Kalimat “Udah Wayahnyeam” dalam bahasa melayu Kayong
bermakna ; “sudah waktunya”. Kalimat ini terdiri dari dua kata, yakni “udah”,
dan “wayahnye” yang berasal dari kata dasar “wayah”, kemudian diujung kalimat
disertai imbuhan “am”.
Kata “wayah” dalam bahasa Melayu Kayong artinya adalah
waktu. Kata wayah juga ditemukan dalam
kosakata yang dimiliki oleh beberapa suku lain di Indonesia seperti ; Jawa, Banjar, Sunda, yang juga
memiliki makna yang sama. Hal ini menjadikan unik sekaligus menarik, mengapa
kata “wayah” ini mirip dengan beberapa
suku lain ?.
Sebenarnya bukan hanya kata “wayah” saja yang memiliki
kesamaan, namun puluhan bahkan ratusan kosa kata yang sering kita pakai sehari
hari, juga memiliki kemiripan dengan beberapa suku lain di Nusantara. Hanya saja
dalam keseharian kita tidak menyadarinya, beberapa kosakata bahasa banjar yang juga
sering kita pakai yaitu; alon, gawa`, apik, wadah, kabus, awak, tetamba/tetambe,
pangkung/pangkong, padah, bujur/bujor, burut/burot, ikam/ika’, sasapu/ sesapu, dan
lain lain. Sedangkan beberpa kosakata bahasa Jawa yang memiliki kesamaan diantaranya
adalah ; nandor/nando, dulur/dulo, batur/bato, ndobol/ndabol, angon/engon,
pethuduh/petudoh, selikor/seliko, selawe/nyelawe, kabeh/sekabeh,
kumbah/kumbah,suwal/seluar, dan lain lain.
Belum lagi serapan dari kosakota bahasa lain yang juga ikut
mewarnai pembentukan budaya dan bahasa, dari proses ini menandakan bahwa Suku
“Melayu Kayong” telah mengalami proses panjang perjalanan peradaban. Melayu
kayong sendiri adalah sebutan bagi dua kabupaten yakni Ketapang dan Kayong
Utara. Dua Kabupaten ini,
walau berbeda secara adminstratif, namun memiliki budaya dan akar sejarah yang
saling beriringan. Sehingga penamaan “Kayong”
tidak bisa terlepas dari keterkaitan antara dua kabupaten ini.
Dalam proses perjalanan peradaban, tentu terjadi interaksi,
baik sosial, ekonomi, politik, dan budaya dengan berbagai suku dan etnis.
Kemduian proses tersebut berjalan selama ratusan bahkan ribuan tahun sampai saat
ini. Selanjutnya terjadi asimilasi dan
akulturasi yang akhirnya membentuk sebuah entitas unik dan budaya
di tanah Kayong hari ini.
Dari perjalanan tersebut, kita dapat mengambil pelajaran
bahwa tanah kayong telah mengalami perjalanan panjang dan terbentuk dari akar
budaya yang majemuk, namun berhasil survive bahkan berkembang dengan harmoni serta
saling menguatkan. Tidak pernah ada rekam konflik disebabkan perbedaan suku/ras/golongan,
karena sesungguhnya akar budaya masayakat kayong, sangat menjunjung tinggi
nilai nilai perbedaan, dan toleransi.
Sejak zaman Kerajaan hingga kemerdekaan yang menjadi negara
kesatuan Republik Indonesia , masyarakat kayong hidup rukun saling
berdampingan. Kenangan masa lalu akan kejayaan
masih sering terngiang ngiang, apalagi saat kita membuka lembar demi lembar
dalam perjalanan sejarah.
Misalkan saja di abad ke 15 – 17, negeri tanah Kayong dalam
beberapa catatan Eropa diidentifikasi sebagai salah satu bandar besar yang
disebut bandar Sukadana. Saat itu Intan, dan biji besi adalah komoditi
utamanya. Namun kejayaan tersebut meredup manakala diabad ke-18, Bandar
Sukadana runtuh karena serangan VOC dan sekutunya.
Keterpurukan tersebut berlangsung hingga sekian lama, bahkan
hingga kemerdekaan bangsa Indonesia pada tahun 1945 masih belum dapat
memulihkan akibat keruntuhan dimasa silam. Namun alhamdulillah ketika pemekaran
Kayong Utara pada tahun 2007, hal ini menjadi penanda sekaligus tonggak
estafet bagi negeri tanah kayong, dengan
ibu kotanya Sukadana untuk kembali bangkit menjemput kejayaannya kembali.
Perjuangan dari panitia pemekaran yang berasal dari 5
kecamatan, yang didukung oleh bapak Usman sapta odang (OSO), tak sia sia. Dari
perjuangan tersebut sudah seharusnya dijadikan momentum sebagai ajang refleksi
sekaligus semangat untuk membangun Kayong Utara secara bersama sama.
“Udah wayahnyeam” yang berarti sudah waktunya. Sudah tiba waktunya
untuk kita merenung sejenak atas perjalanan
peradaban negeri ini, waktunya kita juga untuk meneladani para tokoh tokoh
dalam panggung sejarah yang telah mewarnai negeri ini, waktunya bagi kita memahami
peristiwa masa lalu untuk kita ambil pelajarannya hari ini, dan waktunya bagi
kita untuk melanjutkan perjuangan dari para pendahulu-pendahulu yang telah
bersusah payah merintis dan membangun negeri ini selama berabad abad.
Maka “Udah wayahnye-Am kite sesame membangun Kabupaten kite”.
Untuk kata yang terakhir ini makna “udah wayahnye-Am” selain
memiliki arti dalam penjabaran diatas, juga memiliki maksud. Hal ini dapat
dilihat dari pemenggalan kalimatnya. Jika sebutan dalam bahasa sehari hari yang
biasa adalah ; “udah wayahnyemam”, satu kalimat dua kata tanpa tanda strip,
sedangkan kata “udah wayahnye-AM” memiliki makna “sudah waktunya Amru”. Kebetulan
panggilan sehari hari Amru adalah “AM”.
Demikian ulasan mengenai kata Maka “Udah wayahnye-Am”, para
pembaca juga boleh memberikan masukan dan kritiknya. Sekian terima kasih .
“Udah wayahnye-Am”
Salam Kayong BERGEMA (Kayong bergerak bersama)
0 Komentar