bergantian oleh pengampu ritual, kemudian dilanjutkan dengan si gadis menyemburkan air kepada burung burungan yang terbuat dari janur. Kemudian dilanjutkan dengan “belulus” (tali yang diputarkan pada tubuh si gadis), kemudian diakhiri dengan memutar lilin serta kaca, lalu ditiup oleh si gadis secara bersamaan.

Setelah proses mandi selesai, maka tahapan akhirnya adalah si gadis dipondong untuk dibawa ke kamar lalu memakai baju muslimah yang rapi, kemudian dibawa keruangan tengah bersama para sanak keluarga serta undangan dalam rangka membaca do`a selamat. Setelah usai membaca do`a selamat maka si gadis kemudian diberi makan dengan “nasi adab” (nasi kuning). Dalam hal ini beberapa tempat lain ada yang makan nasi adab dahulu kemudian membaca do`a selamat.

Dengan demikian usailah rangkaian dalam tradisi belamin yang masih ada di Desa Penjalaan sebagai salah satu dari kampung eks kerajaan Simpang Matan, yang merupakan turunan dari kerajaan Tanjungpura. 

 

PENULIS : Miftahul Huda

Sumber :

Buku Napak Tilas kerajaan tanjungpura oleh Gusti Muhammad Mulia 2008

Gusti Bujang Mas

Anis Mi`an

 

Artikel ini telah menjadi salah satu isi buku “ADAT ISTIADAT SIMPANG MATAN”. Jika ingin menyalin artikel ini silahkan sertakan sumber dari kami atau Konfirmasi ke 085246595000 untuk mengetahui perkembangan penelitian kami terima kasih salam budaya.

Posting Komentar

0 Komentar