Ritual Adat Berladang Negeri Simpang Matan
Oleh Miftahul Huda
Berladang atau “beladang” dalam istilah
bahasa Melayu negeri Simpang yang berdiam di wilayah kabupaten kayong utara, merupakan
sebuah istilah yang digunakan dalam aktivitas bercocok tanam yang cukup membumi
di masyarakat, atau dengan kata lain bahwa beladang adalah sebuah praktik
bercocok tanam dengan cara tradisional yang menjunjung nilai tradisi serta
kearifan lokal.
Adat berladang dinegeri Simpang juga
diwarnai dengan cerita legenda tentang dewi padi yang dikenal dengan Dewi
Sri. Sosok Dewi Sri sebenarnya juga
dikenal pada tempat tempat lain di Nusantara, walaupun dengan bumbu dan gaya
cerita yang agak berbeda, namun alur utama dan peranya memiliki kesamaan yang
sama. Dari kesamaan cerita ini dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat
nusantara secara agraris berawal dan berakar dari sejarah yang sama.
Masyarakat Melayu yang berdiam di wilayah
negeri simpang saat ini adalah bagian dari masyarakat adat itu sendiri, di mana
pada masa dahulu negeri simpang
merupakan sebuah Kerajaan yang merupakan turunan dari Kerajaan Matan tua dan
Tanjungpura kuno, yang masih berhubung kait dengan kerajaan Majapahit serta
Sriwijaya.
Maka tidak heran jika masyarakat Melayu Negeri Simpang sudah lama mengenal adat berladang, dari sejak
zaman nenek moyang di masa kerajaan Tanjungpura, Matan dan Simpang, yang
artinya tradisi tersebut turun temurun sejak ratusan tahun yang silam. Adat berladang ini biasanya diperuntukkan bagi
aktivitas masyarakat guna bercocok tanam padi, pada setiap musim berladang.
MEMBUKA LAHAN
Prosesi adat berladang ini dimulai
dari membuka lahan yang juga menggunakan ritual adat, apalagi bagi orang yang
baru pertama kali membuka lahan, maka diharuskan mematuhi aturan dari sang
dukun di antaranya harus meninggalkan sebagian hutan yang dirimba atau
istilahnya juga dikenal dengan nama hutan hujung atau rimba kumang.
Adat membuka lahan pada masyarakat
simpang ini mereka mempercayakannya kepada dukun kampung setempat, yang biasanya
memiliki kuasa atas wilayah tersebut. Setiap wilayah atau desa, biasanya
memiliki beberapa dukun, yang biasa masyarakat negeri simpang menyebutnya dengan istalah “pegangan”. Misalnya ada petani
bernama ujang biasa bertani diwilayah adat Desa Rantau Panjang, lalu kemudian
ia pindah berladang ke wilayah Desa Sungai Mata Mata, maka si Ujang biasanya akan
datang kepada sang dukun setempat yang memegang wilayah tersebut.
Bagi masyarakat negeri Simpang datang
kepada dukun bukanlah maksud ntuk mempersekutukan atau meminta suatu kekuatan
ghaib, namun lebih kepada bentuk ketaatan kepada adat tentang aturan aturan
yang boleh maupun tidak boleh atau
pantang dan penti, dan harus di jalankan dalam melakukan prosesi dalam
berladang di daerah setempat.
Aturan aturan yang dibuat oleh si
dukun tersebut itupun sifatnya normatif dan masih bisa dicerna oleh akal sehat,
misalkan pantangan yang dilarang dalam berladang di antaranya; tidak boleh
berladang lewat dari jam 5 sore, sebab menurut penuturan sang dukun sebut saja Tok
Alang Bungkan yakni dukun Desa Sei Mata Mata. Menurutnya apabila lewat dari jam 5 sore maka akan ada mara bahaya atau yang lazim disebut “sengkale”.
Pak Lang Bungkan yang berusia 74 Tahun, merupakan dukun pemegang adat berladang
Desa Sei mata mata, ia menuturkan bahwa sengkale adalah pertanda waktu yang
mendekati susana yang tidak baik. Biasanya akan datang halangan ataupun
rintangan jika melewati waktu yang telah ditentukan.
Hal ini bisa saja masuk akal sebab
apabila sudah melewati pukul 5 sore maka hari akan petang dan menjelang magrib,
apabila pekerjaan diteruskan bisa saja kita teledor terkena benda tajam ataupun
tertusuk akar kayu, bahkan gangguan binatang buaspun juga akan mengancam, sebab
diwaktu waktu tersebut merupakan masa transisi dimana binatang juga akan keluar
atau kembali mencari sarangnya.
Dalam upacara membuka lahan ini
masyarakat negeri simpang mempercayakan pada si dukun. Ketika bulan dan hari
baik sudah ditentukan, maka sang dukun biasanya melakukan persiapan dalam
upacara, lalu “bekerenah”
(beritual). Biasanya dalam bekerenah
sang dukun akan membakar dupa lalu memanjatkan do`a serta menaburkan beras
kuning ke beberapa tempat yang dianggap angker. Namun dibeberapa wilayah yang ada
di negeri simpang, hal ini bisa berbeda beda bentuk ritualnya, namun tidaklah
banyak perbedaan dalam melakukan kerenah (ritual).
Setelah sang dukun melakukan ritual,
maka si empunya lahan akan memulai menggarap lahan yang telah di kerenahkan
oleh sang dukun. Dari sanalah si empunya lahan mulai menebang kayu kemudian
menebas dan membersihkan lahan untuk ditanami
padi.
Istilah dalam pembersihan lokasi yang
populer sering digunakan diantarnya adalah: Memancah, yang merupakan aktivitas
memtong rumput kecil sebelum di memulai semai padi.
Mengimpit, biasanya aktivitas
mengimpit ini dilakukan memakai papan ataupun drum yang digulingkan untuk
merendahkan rumput rumput yang tinggi, namun dewasa ini biasanya ada yang sudah
menggunakan traktor untuk mengolah tanah. Istilah lain yang digunakan adalah nebas, memanggor, menggurun, dan lain
sebagainya.
Dalam tradisi masyarakat simpang adat
membuka lahan berladang dengan menyisakan sebagian lahan ini juga disebut
sebagai “Rimba Kumang”. Mengutip dari satu artikel tulisan Hasanan yang di
unggah pada laman Warta Kayong, bahwa istilah
Rimba’ Kumang adalah salah satu
bagian dari Hutan Adat yang dipertahankan keberadaannya. Rimba’ artinya
hutan/rimba. Sedangkan Kumang berarti tunggal/satu. Jadi Rimba Kumang adalah
Hutan Tunggal, atau suatu wilayah hutan yang dipegang oleh dukun kampung atau
pemangku adat di desa tertentu yang pengaturannya ditentukan oleh pemangku adat
tersebut.
Penuturan Abdul Kadir alm (72), tokoh adat, sekaligus
Pemangku Adat, Desa Rantau Panjang, Kecamatan Simpang Hilir, mengatakan,
“Setiap orang dilarang menebang dan mengambil sesuatu yang ada di hutan
tersebut, tanpa sepengetahuan pemangku adat. Apa lagi merusaknya. Sebab, Rimba’
Kumang merupakan hutan pantangan (larangan), dan harus dipelihara keutuhannya.
Jika melanggar pantangannya, maka orang tersebut akan disangsi adat. Atau
mendapat teguran langsung dari mahluk-makhluk ghaib penunggu hutan tersebut.
Misalnya terkena demam/sakit.”
Hasanan
salah seorang pemerhati Sejarah dan budaya berpendapat jika pada masa dahulu,
kalau mau menebang kayu di hutan, masyarakat harus membawa dukun kampung.
Tujuannya, yaitu untuk meminta izin pada penghuni hutan. Kemudian sang dukun
akan menentukan mana wilayah yang kayunya boleh diambil, dan mana yang tidak.
Jadi tidak sembarang tebang. Sehingga kita tetap memelihara hutan yang ada.
Rimba’
Kumang hari ini, tinggal cerita legenda saja. Buka’ Taon (Buka Tahun), Tutop
Taon (Tutup Tahun) yang menjadi tradisi petani di tanah simpang dalam bertani
dan berladang, tidak lagi menjadi tradisi yang dilakukan semua orang. Padahal,
Buka’ Taon dan Tutop Taon ini, adalah bentuk syukur kepada Allah yang
dihidupkan masyarakat terdahulu.
Semua itu
harus terkubur bersama derasnya arus globalisasi. Hutan dibabat hanya karena
rupiah. Tak peduli bagaimana nasib anak cucu nanti, yang penting hari ini
mereka bisa kaya dan bahagia. Tak ada lagi rasa takut. Tak banyak lagi rasa
patuh dengan “pantang-penti” (larangan) adat/hukum adat.
Padahal,
sejak puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu. Masyarakat negeri Simpang bahkan
Kayong pada umumnya meyakini bahwa fungsi Rimba’ Kumang ini sangat besar
manfaatnya bagi mereka. Selain sebagai hutan adat, kebanggaan adat, simbol
kesatuan adat. Juga sebagai penaung (tempat berteduh) masyarakat disekitar
hutan. Serta merupakan wujud dari keseimbangan hidup antara manusia, hewan,
tumbuhan dan alam disekitarnya. Sebab mereka percaya, tanpa keseimbangan hidup,
maka kehidupan yang akan melindas hidup kita.
Terlepas
dari anggapan, bahwa Rimba’ Kumang cerita yang berbau mistis atau tidak. Atau
merupakan cerita syirik, yang tak pantas dipertahankan pada peradaban
masyarakat yang beragama. Kita ambil sisi positifnya saja. Bahwa, orang-orang
terdahulu, ada tata kramanya dalam menjaga hubungan mereka dengan alam. Dan
kita hari ini, bisa memetik pelajaran berharga dari itu. Tentu tidak dituntut
harus dengan cara yang sama dalam aplikasinya.
Di sadari atau tidak di era moderen
saat ini, Adat berladang pertanian sudah mulai luntur dan sedikit demi sedikit
ditinggalkan oleh masyarakat Adat setempat, sehingga generasi penerus sekarang
ini kurang mengetahui tentang Adat-istiadat yang dibudayakan oleh nenek moyang
terdahulu.
MENYEMAI PADI
Setelah prosesi
pembersihan lahan selesai, biasanya mereka telah menyiapakan lahan semaian
terlebih dahulu. Namun apabila lahan untuk ditanami adalah pertama kali dibuka,
maka biasanya mereka tidak lagi menyemai, akan tetapi hanya menabur benih padi
di lahan yang telah dibersihkan. Sedangkan untuk tanam padi pada tahap ke dua,
baru ada proses penyemaian.
Dalam menyemai
padi biasanya kaum petani Melayu negeri simpang menggunakan dua tekhnik, di
antaranya adalah : Nyamer (nyame)
yaitu Menyemai padi sementara, setelah tumbuh sekitar 10 -15 cm baru dipindah. Kemudian ggandal yakni menyemai padi dengan cara dialas plastik
agar mudah diambil. Ke
dua tekhnik ini digunakan terkandung kondisi, misal cuaca atau lingkungan
tempat menyemai padi, jika musim hujan maka biasanya memakai tekhnik ggandal,
sedangkan musim agak kering dengan cara nyame.
Dalam ritual semai padi juga diiringi
dengan kerenah ritual yang dilakukan oleh sang dukun yang biasa disebut dengan
“Mule padi”. Biasanya proses ini juga dimulai dengan adanya upacara secara
bersama sama yang disebut sebagai acara “bukak taon”, dimana dalam acara ini
secara resmi berladang yang dilakukan secara bersama sama akan dilakukan besar
besaran pada tahun tersebut.
BERANDEP (gotong royong dalam berladang)
Berandep
hampir sama dengan gotong royong dalam berladang. Bedanya, berandep ialah gotong royong dengan sistem bergilir. Randep, kata dasar dari berandip, disepakati dengan jumlah
anggota randep. Anggotanya bisa dalam satu hamparan, bisa juga beda hamparan.
Penetapan
jatah/waktu randep ke siapa, bisa ditentukan dengan musyawarah, bisa juga
dengan cara undian. Misalnya anggota randep terdiri dari 10 orang, berarti
butuh waktu 10 hari untuk berandep. Karena masing-masing anggota, alokasi waktu
satu atau setengah hari.
Jika
sudah habis pergiliran berandepnya selama 10 hari, jadwal dan kesepakatan
randep bisa disepakti kembali oleh anggota randep. Cara ini akan mempercepat
kerja petani, baik membuka lahan (nebas), nandur dan sebagainya.
Biasanya
yang dapat giliran randep, akan menyediakan konsumsi, baik berupa makanan
ringan, nasi, rebus ubi, rebus pisang, pisang goreng atau lainnya. Yang
terpenting bukan soal makannya, tetapi semangat kebersamaan di antara mereka.
Kegaitan
dalam berandep ini kerap dilakukan oleh kaum petani dimasyarakat negeri simpang.
Dalam berandep yang dilakukan biasanya adalah
nandor ( tandur), Nugal, memancah, dan lain sebagainya.
MERAWAT PADI
Setelah proses tandur (
menanam) padi selesai maka berikutnya adalah menunggu padi hingga dewasa sambil
merawatnya. Dalam merawat padi biasanya masyarakat Melayu simpang membersihkan
rumput rumput rendah yang disebut dengan “merumput”. Kemudian bepagas, yaitu
membersihkan tangkai tangkai padi yang kurang sehat.
Selain itu masyarakat
simpang juga memakai cara tradisional untuk menangkal hama, biasanya mereka
menggantung kepala ikan kembong disetiap pojok sawah, kemudian juga membuat
orang orangan sawah, ataupun beberapa jenis kaleng dengan tali yang saling
berhubungan yang dikendalikan lewat lakau (pondok sawah), sehingga ketika ditarik
akan menakuti binatang yang akan mengganggu padi.
PANTANGAN
Masyarakat
Melayu di negeri Simpang juga mengenal pantang dalam berladang, di antaranya
adalah; tidak boleh bekerja lewat dari jam 5 sore, tidak boleh melimpat ( masuk) ke ladang orang tanpa
izin, tidak boleh makan sambil berjalan di ladang, tidak boleh ada apit padi
misalnya ada menanam jenis padi pulut (ketan), harus posisi diatas sedangkan
padi biasa ada di bawahnya dengan kata lain tidak boleh tercampur.
PERMAINAN TRADISIONAL YANG BIASA MENGIRINGI ADAT BERLADANG
Saat padi mulai menghijau
dan tangkainya telah mulai mengeluarkan butir butir padi, suasana di ladang
ataupun sawah yang menghampar hijau biasanya akan lebih semarak, sebab ada dua permainan
tradisional yang seakan akan ikut memerihkan musim panen padi yang akan segera
tiba beberapa bulan bahkan minggu kemudian.
Permainan tersebut adalah
pangkak gasing dan kelayang (layang layang). Menurut kepercayaan masyarakat
negeri simpang bermain layang layang diharapkan dapat mendatangkan angin
sehingga dapat menghilangkan ampak (padi gabuk/kosong) pada padi. Begitu juga
permainan gasing dipercaya dapat memecah rumpun padi, sehingga buahnya menjadi lebih
banyak.
M Jusup (Dukun adat beladang Padu Banjar)
PANEN PADI DAN RITUAL
Saat
panen padi pertama dimulai oleh sang dukun dengan mengambil satu Ruman (tangkai) padi lalu mendoakannya.
Setelah itu maka ramai ramai setiap empunya padi memanennya, lalu membawa
tangkai tangkai padi tersebut ke pelantar lakau (pondok ladang) untuk dijemur
yang disebut dengan melabang.
Padi
yang pertama kali dipanen dan digiling biasanya juga dibuat emping, lalu
bersama sama keluarga dan masyarakat mereka memakan emping tersebut. tradisi
ini dilakukan dibeberapa tempat oleh masyarakat simpang, walau tidak merata
namun di tempat tertentu seperti penjalaan dan desa sungai mata mata tradisi
ini selalau dijaga oleh mereka.
RITUAL TUTUP TAHUN NYAPAT TAHUN
Nyapat Taon (tahun), Bersih Kampung, atau Caboh
Kampung, merupakan acara adat yang dilaksanakan setelah panen padi selesai.
Acara adat ini sebenarnya bukan hanya dilaksanakan masyarakat Melayu
simpang yang berladang (menanam padi)
saja. Namun, tradisi bersih kampung ini biasa dilaksanakan masyarakat lain
di Kayong Utara bahkan Kabupaten lain .
Untuk
nyapat taon, setelah panen padi, 2
atau 3 hari sebelum acara, dukun akan memberi tahu warga bahwa akan segera
melaksanakan caboh kampong. Warga akan bersiap-siap membuat berbagai jenis
ketupat dan menyiapkan lauk-pauknya. Dukun, dibantu pendamping-pendampingnya
menyiapkan perabah ( peralatan) yang diperlukan untuk Nayapat Taon, seperti ancak, lanting dan sebagainya.
Minimal
ada 3 ancak dan 1 lanting yang disiapkan. Biasanya ada ancak yang ukuran paling
besar, dengan lebar sekitar 160 cm persegi. Ancak
adalah sejenis keranjang yang terbuat dari bambu/rotan, untuk meletakan
perabahan (sesajian) untuk ritual adat. Sedangkan lanting ialah sejenis kapal-kapalan, yang berfungsi untuk meletakan
perabahan ritual adat.
Pada
hari yang ditentukan, sekitar pukul 15.30, warga berkumpul di rumah dukun.
Masing-masing membawa ketupat lengkap dengan lauk-pauknya. Ketupat dan lauknya
dikumpulkan menjadi satu. Setelah warga berkumpul, dukun langsung memimpin ritual
adat.
Sebelumnya,
ketupat, ayam panggang, ayam mentah, sirih, pinang, tembakau, rokok pucuk (daun
nipah) dan lainnya dimasukan ke dalam ancak dan lanting. Kemudian dukun
memimpin ritual/berdoa kepada Yang Kuasa, untuk keselamatan kampung. Setelah
ritual selesai, pebayu (pendamping) dukun diperintahkan menggantong (memasang)
ancak pada tempat yang ditentukan. Kemudian mengantar lanting untuk dihanyutkan
ke sungai.
Biasanya
ancak digantung di batas/ujung kampung dan di tempat yang dianggap memiliki
kekuatan ghaib. Tujuannya, untuk keselamatan di darat. Sedangkan lanting yang
dihanyutkan di air, bertujuan untuk keselamatan di air (sungai/laut).
Setelah
ritual memasang ancak dan dan mengantar lanting selesai, acara selanjutnya
makan ketupat bersama. Biasanya, warga berkumpul di rumah dukun hingga malam
hari. Kemudian, dukun akan bermadah (berpesan), menyampaikan pantang-penti
(larangan-larangan) setelah acara nyapat taon. Patang-penti ini selama 3 hari.
Selama
3 hari, warga tidak dibenarkan/dilarang melakukan: 1) Menebang semua jenis
tumbuh-tumbuhan, atau tidak boleh berlayu-layu; 2) Memancing/menangkap semua
jenis makhluk hidup di sungai, laut atau darat; dan 3) Berkelahi.
Pantang-penti tersebut dipatuhi
warga. Kepatuhan warga tinggi terhadap larangan ini. Resikonya, apabila warga
tidak mematuhi pantang-penti yang disampaikan dukun, bisa berakibat fatal ke
pribadi yang bersangkutan, atau penduduk kampung.
Acara
ini dilaksanakan sekali dalam setahun,
Biasanya dilaksanakan setelah acara ngetam padi selesai. Ini adalah
bentuk rasa syukur warga Kepada Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa
mereka dianugerahi tanah yang subur dan hasil tanaman yang melimpah.
Penulis : Miftahul Huda
Sumber : M Jusup
( Dukun Padu Banjar ), Tok Lang Bungkan ( Dukun Sei Mata Mata), Raden Jamrudin
( Budayawan Kabupaten Kayong Utara) Hasanan ( Penulis dan budayawan kayong
utara ).
Artikel ini telah menjadi salah satu isi
buku “ADAT ISTIADAT SIMPANG MATAN”. Jika ingin menyalin artikel ini silahkan
sertakan sumber dari kami atau Konfirmasi ke 085246595000 untuk mengetahui
perkembangan penelitian kami terima kasih salam budaya.
0 Komentar